SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor kembali menegaskan, pemerintah daerah tak memiliki wewenang mengatur pertambangan. Semenjak UU Cipta Kerja berlaku, seluruh kewenangan di tangan pusat. Upaya mewujudkan 'Kaltim Berdaulat' ikut terhambat. Kaltim Berdaulat merupakan visi Isran Noor yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kaltim 2023. Visi itu selanjutnya diterjemahkan melalui 5 misi, salah satunya berdaulat dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Belakangan, kewenangan pengelolaan sumber daya alam ditarik ke pusat melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Juga UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Terkait berbagai persoalan di bidang pertambangan, Gubernur Isran Noor menyiratkan daerah perlu memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki. Meski demikian, hingga saat ini keinginan untuk memanfaatkan sumber daya alam bagi kesejahteraan daerah penghasil, belum didukung regulasi yang tepat. “Kaltim perlu berdaulat terhadap hasil sumber daya alamnya, tapi regulasi yang ada belum tepat,” katanya. Akibat peraturan itu, pemerintah daerah, klaim Isran Noor tak bisa menindak para penambang illegal. Pernyataan gubernur disampaikan menjawab penanganan pemerintah daerah kasus tambang batu bara ilegal di sejumlah daerah. Di Kutai Kartanegara, sejumlah dosen melaporkan aktivitas tambang yang mengancam laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Sementara di Balikpapan, penambang ilegal mengangkangi peraturan daerah tentang pelarangan pertambangan. "Saya enggak mau ikut campur. Itu hak mereka untuk menambang (dengan) cara apapun. Yang mengatur kewajiban adalah pemerintah," ujarnya, saat berkunjung ke Balikpapan, Selasa (30/11). UU Ciptaker telah menarik seluruh perizinan tersentralistik ke pemerintah pusat. Selain itu, pengenaan royalti 0 persen yang berpotensi merugikan pemerintah daerah maupun pusat. UU ini juga memberikan perlindungan bagi pelaku usaha yang memiliki izin dengan adanya ancaman sanksi pidana kurungan 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta, bagi setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 168 UU Minerba. Sayangnya, aturan ini justru berpotensi melemahkan pengawasan masyarakat terhadap aktivitas tambang ilegal di daerah. "Nggak punya kewenangan lagi. Apa yang mau dilakukan? Eh, kamu jangan nambang ya. Loh, ada urusan ape gubernur melarang kami? Ini urusan kami, kami punya izin. Kalau dia enggak punya izin, bilang punya izin, mau apa?" tukasnya. Ia menyebut, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak memiliki otoritas untuk mengatur kewajiban para penambang. "Loh, saya bilang mereka menambang itu, adalah hak mereka. Kalian mau nambang, hak kalian," katanya. Ia menegaskan, bahwa pemerintah di daerah sudah tidak punya kewenangan lagi. Terkait rencana DPRD menghidupkan kembali pansus tambang, Ketua DPW Partai NasDem itu mempersilakan. “Kalau itu kan haknya DPRD,” imbuhnya. Isran kembali menjelaskan bahwa kewenangan daerah tidak hanya dipangkas dalam kegiatan pertambangan, melainkan dihilangkan. “Kalau di pusat tidak menanggapi sebuah koordinasi itu wajar. Ini (karena) tidak ada kewenangan provinsi. Nah kalau dia (provinsi) punya kewenangan (lalu membiarkan tambang illegal) baru tidak wajar,” imbuhnya. Ia menyebut, ketika UU Minerba ditarik ke Jakarta, tidak ada catatan. “Baik itu catatan (pemberian wewenang ke daerah) di dalam turunan undang-undang itu sendiri, kemudian juga di Permen SDM nya tidak ada.” Soal tanggung jawa daerah, kembali Isran Noor mengingatkan soal kewenangan. “Kalau misalnya (ada yang tanya) pemerintah provinsi punya tanggung jawab loh! Itu bagus, ini ora (tidak) ada. Kami mau mengawasi, yang diawasi itu adalah izin yang diberikan oleh kami. Misalnya yang bisa kami awasi itu adalah yang kami berikan izin. Kami yang berikan izin, tapi yang memberikan izin itu bukan kami. Apa yang kami awasi,” kata Isran dilansir Disway News Network. “Loh ngapain gubernur mau ngelarang kami, kamikan urusan di Jakarte," imbuh Isran Noor. Lalu siapa yang mengawasi tambang ilegal itu? “Jangan tanya sama saye”. Bukankah pemprov bisa melapor ke polisi? “Jangan bilang bisa. Apa itu arti bisa. Harus jelas ujung payung hukum nya. Kalau untuk berbuat sesuatu, bisa, dapat, itu kata-kata berekor, bersayap,” kata dia. Terkait komunikasi dengan dewan, Isran Noor menyebut tak diperlukan. “Apa yang mau dikomunikasikan. Emang yang membuat undang-undang itu Pemprov dengan DPRD?” sebutnya. Sementara Anggota Komisi III DPRD Kaltim Ananda Emira Moeis mengaku tak ingin berpanjang kata. “Kalau saya sih tidak mau komentar panjang-panjang. Jadi tolong ditindak tegas dan sungguh-sungguh. Udah tidak ada komentar lain lagi. Tindak tegas dan sungguh-sungguh,” katanya.
Gara-Gara UU Cipta Kerja, Kaltim Tak Berdaulat
Kamis 02-12-2021,12:43 WIB
Editor : Yoyok Setiyono
Kategori :