Jurus Lindungi Kontraktor: Sabar!
Jumat 07-04-2023,05:30 WIB
Reporter : Rudi Agung
Editor : Rudi Agung
Sabar, sabar, sabar dan tunggu. Itu jawaban yang kami terima.
Potongan lagu Iwan Fals berjudul: Bongkar, itu mengalun dari sebuah sound system hitam. Sua iramanya menggema, di salah satu cafe di Balikpapan, Rabu malam.
Hoi hentikan
Hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan
O, o, ya o ... Ya o ... Ya bongkar
O, o, ya o ... Ya o ... Ya bongkar
Lirik lagu itu, diikuti beberapa lisan pengunjung, dengan antusias dan tawa. Mendengar syairnya, membawa memori pada isu yang tengah ramai diperbincangkan warga Balikpapan: proyek DAS Ampal.
Carut marut proyek DAS Ampal seakan menjadi santapan dari jagat maya sampai lounge hotel bintang lima. Dari warung kopi sampai warung kelontong.
Dari pengendara sampai emak-emak berdaster yang kecewa. Dari tukang gorengan hingga anggota Dewan. Semua mengeluhkan.
Tapi, seakan keluhan warga Balikpapan, dianggap selesai dengan kata andalan: sabar!
Aduh please. Jangan ajari ikan berenang, begitu keluhan seorang warga. Jangan minta warga Balikpapan menahan kesabaran, saran emak-emak di sekitar Wika.
Jangankan cuma penutupan jalan dua bulan, kenaikan harga sembako berulang, kenaikan harga BBM berkali-kali, masyarakat Balikpapan tetap santuy. Himpitan apapun, biasa saja. Paling banter, mengeluh sekadarnya.
Toh di saat banyak daerah lain melakukan demonstrasi, menggelar aksi unjuk rasa, warga Balikpapan asyik bekerja. Atau bercengkrama dengan keluarga. Atau cuma kongkow bersama kolega.
Kurang apa coba, sabarnya warga Balikpapan? Sabar seperti makanan, sudah menjadi kebiasaan. Laiknya budaya.
Jadi, bukanlah imbauan sabar, yang diinginkan warga. Melainkan aksi nyata wali kota. Warga menantikan potret pemimpin bijaksana.
Masyarakat kepingin melihat langkah taktis, solusi kongkret. Yang bisa mengembalikan hak-hak dasar warga, melewati akses jalan utama.
Bukan dipaksa sabar sambil terus membela kontraktor yang beberapa kali ingkar janji. Lepas komitmen target capaian.
Apalagi, berdasar data dari Kemenkumham, akta perusahaan kontraktor DAS Ampal, diubah per 16 Januari 2023. Hal ini menimbulkan tanda tanya publik.
Ada apa? Kenapa proyek sudah berjalan, ada pengubahan akta? Mudah-mudahan hanya penyegaran perusahaan, bukan ada hal yang disembunyikan.
Apapun itu, jika berkenan, jangan lagi imbau sabar, tapi kerugian warga makin besar. Imbau sabar, tapi tidak pernah merasakan menjadi pelaku usaha yang andalannya ditutup begitu saja. Tiba-tiba.
Tempat usahanya makin sepi. Jatuh rugi.
Imbau sabar, tapi tak pernah merasakan kepenatan seperti yang dialami warga Balikpapan.
Barangkali, sesekali dicoba duhai yang terhormat, menyamar menjadi warga biasa. Pakai kendaraan seadanya, menjemput anaknya tanpa pengawalan, tanpa protokoler, bergabung bersama kerumunan kendaraan lainnya.
Seperti Bung Karno dulu. Yang berkamuflase jadi sipil, mampir ke warung kecil. Hanya untuk mendengar keluhan rakyat, merasakan kegundahan masyarakat yang dipimpinnya.
Lantas merumuskan kebijakan sebagai solusinya. Barangkali kalau bisa meniru cara itu, akan mudah memiliki rasa. Bukan merasa.
Memiliki rasa, dengan memposisikan diri sebagai pihak terdampak. Cara ini akan memunculkan rasa: simpati, empati.
Bukan merasa, karena sebagai penguasa, lalu cukup tunggu laporan anak buah, yang temanya berulang: asal bapak senang.
Bukan pula imbauan sabar, dan sabar.
Kalau hanya berteriak sabar, serahkan saja tampuk kekuasaan pada netizen. Tak perlu habiskan ongkos politik.
Sudah banyak yang mengingatkan agar PT Fahreza Duta Perkasa diputus. Bahkan hal itu juga bagian rekomendasi Parlemen. Hasil dari rapat dengar pendapat, sejak Desember silam.
Kalau rekomendasi itu diabaikan, lantas selama ini Legislatif dianggap apa?
Kalau buah pikir Parlemen saja diabaikan, bagaimana keluhan rakyat Balikpapan?
