Remaja tanpa Nakhoda di Keluarga, Dewasa Menemukan Jati Dirinya
Selasa 04-02-2020,21:48 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny
Yang bertatapan dengannya kerap bertanya, termasuk polisi yang suatu waktu sedang merazia dan menyetopnya: "Matanya asli, kah, Mbak?". Si pemilik mata indah itu tidak kaget dengan puluhan pertanyaan serupa. "Iya, asli dari sananya," tersenyum jawabnya.
nomorsatukaltim.com - SUATU waktu, ketika masih SD-SMP, si pemilik tinggi badan 170 cm bernama Alicia Fife itu berdiri di depan lemari penuh piala di rumahnya. "Entah kenapa yang saya rasakan kekosongan, bukan kebanggaan," katanya, 9 tahun lalu.
Ada 127 piala, piagam maupun sederet simbol penghargaan lain dalam lemari besar itu. Setiap kegiatan berkaitan dengan pengembangan anak tingkat SD hingga SMP di masanya, Alicia sering jadi momok bagi peserta lainnya.
"Ah, dia ikut. Pasti menang lagi," suara bernada pesimistis (untuk tidak dibilang cemburu) semacam itu, sering terdengar dari beberapa orang tua murid di golongan menengah ke atas dalam kompetisi model, catwalk, menari, kompetisi budaya daerah -- sebelum tahun 2010.
Tapi itu dulu. Keadaan berubah setelah Papa-nya yang bekerja sebagai konsultan migas itu wafat pada 2013. Ayahnya yang selalu bepergian ke berbagai negara di dunia itu meninggal tiba-tiba: karena terpeleset di kamar mandi hotel ternama di Singapura.
Dari ayahnya yang asli Lousiana, Amerika itulah gen mata Alicia menurun. Warna asli bening kecokelatan di mata-nya itu pula yang kerap memunculkan banyak tanya: aslikah itu atau pakai softlens.
Kekosongan saat Cia -- sapaannya, menatap tumpukan piala kala itu sebenarnya dalam konteks positif: "I am sure that I can do better. I want to explore many thing, more than just a model or catwalk," ceritanya.
SEPENINGGAL PAPA
Tujuh tahun belakangan adalah masa sulit buat Cia. Tentu jika dikomparasikan saat Papa nya masih hidup. Keadaan yang serba ada dulunya; rumah yang mewah, keluarga besar yang utuh, uang yang lebih dari cukup untuk mendukung segala kebutuhan dan potensinya -- berbanding terbalik dan drastis saat ini sampai rumah pun tidak punya.
Masa-masa depresi dilewati beberapa tahun kemudian. Peninggalan warisan yang cukup besar tak bisa menunjang kesejahteraan dalam waktu lama karena tak ada satupun figur yang memiliki kepiawaian sebagai nakhoda di keluarga.
Cia adalah anak tunggal. Mamanya asli Banjar. Sepeninggal Papanya hingga saat ini, dia melewati masa remaja tanpa figur seorang Ayah. Hatinya hancur. Bakatnya seperti luntur. Potensinya ikut terkubur. Jangankan keberanian berdiri di depan panggung seperti saat masa kecil dulu, bahkan bicara dengan orang face to face pun seringkali dia merasa takut.
Kondisi yang berakar dari pengalaman traumatis dan bersifat physical condition. "Saya sering merasa kesepian. Biasanya saya menumpahkan beban saya di jalanan. Nonton, makan, atau bertemu teman-teman," serunya.
Ia seolah menggambarkan betapa dahsyatnya dampak dari perasaan kehilangan. Meninggalkan dampak trauma. Menggoreskan bekas luka yang tak kasat mata.
Kekosongan Cia kecil yang dibarengi semangat positif saat menatap ratusan piala, berganti menjadi kesepian yang cenderung negatif sepeninggal sang ayah ketika ia beranjak dewasa.
"Saya malu menceritakan hal ini. Seperti mengungkap aib keluarga dan diri sendiri. Tapi saya berpikir, pada akhirnya saya perlu menyampaikan secara jujur apa yang saya alami. Selain untuk penerimaan diri sendiri, juga sharing ini mungkin baik untuk pembelajaran bagi yang lain," ungkap Cia kepada Disway Kaltim.
Pembelajaran yang Cia maksud adalah pesan universal: bahwa roda hidup berputar. Bahwa ajal tak mengenal tempat, waktu dan sebab. Bahwa peninggalan kekayaan tak menjamin seseorang bisa bertahan tanpa bekal kemampuan pengelolaan.
TITIK BALIK DI AKHIR 2019
Empat rumah. Satu tanah. Seluruh aset dan barang-barang yang pernah dimiliki keluarga Cia, dijual perlahan untuk menunjang keperluan. Tidak ada income. Tidak ada kontrol pemasukan dan pengeluaran. "Mama pernah membuka butik, tapi gagal. Ada rekan yang dipercaya menjalankan, tapi tidak jujur dalam pengelolaan, akhirnya malah meninggalkan banyak utang," ujar Cia.
