Kontroversi Kedemba, Antara Manfaat bagi Warga dan Aturan Pemerintah

Senin 23-12-2019,12:04 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Pak Koni menunjukkan daun kedemba yang menjadi harapan bagi pertumbuhan ekonomi Desa Sebelimbingan. (Michael F Yacob/Disway Kaltim) ====================   Tulisan Dahlan Iskan berjudul Tuana Tuha, Oktober lalu, membuat tim Disway Kaltim penasaran. Dibuatlah rencana untuk melihat lokasi habitat tanaman yang khasiatnya 10 kali lipat dari mariyuana itu. Berikut penampakannya. -------------------- KEDEMBA atau kratom istilah ini mungkin tidak ditemukan dalam kamus Bahasa Indonesia. Warga di Desa Sebelimbingan, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara (Kukar) menyebut tanaman yang katanya bisa 10 kali lipat efeknya dari mariyuana itu sebagai kademba. Serapan dari bahasa lokal. “A” di Kota Bangun dilafalkan “ai”. Jadi kaedemba. Konon tanaman ini tumbuh liar di tepi sungai. Tanaman dengan nama latin Mitragyna speciosa ini pertumbuhannya cepat. Setiap kali dicabut, dua bulan kemudian akan tumbuh lagi. Tim Disway Kaltim menelusuri kebenaran informasi tersebut di Desa Sebelimbingan, Kecamatan Kota Bangun, Kukar. Daerah tersebut disebut-sebut sebagai penghasil tanaman kedemba. Jarak tempuh dari Samarinda sekitar 118 Km. Hampir tiga jam perjalanan. Letaknya ada di ujung jembatan Martadipura. Secara geografis daerah sekitar lokasi banyak terdapat rawa. Karena itu, rumah warga mayoritas berdesain panggung. Tim mendatangi rumah Kepala Desa Sebelimbingan, pertengahan November lalu. Syaukani namanya. Atau bisa disapa Pak Koni. Menurut Koni, kedemba sudah turun-temurun tumbuh liar di daerahnya. Biasanya terletak di tepi sungai. Namun, ada pula yang berada di hutan. Kedemba yang berada di tepi sungai dianggap membantu mengurangi abrasi pada sungai. Sama seperti mangrove di pesisir ­pantai. “Makin diambil (dipetik,Red.) makin jadi tumbuhnya. Makin ditebang makin jadi,” kata Koni, sambil mengajak tim Disway Kaltim ke kebun budidaya kedemba miliknya. Berada di sekitar rumah Koni. Koni juga mengaku memiliki lahan perkebunan kedemba. Sekitar 1 hektare. Lokasi jauh dari desa. Masuk dalam hutan. Pun begitu dengan lahan milik warga lainnya. Lokasinya jauh dari desa. Tapi beberapa warga setempat juga membudidayakan di sekitar pekarangan rumah. Seiring berjalan waktu, kedemba liar di tepi sungai mulai berkurang. Utamanya dua tahun terakhir. Meledaknya fenomena kedemba terjadi sekitar akhir 2017. Warga berbondong-bondong mencabut tanaman milik mereka. Puncaknya pada 2018. Saat investor dari Amerika Serikat memesan dalam jumlah banyak. Peluang ini dimanfaatkan Koni dengan menjadi pengepul daun kedemba dari warga. Kemudian sebagian tanaman dibudidaya. Koni mengaku membeli daun kedemba dari pemetik dengan harga Rp 3 ribu per kilogram. Pemetik kadang bisa mengumpulkan hingga 100 kilogram per hari. Sehingga bisa mencapai Rp 300.000 per hari. Itulah nilai keuntungan bagi pemetik. Daunnya tidak boleh sembarangan dipetik. Pucuk tidak diperkenankan. Terlebih daun muda yang berwarna agak kemerahan. “Investor Amerika enggak suka. Mereka sukanya yang hijau tua atau daun tua. Kalau ada kemerah-merahan itu, mereka enggak mau beli,” terangnya.   Daun yang sudah dikumpulkan tadi kemudian dijemur. Koni membuat tempat khusus untuk menjemur. Lokasinya tepat di bawah jembatan Martadipura. Alat penggiling lengkap dengan penampi. Atau alat untuk menampi. Tampak di lokasi tersebut karung berisi kedemba yang sudah digiling. Menunggu ada pembeli. Penjemuran daun dilakukan dari pagi hingga sore hari. Jika matahari bersinar terik, biasanya dijemur pukul 08.00 Wita hingga pukul 13.00 Wita. Tapi jika cuaca sedikit berawan, maka waktu penjemuran diitambah. Hingga pukul 16.00 sore. Saat daun benar-benar kering, proses selanjutnya adalah digiling hingga hancur. Namun itu belum cukup. Daun harus ditampi lagi menggunakan penampi. Tujuanya supaya lebih halus. Daun yang sudah diproses itulah yang bakal diperjualbelikan. Kedemba yang sudah dihaluskan memilik tekstur lembut. Aromanya seperti daun teh hijau. Menenangkan layaknya aromaterapi. Cara mengonsumsinya juga seperti membuat teh. Ditaruh di dalam penyaring, lalu tuangkan air panas ke dalam cangkir. Tapi hati-hati. Rasanya sangat pahit. Meski hanya satu sendok teh. Takarannya bebas. Disesuaikan dengan selera masing-masing. Manfaatnya, kata Koni, bisa membuat badan segar. Akan lebih bagus diminum sebelum tidur. Agar manfaat bagi tubuh lebih terasa keesokan harinya. Dari usaha itu, Koni bisa mempekerjakan 30 orang. Semuanya mulai dari pemetik, penjemur, penggiling, hingga bagian penampi. Harganya cenderung meningkat. Setelah menjadi bubuk halus, harga jual naik menjadi Rp 22.000 per kilogram. Bahkan pernah menginjak Rp 27.000 per kilogram. Turun? Tidak. Malah makin naik. Terlebih saat kedemba masuk pasar Amerika Serikat. Satu kilogram bisa mencapai Rp 400.000. Tapi hal tersebut lantaran dipengaruhi biaya pengiriman. Mencapai Rp 225.000 per kilogram. Mulai pengepakan hingga ke Amerika menggunakan peti kemas.   PETIK UANG Kedemba atau kratom adalah tumbuhan asli di Tuana Tuha. Sebuah desa berpenduduk 3.000 orang, sekitar empat jam dari ibu kota Kalimantan Timur, Samarinda. Penelusuran Resty Woro Yuniar/SCMP menunjukkan bahwa kedemba termasuk famili kopi-kopian. Sejak akhir tahun 2017 telah menjadi sumber mata pencaharian utama penduduk lokal. Menggantikan minyak sawit dan mencari ikan. Bahkan penduduk setempat dengan yakin mengatakan,”Jika kita menemukan pohon kedemba, berarti kita dapat uang.” Memetik daun kedemba liar di pohonnya yang rata-rata setinggi hampir 7 meter, memang memerlukan keterampilan tersendiri. Seorang pemetik berpengalaman mampu memetik sampai 200 kilogram daun per hari dan mendapat penghasilan harian sebesar Rp 400,000 untuk kerja tujuh jam. Bandingkan ketika warga mencari ikan. Jangka waktu dan kepayahan serupa. Namun penghasilannya tidak menentu dan sulit dijadikan pegangan. Maka jangan heran jika budidaya kedemba segera bersiap menyusul perkebunan sawit. DI PONTIANAK DIDUKUNG PEMDA Amerika termasuk pasar yang banyak meminati kedemba Indonesia. Sayangnya kedemba dari Kaltim tidak bisa diekspor begitu saja. Harus melalui Pontianak, Kalimantan Barat. Sebab hanya di sana jual beli kedemba didukung pemerintah daerah (Pemda) setempat. Tapi tidak sembarang kedemba yang laku di pasar Amerika. Bubuk kedemba harus yang masih hijau murni. Di Pontianak kedemba/kratom telah dibudidayakan untuk kepentingan perdagangan sejak tahun 2004. Koni menjelaskan, daun kedemba yang sudah dihaluskan biasanya digunakan untuk pengobatan. Informasi Koni, di Amerika penggunaannya tidak dilarang. Sehingga potensi pasar sangatlah besar. Sayangnya penjualan kedemba stagnan. Banyak pengusaha mengeluh. Lantaran macetnya pembayaran dari pengepul utama di Pontianak. Sepengetahuan Koni, ada warga yang hingga Rp 3 miliar piutangnya. Ada juga yang Rp 600 juta. Koni sendiri ikut merugi sekitar Rp 60 juta. Kedemba miliknya belum dibayar pembeli di Pontianak. Usut punya usut, kata dia, terjadi penumpukan stok di Pontianak. Penyebabnya antara lain, pengolahan kedemba mulai dari daun hingga menjadi bubuk tidak dilakukan secara baik. Barangnya cepat rusak. Bubuk kedemba berubah menjadi merah kekuning-kuningan. Buyer berpikir dua kali. Pasar Amerika tegas menolak membeli. “Dia (investor Amerika, Red.) itu senangnya yang hijau,” sebut Koni. Tahun depan, sekitar bulan Januari – Februari, kata dia, merupakan puncaknya pembeli dari Pontianak yang cari kedemba. Dan kedemba yang sudah dihaluskan dan dikemas dalam karung siap untuk dikirimkan jika ada permintaan. Di Pontianak kedemba/kratom telah dibudidayakan untuk kepentingan perdagangan sejak tahun 2004. ADA ASOSIASI PENGEPUL Untuk di wilayah Kalimantan, baru Pontianak yang sudah memiliki asosiasi pengepul kedemba. Karena memang pasar kedemba disana sudah ada hampir 15 tahun. Berbeda dengan Kaltim. Tidak punya asosiasi. Justru kedemba dianggap potensial menggantikan karet dan sawit yang harganya sedang jatuh. “Karet sedang turun harganya. Sawit panennya lama, kalau kedemba panennya cepat. Kami berharap tanaman ini bisa difasilitasi pengembangannya seperti di Pontianak,” harapnya. Terkait larangan BNN. Ia tidak sepenuhnya sepaham. Sebab tumbuhan ini dibudidayakan dan diperjualbelikan hanya sebagai obat. Bahkan, Ia menyebut Kementerian Kesehatan tidak pernah mengeluarkan larangan. Kalau pun ada larangan demikian, Ia dan pedagang lainnya meminta difasilitasi. “Misalkan boleh dibudidaya tapi hanya untuk keperluan pengobatan. Kan tidak salah,” keluhnya. KONTROVERSI Mengutip tulisan Wahyuni Susilowati, seorang penulis independen, yang ditayangkan Kompasiana 7 Oktober 2019. Kedemba yang dikenal dengan nama Kratom itu, daunnya mengandung semacam senyawa yang dapat memengaruhi pikiran. Tepatnya pada reseptor-reseptor otak. Sama seperti kinerja morfin. Hal itu yang menjadikannya salah satu obat herbal populer. Penggunaan kratom kini tengah diawasi secara ketat di AS. Lebih dari 130 orang tewas setiap hari akibat overdosis penggunaan opioid (obat penghilang rasa sakit yang bekerja dengan reseptor opioid dalam tubuh, terbuat dari tanaman opium atau bahan sintetiknya. US Food and Drug Administration bahkan mewanti-wanti agar berhati-hati mengonsumsinya. Kendati sudah berhenti mendeklarasikannya sebagai bahan illegal. Seperti dilansir South China Morning Post, 6 Oktober 2019. Sementara itu, di Indonesia. Badan Nasional Narkotika (BNN) tengah memperjuangkan agar Kementerian Kesehatan mengklasifikasikan kratom sebagai psikotropika kelas satu. Seperti heroin dan kokain, yang pelanggaran penggunaannya bisa dikenai hukuman maksimum 20 tahun penjara. Karena bahaya yang ditimbulkan sepuluh kali lipat lebih besar dari kokain atau mariyuana. American kratom Association memperkirakan, pada Juni 2019 di AS tercatat ada 15.6 juta pengguna. Nilai industrinya mencapai lebih dari satu miliar dolar. Kratom dinyatakan ilegal di enam negara bagian AS. Termasuk Alabama dan Wisconsin, dan di kawasan Eropa. Yang menyatakan illegal antara lain Irlandia, Swedia, Latvia, Lithuania, dan Inggris. Sedangkan sebagian lain Jerman, Perancis dan Spanyol melegalkannya. Kedemba diperjual-belikan di internet dalam bentuk bubuk hijau, teh, atau permen karet. BELUM ADA EDARAN KEMENKES RI Khasiat Kedemba secara medis belum diakui Dinas Kesehatan (Diskes), Kukar. Sekretaris Diskes Kukar Ismi Mufoddah bahkan tidak bisa banyak bicara. Kedemba pun belum masuk dalam daftar obat tradisional. Versi Diskes. Saat disinggung kandungan kratom atau kedemba yang disebut mengadung zat adiktif layaknya narkotika, Ismi kembali irit bicara. Diskes Kukar belum melakukan pembahasan terhadap tumbuhan itu. Dengan alasan belum ada pembuktian secara ilmiah. Juga belum mendapat arahan. Baik dari provinsi maupun pusat. Bahkan menurut Ismi, Kemenkes RI belum mengeluarakan surat edaran  tentang kratom atau kedemba. "Kami tidak menindaklanjuti apapun, dari Kemenkes, dari provinsi tidak ada instruksi apa-apa," pungkasnya. Kratom dikenal dengan beragam nama. Mulai biak-biak. Ketum. Hingga Maeng Da. Tanaman ini banyak terdapat di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Dari data Badan Narkotika Nasional (BNN) Kaltim, penggunaan Kratom pertama kali pada 1836. Oleh orang Melayu sebagai pengganti opium. Efek samping tumbuhan tersebut tergantung pada dosis. Mitraginin relatif aman pada dosis subkronik. Yakni 1-10 miligram per kilogram (mg/kg). Tetapi menunjukkan efek toksik pada dosis tinggi. Yaitu di atas 100 mg/kg. Namun karena tidak teraturnya efek farmakologi kratom, maka sukar untuk menetapkan dosis. Sementara itu, ketika dikonfirmasi Humas Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Kaltim Hariyoto mengatakan, tanaman ini banyak diekspor ke Eropa. Terutama Inggris dan Belanda. Termasuk Amerika. Bahkan, pada 2016 lalu, ekspor kratom hampir 300 ton. Ekspor kratom sempat menyentuh 400 ton sebulan. Tapi pada 2018 menurun menjadi 100 ton sebulan. Karena FDA Amerika mengeluarkan informasi bahwa 199 orang terinfeksi salmonella dari kratom yang terkontaminasi bakteri salmonella. “Di Indonesia, kratom masih legal. BNN pun masih menunggu instruksi Kementerian Kesehatan serta dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melarang peredaran tanaman ini,” katanya. Selain di Kaltim, tanaman Kratom juga banyak ditemukan di  Kalimantan Barat. Kabupaten Sambas. Serta, Kebun percontohan Kratom di Kota Pontianak sebanyak 1.000 pohon diakomodasi oleh Asosiasi Eksportir Kratom Pontianak, Kalbar. Dia menyebut, keratom mengandung senyawa yang berbahaya bagi kesehatan. Pada dosis rendah mempunyai efek stimulan. Bahkan dosis tinggi dapat memiliki efek sedatif-narkotika. Selain itu, 7-OH- Mitragynine memiliki efek 13 kali kekuatan morfin. Yang dapat menimbulkan Withdrawal Symptoms (adiksi), depresi pernapasan serta kematian. "Jika dilegalkan, kita harus mengontrol dan juga memiliki banyak penelitian,” bebernya. Tapi efek positif kratom juga ada. Yakni sebagai obat alternatif mengurangi narkoba. Termasuk kecanduan rokok.  (*)   EDITOR            : Devi Alamsyah Pewarta           : Michael F Yacob, Baharunsyah    

Tags :
Kategori :

Terkait