Ada misteri tersembunyi apa sampai sebegitu kokohnya pasang badan, cuci piring seakan-akan membela kontraktor DAS Ampal? Dengan dalih takut gugatan.
Kalau hanya takut ancaman kontraktor menggugat, sandaran hukum lebih kuat. Rakyat juga akan membela. Apalagi prosedur sudah dijalankan, SP 1 s/d SP 3. SCM 1 sampai SCM 3 juga.
Pembuktian atau showcase meeting (SCM) 3 sudah berakhir sejak 7 Januari 2023 lalu. Dengan ketentuan, progres ditetapkan harus 22 persen. Sesuai aturan, jika SCM 3 progres masih di bawah itu, pemutusan kontrak bisa jadi opsi.
Sampai awal April 2023, pengerjaan baru di kisaran 21,3 persen. Bukankah artinya tidak sesuai target lagi? Jadi, tinggal selangkah lagi: ketegasan nahkoda bersikap membela warga.
Rekomendasi Legislatif pun telah bergaung. Sampai-sampai anggota Parlemen bingung.
Rekomendasinya diputus kontrak, tapi eksekusinya malah diperpanjang. Barangkali sudah selaiknya KPK dan BPK ikut masuk dalam proyek DAS Ampal. Pihak Yudikatif perlu mendalami radar di lapangan. Menelisik kejanggalan.
Komisi III juga tak cukup sekadar berkonsultasi dengan KPK soal ini. Kalau hanya konsultasi, undang saja mereka. Bukan ramai-ramai ke Jakarta. Kalau mau ke sana, tujuannya perlu lebih dari sekadar konsultasi. Laporkan hasil-hasil temuan lapangan.
Bukankah katanya banyak temuan kejanggalan? Dari awal proses lelang, perencanaan sampai pasang badan pembelaan.
Dorong lagi pembentukan Pansus.
Masa iya, marwahnya diabaikan kok diam saja? Lantas dimana tupoksi pengawasannya kalau sudah bikin rekomendasi lalu diabaikan, tapi tetap diam. Lalu pasrah terima keadaan.
Apa bedanya dengan rakyat biasa?
Padahal, dari kaca mata politik, isu DAS Ampal bisa menjadi trigger mencari panggung untuk 2024. Apalagi sekarang momentum ciamik. DAS Ampal bisa jadi barang seksi mencari simpati, mengumpulkan lumbung suara.
Kalau lembek-lembek, keluhan warga dibiarkan, marwah Parlemen diabaikan tetap diam, gimana mau mendulang suara?
Gimana rakyat mau memilih lagi? Gimana konstituen mau memberi kesempatan duduk di kursinya lagi?
Tak semua hal bisa selesai dengan cuan. Ada hati, simpati, empati, moral, etika dan, etos kerja. Yang jauh lebih besar nilainya.
Dan tak semua bisa selesai dengan imbauan sabar. Bisa jadi, cepat atau lambat bau-bau tak sedap, akan terbongkar. Entah lewat BPK, KPK atau perangkat hukum lainnya.
Boleh jadi, DAS Ampal ini bom waktu. Ledakan kasusnya tinggal tunggu waktu.
Ah, tak ada yang tahu.
Bisa iya, bisa tidak. Sekelas Sambo saja bisa terpeleset. Apalagi kalau hanya membela kontraktor. Yang bahkan sampai tega mengorbankan rakyatnya, para pemilihnya sendiri, di lumbung suaranya.
Terjawab sudah, kenapa di sosmed muncul angin tak sedap yang kian bergemuruh, mengkampanyekan: cukup satu periode saja.
Masih ada waktu membenahinya, jangan berpikir sengkarut DAS Ampal bisa hilang dengan sendirinya. Jangan dianggap warga mudah melupakan aneka drama pasang badan untuk kontraktor, dengan mengorbankan rakyat, yang suaranya dipikir bisa dibeli.
Masih ada waktu. Segera rumuskan solusi, tanpa jurus andalan: imbauan sabar.
Pasti bisa, kalau mau. Kalau masih mendengar jerit keluh warga. Jangan sampai warga terdampak kian kecewa lalu berdoa: hingga datang karma, ditelisik PPATK, BPK atau KPK.
Duh, jangan sampai.
Cukup bersikap tegas pada kontraktor, berikan denda, sanksi, masukan daftar hitam, atau putus kontraknya. Banyak pilihan. Toh, biasanya itu juga tertuang dalam klausul perjanjian, kan?
Bukan terus memberi kesempatan, tanpa ada sanksi atau bentuk pertanggung jawaban lainnya. Simpati warga bakal banjir mendukung ketegasan ini. Cayo!
Ah iya, mumpung masuk Jumat, mari memperbanyak Shalawat: Shalaallahu alaa Muhammad.
*Rudi, penulis sejumlah buku antologi.
Tags :
Kategori :