JAKARTA, NOMORSATUKALTIM - Komisi II DPR RI berencana mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Salah satu poin krusial dalam draf revisi yang tengah disusun adalah usulan pemberian kewenangan kepada Presiden untuk memberhentikan pejabat eselon.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Ass Sadikin menyampaikan usulan tersebut berasal dari Badan Keahlian DPR RI.
Ia mengungkapkan bahwa arah perubahan dalam rancangan revisi memang menunjukkan kecenderungan memperkuat posisi presiden dalam pengelolaan jabatan struktural ASN.
BACA JUGA : Logistik PSU Kukar Mulai Didistribusikan, Tabang Jadi Titik Awal Pengiriman
BACA JUGA : Pemkab Paser Maksimalkan Pengelolaan Sampah di TPA Desa Janju
"Yang saya dengar dari Badan Keahlian memang seperti itu, memang arahnya ke sana. Presiden diberi kewenangan untuk mencopot pejabat eselon," kata Zulfikar di Kompleks Parlemen, Kamis (17/4/2025).
Meski demikian, Zulfikar menyatakan keberatannya terhadap rencana tersebut.
Ia menilai, pemberian kewenangan langsung kepada presiden untuk mencopot pejabat eselon berpotensi bertentangan dengan prinsip otonomi daerah yang dianut dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Menurutnya, meskipun Indonesia adalah negara kesatuan, sistem pemerintahan yang berjalan telah mendesentralisasikan sebagian kewenangan ke daerah.
BACA JUGA : Skenario Pengamanan PSU Kukar Dimulai, 772 Polisi Diterjunkan
Dalam hal pengelolaan kepegawaian, kepala daerah seperti gubernur, wali kota, dan bupati saat ini memiliki peran sebagai pejabat pembina kepegawaian di wilayah masing-masing.
“Itu tidak sesuai dengan kesatuan negara yang didesentralisasikan dengan otonomi seluas-luasnya. Karena pada saat ini, pemberian wewenang dan pemberhentian pejabat tinggi pratama dan madya sudah didelegasikan kepada kepala daerah,” tegasnya.
Ia menambahkan, kewenangan presiden dalam urusan kepegawaian bisa menimbulkan tumpang tindih dan mengurangi kemandirian pemerintah daerah dalam mengatur struktur birokrasi masing-masing.
Lebih lanjut Zulfikar mengungkapkan bahwa hingga saat ini Komisi II DPR RI belum mulai membahas revisi tersebut secara resmi.