Hulu Hilir Beasiswa

Minggu 06-08-2023,09:12 WIB
Reporter : Rudi Agung
Editor : Rudi Agung

Per 1 Januari 2023, posisi endowment fund berada di angka Rp 119 triliun. Karena itu, proyeksi akumulasi jumlah dana abadi pada 2023 nantinya mencapai Rp 139 triliun.

Faktor kedua, Kementerian Keuangan melalui LPDP memperluas program beasiswa itu dengan menambah volume penerima beasiswa. Serta adanya beasiswa baru untuk dokter spesialis dan profesi lainnya, termasuk untuk vokasi.

Dalam catatan media, pada 1 Februari 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengungkap, guyuran anggaran pendidikan pada APBN 2023 menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Yakni mencapai Rp 612,2 triliun. Ia menyampaikan hal itu di Mandiri Investment Forum.

Dengan dana yang super jumbo itu, adalah wajar jika Anies dan Jokowi meminta penerima beasiswa untuk berkontribusi pada Indonesia. Keduanya mengingatkan agar tidak terlena berkarir terlalu lama di luar negeri.

Selama ini, SDM Indonesia memang masih kalah dibanding India dan Filipina. Dalam hal penyebaran tenaga ahli di instansi global. Itulah kenapa Anies mengingatkan agar usai kuliah, perbanyak jaringan dan pengalaman.

Di sisi lain, Jokowi juga mengingatkan saat ini negara membutuhkan ilmu dan kepiawaian mereka untuk membangun negeri. Namun, memang realitanya, belum ada wadah khusus bagi mereka yang pulang ke Tanah Air.

Ini bukan tentang manja atau disuapi terus. Namun, sepertinya program beasiswa saat ini belum mencakup hulu ke hilir. Sudah banyak dari mereka yang berkontribusi, tapi tidak memegang kendali kebijakan.

Dengan kata lain, dampak untuk negara masih relatif kecil. Kantong-kantong strategis pemegang kebijakan masih berbau politis. Diduduki tim sukses, titipan partai, kolega, atau person yang di luar kemampuannya.

Bisa kita amati, sejumlah jabatan strategis diduduki tim sukses dan relawan. Padahal, mohon maaf, mungkin kapasitas dan kapabilitasnya masih lebih unggul jebolan beasiswa LPDP.

Hal lain, soal apresiasi yang dinilai lebih kecil dibanding yang mereka peroleh dari luar negeri. Realitanya, orang cenderung memilih yang lebih baik dan besar. Akibatnya, mereka lebih betah berkarir dan berkarya di negara lain. Ini tidak semua. Tapi ada.

Secara etika, memang selaiknya mereka harus menerima berapapun atau apapun apresiasi yang diberikan. Sebab, pendidikannya telah dibiayai negara. Faktanya, selama tidak ada aturan yang mengikat kuat, tak ada reward dan punishment yang menantang, otomatis berkarir di luar jadi pilihan.

Kerabat bercerita. Ia dapat beasiswa dari salah satu kementerian. Kuliah S2 di Jerman. Setelah kembali, ia ditempatkan di posisi yang bukan bidangnya. Adapun posisi strategis lebih bernilai politis. Apresiasinya pun kecil.

Akhirnya saat usai masa 2-3 tahun mengabdi, ia kuliah lagi di luar negeri, mengambil S3. Kali ini dengan biaya sendiri. Saat saya tanya kemana setelah lulus, ia memilih tinggal di Eropa. Alasannya klasik.

"Di Jerman aku lebih dihargai dan bisa berkarir sesuai keahlianku," ujarnya, melalui sambungan telepon genggamnya. Padahal saat ini ia masih studi di Siberia. Tapi sudah berencana untuk menetap di Jerman.

Masygul mendengarnya. Tapi, itulah realitanya. Posisi politis dan apresiasi yang kecil, bisa menjadi penyebab larinya orang-orang yang berkompeten ke luar negeri.

Kerabat lain juga sama. Ia akhirnya juga memilih beasiswa biaya sendiri agar tidak terikat. Sebab saat pernah kembali, apresiasinya dinilai kecil. Kalah bersaing dari orang dalam lingkaran kekuasaan.

Tags :
Kategori :

Terkait