SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM — Komisi IV DPRD Samarinda meminta Perda Penanggulangan HIV/AIDS dan TBC dievaluasi.
Katanya perda serupa sebenarnya telah ada sejak 2007. Namun, aturan tersebut kini dinilai sudah tidak relevan.
“Sudah kedaluwarsa karena banyak regulasi baru, mulai dari undang-undang, perpres, permenkes, bahkan sampai pergub dan perwali."
"Tinggal perda di tingkat kota yang belum diperbarui,” jelas Puji.
Dia menuturkan, Raperda ini menggabungkan penanganan dua penyakit, yakni HIV/AIDS dan TBC.
Alasannya keduanya memiliki keterkaitan erat dari sisi pola hidup, risiko penularan dan dampak sosial.
Menurut Puji, pembahasan Raperda ini juga melibatkan berbagai instansi. Seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan Dinas Tenaga Kerja.
Fokus utama adalah pada pencegahan, penanganan, serta rehabilitasi sosial bagi pasien.
Panitia khusus (pansus) kata Puji, telah melakukan kunjungan lapangan ke sejumlah puskesmas. Seperti di Samarinda Seberang dan Loa Janan Ilir, untuk melihat langsung kondisi pasien dan fasilitas penanganan.
“Kita sudah melihat sendiri di lapangan bagaimana upaya pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi dilakukan."
"Tantangan terbesarnya adalah stigma masyarakat. Pasien HIV maupun TBC sering diperlakukan seolah mereka ‘sampah masyarakat’, dan ini membuat mereka enggan berobat,” ujarnya.
Politisi Demokrat itu menyebut kasus HIV dan TBC di Samarinda tergolong tinggi. Bahkan disebutnya sudah memasuki kategori zona merah.
Puji menyebut, pemerintah pusat menargetkan eliminasi HIV dan TBC pada 2030.
Namun, dengan peningkatan kasus yang terdeteksi seiring makin gencarnya skrining, ia menilai target itu masih menjadi tantangan besar.
Pemerintah daerah nantinya akan membentuk Tim Percepatan Penurunan HIV dan TBC sesuai amanat Perpres, yang melibatkan unsur pemerintah, masyarakat, dan swasta. Selain itu, Pansus juga menyoroti perlindungan bagi pekerja penderita HIV, TBC, dan Hepatitis.