30 Tahun Berteman Banjir, Rudi: Kami hanya Bisa Pasrah

Kamis 16-09-2021,21:35 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Samarinda, nomorsatukaltim.com – Rudi bisa dikatakan sebagai representasi warga Samarinda sesungguhnya. 30 tahun sudah ia hidup berdampingan dengan banjir. Genangan setinggi lutut hingga pinggang orang dewasa tidak lagi menjadi hal besar baginya. Biasa saja ia menghadapinya. Ia bukannya tak mau pindah ke tempat yang lebih tinggi. Pun bukan tak pernah ingin daerahnya bebas dari banjir. Tapi …

Sudah dua hari air setinggi pinggang orang dewasa menggenangi permukiman warga di Jalan Barito, Loa Janan Ilir, Samarinda. Ribuan keluarga terdampak. Hingga harus mengungsi meninggalkan rumah. Banjir yang datang Rabu (15/9) siang itu disebut memang lebih besar dari biasanya.

Setidaknya, menurut keterangan otoritas pemerintah, sebanyak 23 RT di Kelurahan Tani Aman dan Kelurahan Simpang Tiga  terendam. Wilayah ini memang diklasifikasikan sebagai zona merah dalam hal tingkat kerawanan banjir.

Tapi sebetulnya, banjir tak hanya menggenangi wilayah tersebut. Beberapa kelurahan di Samarinda mengalami hal yang sama suramnya. Menjadi langganan banjir. Banjir di dua kelurahan di Loa Janan Ilir itu hanya gambaran. Betapa, permasalahan banjir di Samarinda telah menjelma menjadi  benang kusut atau jalan buntu yang sukar menemukan solusi. Pemerintah seperti tak berdaya. Sementara warga, mengaku tak punya pilihan selain beradaptasi.

Rudi, warga setempat, mengaku sudah tinggal di area cekungan itu selama 30 tahun. Ia sudah khatam mempelajari banjir di Jalan Barito yang terjadi setiap kali turun hujan.

"Kalau banjir biasa, genangan selutut memang setiap habis hujan. Kalau banjir setinggi pinggang sampai dada, biasanya terjadi setiap beberapa tahun. Banjir kali ini salah satunya," ujar Rudi kepada media ini ditemui di halaman rumahnya, Kamis 16 September 2021.

Banjir biasa yang disebut Rudi itu pun bukan tanpa masalah. Genangan air selutut yang rutin itu hampir selalu meninggalkan sedimen lumpur ketika surut. Makanya, warga jadi terbiasa dengan rutinitas membersihkan lumpur sisa banjir. Dalam sepekan bisa sampai tiga kali bersih-bersih rumah, kata Rudi.

"Sejak SMP, saya tinggal di Jalan Barito ini. Bahkan saya yang kasih nama jalan ini. Dulu masih sepi rumah. Baru sekarang mulai padat," ujarnya.

Warga di wilayah itu, lanjutnya, memang tak punya pilihan. Selain menetap dan beradaptasi. Rata-rata mengaku tak sanggup jika harus pindah ke kawasan yang lebih tinggi dan aman dari banjir. Karena permasalahan biaya. Sehingga hanya bisa pasrah.

"Tidak ada pilihan lain untuk bermukim. Mana sanggup kita kalau harus bangun rumah lagi dari awal. Apalagi sekarang lagi susah keadaannya dengan adanya pandemi ini," tuturnya.

Seiring perkembangan wilayah di sekitar rumahnya, Rudi bilang masyarakat sudah melakukan adaptasi sedari awal. Dengan membangun rumah berpondasi tinggi. Atau pun membuat rumah panggung. Namun itu untuk mereka yang punya ‘modal besar’. Bagi yang ekonominya pas-pasan, hal  itu tak masuk daftar jalan keluar bagi mereka.

Di satu sisi sebenarnya, upaya meminta solusi ke pemerintah sudah sering dilakukan. Entah melalui forum RT, kelurahan hingga aspirasi masyarakat ke legislatif. Tapi hingga saat ini, aspirasi itu hanya tinggal aspirasi. Belum pernah diakomodasi sama sekali.

"Pasrah aja lagi. Nda bisa juga kita demo ke sana (pemerintah), nda ditanggapi juga. Sia-sia aja kan. Terima apa adanya aja lagi sudah," keluhnya.

Harapan Rudi dan warga sekitar sesungguhnya sederhana. Pemerintah hanya perlu merevitalisasi drainase di kawasan tersebut. Agar aliran air menjadi lancar. Dan itu diyakini mampu mengurangi potensi genangan.

Sebab yang sering menjadi penyebab banjir adalah itu. Ya drainase. Dan anak sungai yang tak mampu menampung air karena terus mengalami pendangkalan dan penyempitan akibat padatnya permukiman.

Air, katanya datang dari dataran yang lebih tinggi di seputaran kawasan. Sisi lain dari bentuk adapatasi warga setempat. Adalah empati. Swadaya masyarakat.

Tags :
Kategori :

Terkait