Restorasi Lahan Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit Bisa Turunkan Emisi

Rabu 11-09-2024,19:50 WIB
Reporter : Salsabila
Editor : Baharunsyah

SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM – Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) melakukan penelitian mengenai upaya restorasi gambut. Penelitian ini diyakni berdampak positif untuk mitigasi perubahan iklim.

Senior Manager Karbon Hutan dan Iklim YKAN, Nisa Novita mengatakan, dalam penelitian itu menemukan intervensi rewetting melalui pembangunan sekat kanal di perkebunan sawit, yang ditanam di lahan gambut.

“Kami menilai hal tersebut dapat mengurangi emisi gas karbondioksida secara signifikan dan tidak ada efek untuk emisi metana,” kata Nisa Yovita melalui rilis yang diberikan kepada NOMORSATUKALTIM, pada Rabu (11/9/2024) sore.

BACA JUGA:Akses Pasar Mudah, Perkebunan Kelapa Sawit Lebih Menjanjikan Dibandingkan Pisang Kepok

BACA JUGA:Disbun Kaltim Peringatkan Petani: Waspadai Bibit Sawit Palsu!

Data tersebut merupakan hasil riset YKAN bersama dengan sejumlah kampus atau universitas. Seperti Universitas Tanjungpura, IPB University, Badan Nasional Riset dan Inovasi (BRIN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Stanford University, United Nation University, Oregon State University dan The Nature Conservancy.

Hasil riset nya juga telah dipublikasikan dalam jurnal Science of The Total Environment berjudul “Strong climate mitigation potential of rewetting oil palm plantations on tropical peatlands” terbit pada 26 Agustus 2024 lalu (https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2024.175829).

“Penelitian berangkat dari kondisi selama beberapa dasawarsa, dimana lahan gambut tropis di Indonesia telah mengalami deforestasi dan dikonversi menjadi penggunaan lahan lainnya. Khususnya perkebunan kelapa sawit,” ucap Nisa, sapaan akrabnya.

BACA JUGA:Komunitas Adat Kutai Lawas Sumping Layang Kedang Ipil Perjuangkan Ruang Hidup dari Ekspansi Sawit

Padahal, ujar Nisa, lahan gambut dikenal sebagai ekosistem penyimpan karbon di dalam tanah terbesar ketimbang hutan tropis di lahan mineral ataupun mangrove.

“Lahan gambut yang dikeringkan dan terdegradasi diperkirakan berkontribusi hingga 5 persen dari seluruh emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global yang disebabkan oleh aktivitas manusia,” sebutnya.

Sementara itu, Peneliti Ahli Utama Pusat pada Riset Ekologi dan Etnobiologi - Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wahyu Catur Adinugroho menyampaikan, selama ini sudah dilakukan sejumlah riset tentang dampak pembasahan kembali lahan gambut yang terdegradasi. Kendati demikian, studi untuk mengukur penurunan emisi dari aktivitas ini belum banyak dilakukan.

Sehingga, upaya pembasahan kembali belum dapat dipastikan apakan dapat menurunkan emisi atau tidak. Wahyu juga membeber pada 2022 lalu laporan Forest Reference Level (FRL) Indonesia yang kedua juga belum memasukkan potensi mitigasi dari intervensi restorasi gambut. Ini disebabkan terbatasnya data kala itu.

BACA JUGA:BRIN: Sawit Paling Memungkinkan, Produksi Singkong Nasional Belum Cukup untuk Bahan Energi Terbarukan

FREL sendiri adalah tingkat rujukan yang menunjukkan kinerja dari Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan plus (REDD+).

Kategori :