Salah seorang pembeli barang-barang milik keluarga Cia adalah Pak Raden (Aden). Kala itu pertengahan tahun 2017. "Pak Aden ini unik, awalnya cuma mau membeli pigura besar bekas foto keluarga. Tapi akhirnya memborong semua suvenir dari seluruh dunia koleksi keluarga saya," sebutnya.
Setelah itu, setiap ada barang-barang yang mau dijual, ditawarkan ke Pak Aden. Bukan melulu karena butuh, lebih sering karena ingin membantu.
Dari pertemuan itu, hingga 2 tahun kemudian, Pak Aden yang memiliki kesibukan di sektor jasa kreatif itu kerap dimintai pendapat soal problem keuangan, masalah pasca-trauma, dan akhirnya bersedia mendampingi penyelesaian problem keluarga Cia, termasuk penyelesaian utang-utang keluarganya, secara sukarela.
"Saya belum begitu akrab dengan Pak Aden. Komunikasi masalah keluarga lebih sering sama Mama," ungkap Cia.
Sampai September 2019. Cia mendatangi rumah Pak Aden. "Saat itu saya menangis. Marah. Kesal. Bosan. Jengkel dengan keadaan. Saya sudah tidak tahan. Semua emosi negatif keluar. Pak Aden memberikan ruang buat saya untuk menumpahkannya," ceritanya.
"Saya sangat malu. Saya tidak pernah menangis di depan orang. Tapi saya tidak kuat lagi dengan banyak tekanan. Saya juga percaya karena selama pendampingan masalah keluarga, saya mengamati prosesnya," tambahnya.
Bagian menarik dari proses pertemuan kala itu adalah: Cia tidak juga bisa berkata-kata. Ada banyak sekali yang ingin disampaikan, namun berputar-putar dalam pikiran. Tak ada keberanian untuk menyampaikan. Otaknya seperti buntu. Lidahnya kelu.
"Saya diberi setumpuk kertas kosong dan pena. Dibebaskan untuk menulis dan menumpahkan semua yang ada dalam pikiran," sebutnya.
KESIBUKAN SEBAGAI DUTA
Punya modal paras yang cantik, kulit putih, mata jernih dan lentik, wajah blesteran, tinggi badan semampai, tidak sedikit yang memberikan penawaran atau mengajak Cia bergabung dalam kompetisi atau aktivitas pariwisata, modelling maupun pekerjaan.
Sejumlah bank, tawaran pramugari atau pekerjaan pramuniaga pusat perbelanjaan adalah beberapa yang pernah ia dapatkan. Cia sangat ingin, tapi merasa tidak pede. Karena masalah ekonomi, Cia tidak meneruskan kuliah -- sesuatu yang sangat ia impikan setelah lulus SMA. Ia lalu memilih bekerja sebagai kasir di salah satu mall, lalu mencoba penawaran sebagai sales counter produk kecantikan.
Pertemuan dengan Pak Aden malam itu, juga menjadi awal mindset Cia berubah. Bahwa kuliah itu baik dan penting, tapi belajar bisa di mana saja. Bahwa bekerja itu harus, tapi kompetensi dan skill individu jauh lebih penting. Bahwa pengalaman itu tidak selalu baik, tapi pasti berharga.
Cia kemudian meninggalkan semua pekerjaannya: untuk belajar lagi. Pada siapa saja. Pada apa saja. Ia dipertemukan dengan beberapa relasi Pak Aden, dengan satu syarat. "Saya hanya mengantar. Pertarungan sebenarnya adalah pembuktian kemampuan dirimu sendiri," kata Cia, menirukan Pak Aden.
Mau tak mau Cia berlatih siang dan malam. Komunikasi, kepekaan, etika dalam pergaulan, membangun mindset positif, dan banyak lagi.
Cia kemudian terpilih menjadi salah satu Duta Bhayangkara Polri Daerah Kalimantan Timur (Duta Humas Polda Kaltim) tahun 2020. Tugasnya adalah menyosialisasikan tugas dan fungsi Polri. Edukasi Anti Narkoba kepada remaja. Sosialisasi Anti Hoax kepada remaja dan milenial.
Cia juga dipercaya menjadi Brand Ambassador untuk Cake Salakilo--UKM terbaik di Balikpapan. Aktivitas lain seperti menjadi Duta Durian Traveler, Duta Aneka Tani Balikpapan, dan kini bertugas sebagai Human Relation di Discover Balikpapan. Beberapa kesibukan sebagai master of ceremony, singer, video maker dan content creator di sosial media, adalah aktivitas yang mewarnai hari-hari Cia belakangan ini.
Cia sendiri adalah nama kecil pemberian Pak Aden. Penggalan dari namanya sendiri: Alicia. Nama panggung yang menjadi representasi lahirnya pribadi Alicia Mardiah Fife yang baru. Cia aktif menumpahkan ide, ekspresi dan karyanya di Instagram @godiscover_cia. (eny/dah)
Tags :
Kategori :