SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM - Hingga saat ini, daya beli masyarakat Indonesia diketahui mengalami penurunan yang terus berlanjut seiring berjalannya waktu.
Fenomena ini menjadi perhatian banyak pihak, terutama karena berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat, khususnya kelas menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Menurut Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Sulistyo, salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap penurunan daya beli ini adalah deindustrialisasi dini yang sedang terjadi di Indonesia.
Proses ini ditandai dengan penurunan kontribusi industri manufaktur, atau sektor pengolahan, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang secara konsisten menurun dalam beberapa tahun terakhir.
BACA JUGA : Daya Beli Masyarakat Anjlok, Ekonom INDEF: UMKM Kini Jadi Korban
Deindustrialisasi ini bukan hanya menekan kemampuan sektor manufaktur untuk menciptakan lapangan kerja baru, tetapi juga mengurangi daya saing ekonomi Indonesia di pasar global.
Selain itu, Eko menyoroti bahwa kebijakan pemerintah yang sering kali dianggap membebani kelas menengah turut berperan dalam memperburuk kondisi ini.
Kelas menengah yang seharusnya menjadi penggerak utama ekonomi justru menjadi pihak yang paling rentan terkena dampak dari kebijakan-kebijakan ini.
Menurut Eko, hal ini berpotensi menyebabkan ketidakstabilan dalam pemerintahan jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang lebih tepat.
BACA JUGA : Bupati Sri Juniarsih Minta Diskoperindag Berau Aktif Gelar Pelatihan dan Dampingi UMKM
"Alarm sebenarnya sudah berbunyi sejak April 2024, ketika indikator ekonomi mulai menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Reaksi baru muncul ketika Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur mulai menunjukkan kontraksi, atau turun di bawah level 50, yang menandakan adanya penurunan aktivitas di sektor manufaktur," ujar Eko pada Senin 9 September 2024.
Dia menjelaskan bahwa jika tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan terkait industri manufaktur, Indonesia akan terus mengalami kontraksi yang lebih dalam, yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Kita sudah melihat penurunan ini selama lima bulan terakhir, bukan hanya dua bulan. Jika tidak segera diambil tindakan, ujung-ujungnya kita akan melihat lebih banyak PHK terjadi," tambahnya.
Lebih lanjut, Eko juga menyoroti fenomena deflasi yang terjadi di Indonesia selama empat bulan berturut-turut.
BACA JUGA : Harga BBM di Kaltim Turun Per 2 September 2024, Simak Daftarnya Berikut ini!