Catatan Devi Alamsyah
SETIAP kali menggunakan jasa driver online saya sempatkan mengajak ngobrol. Tema apa saja. Kondisi kekinian hingga politik. Saya ingin tahu apa sih wacana yang berkembang di masyarakat versi sopir online ini.
Benar. Yang paling antusias memang ketika obrolan masuk ke tema politik. Terutama Pemilihan Presiden (Pilpres). Sepertinya urusan politik pilpres ini seksi untuk dibicarakan. Banyak drama-dramanya. Tidak hanya di kalangan politisi, tapi saya yakin terjadi juga di masyarakat luas.
Kebetulan bulan Februari lalu, saya bepergian ke dua kota besar. Surabaya dan Jakarta. Awal bulan, sepekan sebelum pencoblosan (Pemilu serentak 2024) saya ke Surabaya. Kemudian akhir Februari ke Jakarta untuk pertemuan Disway Group.
Selama aktivitas itu, tentu saya banyak menggunakan jasa para sopir online ini. Mulai dari Samarinda menuju Bandara APT Pranoto, pun setelah di Surabaya dan Jakarta.
Ilustrasi--nomorsatukaltim.disway.id
Baca Juga:
Masyarakat Berani Lapor, Politik Uang Bisa Dicegah
Ada sopir online yang mulanya terlihat diam, namun ketika bicara politik pilpres, wah, nyerocos tanpa rem. Seperti habis terperangkap macet langsung masuk tol. Hingga sampai tujuan pun, sepertinya obrolan belum tuntas.
Banyak hal baru. Mulai yang rasional hingga soal ramalan. Diskursus politik yang dipertontonkan para elit itu direspons secara beragam. Masyarakat, para sopir itu, umumnya menyimpulkan sendiri berdasarkan latar belakangnya masing-masing.
Misalnya saja, elit polik mengkonstruksi wacana A, bisa saja disimpulkan B, C atau bahkan Z. Pertanyaannya, darimana mereka dapat kesimpulan itu? Siapa yang memengaruhinya?
Liman, seorang sopir online yang saya tumpangi dari kawasan Senayan ke Blok M, mengaku sudah mengetahui bahwa Paslon Prabowo-Gibran akan menjadi pemenang pilpres. Dasarnya ramalan.
Liman adalah nama tengah. Seorang warga Tionghoa. Saya tidak menyebutkan nama lengkapnya. Karena obrolan saya tidak dimaksudkan untuk wawancara. Ada beberapa mazhab dalam jurnalistik yang perlu memperkenalkan diri sebagai wartawan dan menyampaikan bahwa hasil wawancaranya akan dimuat.
Baca Juga:
Tolak Hasil Pilpres 2024, Simpatisan Capres 01 Demo di Kantor Bawaslu Kaltim
Saya tidak melakukan itu. Tapi riwayat Liman terekam dalam aplikasi online saya.
Pertama, kata Liman, kemenangan paslon 02 itu terlihat dari perubahan imej dari sosok Prabowo. Yang dulu terkesan garang dan ditakuti, sekarang lebih luwes. Publik mengkonstruksinya dengan "Gemoy".
Kedua, katanya, dilihat dari bersatunya Prabowo dengan Jokowi. Yang sebelumnya berseteru habis-habisan di 2014 dan 2019. Dia melihat bersatunya dua tokoh ini dianggap pertanda. Karena tidak mudah menyatukan kedua tokoh tersebut dengan latarbelakang yang berbeda.
Ketiga, waktu pencoblosan pada 14 Februari. Ini katanya juga berpengaruh. Kalau saja pencoblosan dilakukan tanggal 15 Februari dan setelahnya. Ia meyakini tidak akan jadi menang. Kenapa? Ini karena Prabowo dan Gibran katanya memiliki Shio yang sama. Dalam astrologi Tionghoa, katanya, kalau ada dua shio yang sama bergabung, bakal tidak sukses.
"Untungnya pas, koh, tanggal 14 itu belum masuk hitungan," kata Liman. Saya manggut-manggut saja. Padahal sama sekali enggak paham.
Sebetulnya ada satu pertanda lagi yang disebutkan Liman. Tapi saya lupa persisnya. Namun dari obrolan yang Ia sampaikan, kecenderungannya memilih paslon 02.
"Bapak nyoblos ke TPS?" tanya saya.
"Tidak, saya kan pindahan rumah, enggak sempat urus," jawabnya.
Sebelumnya, dari kawasan Blok M tempat saya menginap menuju ke Senayan, menggunakan jasa Herly, sopir online. Lagi-lagi saya ambil nama tengahnya. Juga warga Tionghoa.
Herly adalah Ahokers, para pencinta Ahok. Tentu Anda tahu kecenderungannya siapa yang dia pilih.
