Menimbang Hukuman bagi Predator Seksual

Rabu 15-09-2021,07:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Ulah predator seksual kembali bikin resah. Seiring dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Bumi Etam nyaris bersamaan.

nomorsatukaltim.com - Terpantau, kasusnya berada di Balikpapan, Samarinda, dan Kutai Timur (Kutim). Hukuman apa yang cocok bagi para pelaku predator seksual tersebut? Diketahui, kasus kekerasan seksual di Samarinda melibatkan remaja berusia 17 tahun sebagai pelaku. Ia ditetapkan sebagai tersangka setelah mencabuli lima anak berusia rata-rata 9-10 tahun. Kemudian kasus kekerasan seksual di Balikpapan, dilakukan oleh seorang dosen terhadap siswi SMP asal Penajam Paser Utara (PPU). Teranyar, predator seksual terjadi di Sangatta, Kutai Timur. Pelakunya merupakan seorang dukun. Dia ditetapkan tersangka lantaran telah menyetubuhi anak tirinya berulang kali. Mirisnya, perilaku bejatnya itu dilakukan sejak korban masih berumur belasan tahun hingga kini berusia 24 tahun. Bahkan korban yang dua kali hamil telah dipaksa aborsi oleh pelaku. Fenomena yang kembali marak terjadi di Benua Etam ini mendapat kecaman dari lembaga perlindungan perempuan dan anak. Mereka dengan tegas menyerukan agar para predator anak itu dapat dijatuhi hukuman kebiri. "Kalau menurut saya sudah jelas. Dari awal saya mendukung apabila pelaku kekerasan seksual terhadap anak itu yang pantas adalah kebiri," ungkap Ketua Koordinator Wilayah (Korwil) Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRCPPA) Kaltim, Rina Zainun ketika dikonfirmasi nomorsatukaltim.com-Disway News Network (DNN), Selasa (14/9/2021). Lanjut Rina, tidak akan pernah ada efek jera bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak, apabila pelaku hanya dijerat dengan kurungan badan. Seperti kasus kekerasan anak yang terjadi di Kutim, menurutnya hal serupa pernah terjadi dan pernah ditangani pihaknya. Di mana seorang ayah tiri tega menyetubuhi sang anak hingga berulang kali hingga akhirnya hamil dan melahirkan. "Kami pernah tangani. Kasusnya terjadi di Kukar. Saat ini sedang dipersidangkan," tuturnya. "Artinya apa? Bahwa kasus serupa akan terus terulang kembali. Karena tidak adanya efek jera bagi predator anak ini. Karena dengan hanya hukuman badan. Begitu menjalani hukumannya, mereka bebas gitu aja. sedangkan korbannya mengalami (terdampak) mental psikisnya, sampai mereka dewasa pun akan terus terbawa," sambungnya. Hal itulah yang menjadi alasan bagi aktivis perempuan ini, begitu getol dan berharap agar negara dapat memfasilitasi para korban. Dengan menjatuhkan hukuman berat bagi para predator seksual. "Jadi kalau pribadi saya, kalau bisa Peraturan Presiden nomor 70 (tahun 2020) itu diubah saja. Agar tidak ada kalimat bahwasanya, pelaku (dikebiri) kecuali korban lebih dari satu dan melakukannya lebih satu kali. Itu kan bisa memberikan kesempatan untuk melakukan," tegasnya. "Selain itu juga hukumannya diberlakukan pada saat akan memasuki masa menjalani hukuman akhir, baru dikebiri kimia. Sebaiknya, saat hakim memutuskan bersalah, pelaku langsung dikebiri saja langsung," imbuhnya. Dengan adanya hukuman kebiri, menurutnya dapat mencegah para predator seksual untuk berpikir berulang kali melakukan tindak kejahatannya. "Mereka jadi bisa berpikir, kalau sampai melakukan hal jahat itu dia akan dikebiri. Jadi mereka akan merasa takut untuk melakukan tindakan itu," ucapnya. Rina Zainun menyampaikan, hukuman kebiri terhadap pelaku predator seksual sudah pernah terlaksana di Jawa. "Sehingga menurut saya sudah sebaiknya ini bisa terus dilaksanakan," ujarnya. Menanggapi seberapa efektifnya Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2020 terhadap kasus kekerasan seksual anak. Rina mengatakan belum terlalu efektif. Pasalnya, masih ada celah bagi para pelaku untuk bisa melakukan tindakan tercela itu untuk yang kedua kalinya. "Selama aturan disebutkan pelaku baru dikebiri apabila korbannya lebih dari satu, ini belum efektif. Kalau bisa ketika dinyatakan bersalah melakukan tindak kekerasan seksual, itu langsung diberlakukan hukuman kebiri," ucapnya. Sementara itu, bagi ketiga tersangka kasus kekerasan seksual yang terjadi di Balikpapan, Samarinda dan Kutim, sudah pantas untuk dijatuhi hukuman kebiri. "Karena mereka kan sudah lebih dari sekali melakukan, dan ini ada di PP nomor 70," terangnya. