Oleh: Rina Juwita
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman
PILKADA adalah momen di mana masyarakat diberikan kekuatan untuk menentukan pemimpin daerah mereka. Tapi, bagaimana jadinya kalau masyarakat memilih untuk tidak memilih?
Fenomena golput (golongan putih) yang terus meningkat di Kaltim pada Pilkada 2024 adalah alarm bagi demokrasi kita.
Dalam perspektif komunikasi, tingginya angka golput tidak hanya tentang apatisme masyarakat, tetapi juga cerminan dari kegagalan komunikasi antara kandidat, penyelenggara pemilu, dan rakyat.
Golput sering kali dianggap sebagai bentuk protes diam masyarakat. Tapi, apakah benar diam itu emas?
BACA JUGA: Pilkada, Satu Suara Sangat Penting
Dalam konteks politik, diamnya rakyat bisa jadi tanda frustasi atau kehilangan kepercayaan.
Komunikasi politik yang semestinya menjadi jembatan antara kandidat dan pemilih malah sering terasa seperti jalan satu arah.
Janji-janji besar yang dilontarkan kandidat dalam kampanye sering kali gagal menjawab masalah sehari-hari masyarakat.
Salah satu penyebab utama golput yang banyak dibicarakan adalah fenomena money politics alias politik uang. Ini bukan cerita baru, tapi kenapa terus berulang?
BACA JUGA: Timnat Dicukur Jepang 4-0, Erick Tohir Siap Mundur
Dalam logika komunikasi, politik uang mengirimkan pesan bahwa suara masyarakat bisa dibeli. Ini menciptakan kesan bahwa pemilu bukan tentang gagasan atau visi, tapi sekedar transaksi ekonomi.
Akibatnya, banyak pemilih yang merasa suara mereka tidak bermakna kecuali ada “amplop’ di baliknya.