Herly banyak bicara soal indikasi kecurangan pemilu dan wacana hak angket yang lagi ramai itu. Dari obrolannya, Herly cukup mengikuti isu politik yang berkembang. Dia sangat percaya apa yang disampaikan Ahok. Pada periode pemerintahan sebelumnya, Ia mendukung Jokowi.
Pun ia percaya ada kecurangan pemilu yang TSM itu (terstruktur, sistematis dan massif). Ia berharap pada hak angket. Membongkar semua kecurangan pemilu itu.
Salah satu yang membuatnya kurang percaya pada pemerintah adalah prihal ibu kota nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Ia mengutip omongan Ahok. Kenapa tanah yang dijadikan kawasan IKN bukan milik Pertamina saja? Kan Pertamina punya banyak tanah.
Menurutnya ada orang yang diuntungkan dalam pemilihan kawasan IKN di Kaltim itu.
"Punya siapa itu? paham kan!," kata Herly.
Untuk capres, ia melihat track record-nya. Menurutnya yang jejaknya baik ya paslon 03; Ganjar-Mahfud. Bagaimana dengan Anies? "Ah kalau itu saya enggak lah..," katanya.
"Bapak nyoblos ke TPS?" tanya saya.
"Enggak, saya lagi di luar kota. Tapi saya mempengaruhi 2 penumpang saya untuk coblos Ganjar..hehe," kelakarnya.
Berbeda dengan Liman. Sama-sama Tionghoa, tapi lebih mendukung IKN. Karena bagi Liman, Jakarta sudah semrawut dan macet. Alangkah baiknya jika ada IKN.
Jauh sebelum itu. Sepekan sebelum pencoblosan, saya bertemu dengan Razi. Ini nama belakang sopir online. Ketika perjalanan menuju bandara APT Pranoto Samarinda mau ke Surabaya. Razi ini pendukung paslon 01; Anies-Muhaimin.
Karena sebelum pencoblosan, Razi yakin sekali kalau Anies akan menang. Dalam survei yang ia pegang teguh. Anies-Muhaimin 70 persen akan memenangkan pilpres sekali putaran.
Saya sampai mengernyitkan dahi. Karena selama ini perjalanan survei yang saya amati dari lembaga-lembaga itu, tidak ada satu paslon pun yang bisa sampai 70 persen elektabilitasnya. Prabowo-Gibran yang jadi primadona survei yang muncul itu, hanya membukukan kisaran 48 hingga 52 persenan.
Survei darimana itu?
"Survei kalangan kita sendiri. Kalau tidak dicurangi, Anies pasti menang 70 persen," katanya, yakin sekali.
Karena itu, ia bersama teman-temannya yang sejalan, akan mengawal di TPS, supaya tidak terjadi kecurangan. "Nanti setiap TPS kita foto. Kalau tidak dicurangi pasti menang," tegasnya.
Sama dengan teman kerja saya, Pak Anto, bagian cetak Disway Kaltim yang saya ajak ke Surabaya. Pak Anto juga pendukung panatik Anies. Baginya, urusan pilpres tidak boleh terima kanan kiri. Anies harga mati. Tapi untuk Pilkada boleh-boleh saja lirik kanan-kiri.
Bahkan Pak Anto meminta agar pulang ke Samarinda sebelum hari pencoblosan. Ia ingin sekali memastikan kemenangan capresnya.
Mungkin itu sebabnya, perolehan suara partai pendukung tidak selalu linier dengan pilihan paslon capres-cawapresnya. Karena bisa jadi mayoritas masyarakat sudah punya dambaannya masing-masing.
Dari semua kecenderungan pilihan politik pilpres 2024, sepertinya para pendukung Anies terlihat lebih militan.
Saya jadi bertanya-tanya, sejauhmana efektivitas model pengarahan pilihan politik melalui kepala desa, Pj gubernur atau bansos bagi masyarakat, seperti yang diisukan sebagai kecurangan TSM itu?
Tapi kalau masyarakat seperti para sopir online dan Pak Anto tadi, sepertinya tidak akan banyak terpengaruh ya.
Sepulang dari Surabaya, saya diskusi ringan dengan redaktur Disway Kaltim; Baharunsyah. Kami memanggilnya Bayong. Diskusi terkait dinamika dan pergerakan politik pada Pemilu 2024.
Saya sampaikan hipotesa awal. Untuk melihat pilihan kecenderungan masyarakat, ya di Pilpres. Untuk melihat suara asing, bisa tercermin di LSM, atau yang berafiliasi dengan lembaga donor asing. Untuk melihat pergerakan suara elit parpol, bisa dicek pada pergerakan mahasiswa.
Bagaimana melihat suara ASN? heheheh... itu yang enggak boleh. Bagaimana dengan Anda? (*)