SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM - Legenda urban Hantu Banyu yang terkenal di Kalimantan Timur (Kaltim) kini hadir di layar lebar dalam film pendek berjudul "Hantu Banyu". Film ini disutradarai oleh Muhammad Al Fayed dan merupakan hasil kolaborasi pertama Mahakama Film dengan Dinas Pariwisata (Dispar) Kaltim.
Film pendek ini mengisahkan kehidupan masyarakat di pesisir Sungai Mahakam yang dihantui oleh kejadian aneh saat seorang warga menjala ikan. Di tengah cerita mistis ini, terselip kisah romansa anak muda zaman sekarang.
Cerita berpusat pada Samar, seorang pria asal Kaltim yang bertunangan dengan Rinda dari Bandung, Jawa Barat. Samar diceritakan meninggal di Sungai Mahakam karena melanggar adat istiadat di Kalimantan. Kematiannya kemudian dikaitkan dengan legenda Hantu Banyu.
Baca Juga:
Sineas Muda Kaltim Hidupkan Kembali 'Hantu Banyu' Melalui Layar Lebar
Muhammad Al Fayed, sutradara film ini, mengungkapkan pentingnya mengangkat cerita lokal dalam perfilman. Menurutnya, film ini menjadi titik awal yang baik untuk menunjukkan kekhasan lokal Kalimantan Timur di dunia perfilman.
"Film ini menjadi titik yang baik untuk karya-karya selanjutnya, untuk menunjukan khas lokal," ujar Fayed usai pemutaran film di Bioskop CGV Plaza Mulia Samarinda pada Kamis (27/6/2024) malam.
Fayed menambahkan, film ini menjadi awal mula mengangkat cerita rakyat dan mitos di Kaltim ke layar lebar.
"Bagi saya mengangkat mitos itu penting, khususnya cerita legenda urban. Sebenarnya banyak mitos-mitos yang lain. Tapi, ini adalah tantangan dari Dispar untuk angkat mitos hantu banyu menjadi karya film," jelas pria kelahiran Samarinda ini.
Dalam proses produksinya, Fayed menemui beberapa kendala, salah satunya adalah keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) atau kru film.
"Ingin sekali melibatkan banyak orang. Hanya terbatas anggaran, dan kemampuan kita juga dalam melibatkan banyak orang," ungkap Fayed.
Baca Juga:
Almarhum Kadispar Provinsi Kaltim Ambil Bagian di Film Pendek Hantu Banyu
Kendala lain adalah lokasi syuting yang berada di luar kota, yaitu di Bandung dan Desa Pela, Kabupaten Kutai Kartanegara.
"Ini yang menjadi tantangan saat suting di Bandung. Teman-teman dan tim produser juga ikut keterlibatan dengan masyarakat untuk beradaptasi," bebernya.
Fayed berharap film pendek ini dapat menginspirasi masyarakat dan komunitas lain untuk berkarya. Ia juga ingin agar di film selanjutnya, sutradara dapat berganti orang.
"Artinya, tidak harus saya menjadi sutradara. Kita sudah dititik ini, dan memulai pada starting di film sinema Kalimantan. Silahkan teman-teman memproduksi film lainnya biar lebih luas lagi," tutupnya.
Film "Hantu Banyu" menjadi bukti bahwa cerita lokal dan mitos dari Kalimantan Timur memiliki potensi untuk diangkat ke layar lebar dan diapresiasi oleh masyarakat luas. (*Salsabila)