NOMORSATUKALTIM - Kecelakaan angkutan logistik yang hampir setiap hari terjadi di Indonesia mengungkapkan adanya kelemahan mendasar dalam pengawasan dan tata kelola transportasi barang.
Djoko Setijowarno, seorang akademisi Teknik Sipil dari Universitas Katolik Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, mengungkapkan bahwa kecelakaan semacam ini bisa terjadi hingga tujuh kali sehari.
Ironisnya, angka ini terjadi meskipun jumlah armada truk jauh lebih sedikit dibandingkan kendaraan roda empat.
“Pengawasan terhadap operasional angkutan barang masih sangat minim,” ujar Djoko pada Kamis, 26 Desember 2024.
BACA JUGA : Galeri Nasional Batalkan Pameran, Yos Suprapto Dapat Tawaran dari Galeri Internasional
Ia menambahkan bahwa kecelakaan tersebut juga mencerminkan dua persoalan besar, yakni rendahnya kompetensi para pengemudi dan buruknya kondisi kendaraan angkutan barang.
Data dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memperkuat pendapat ini.
KNKT mencatat bahwa salah satu penyebab utama kecelakaan truk adalah kegagalan sistem pengereman, yang sebagian besar disebabkan oleh kurangnya perawatan rutin pada kendaraan.
“Tidak ada regulasi yang secara tegas mewajibkan perawatan sistem rem sebagai tindakan preventif,” tambah Djoko.
Peran truk besar dalam distribusi barang tidak dapat disangkal, namun ukuran kendaraan yang besar justru menjadi ancaman ketika dikemudikan oleh pengemudi yang kurang terampil atau kendaraan yang tidak dirawat dengan baik.
BACA JUGA : Ngeri! Rekaman Detik-detik Suasana Kabin Pesawat Azerbaijan Airlines Sebelum Jatuh Beredar
Djoko juga menyoroti bahwa untuk memastikan perawatan kendaraan yang optimal dan pengemudi yang kompeten, diperlukan biaya yang tidak sedikit.
“Namun, biaya yang ditekan akibat liberalisasi angkutan barang sering kali mengorbankan aspek keselamatan,” tegasnya.
Djoko menjelaskan bahwa liberalisasi tarif angkutan barang di Indonesia selama ini cenderung mengabaikan pengawasan terhadap standar keselamatan.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 184 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyatakan bahwa tarif angkutan barang harus berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum.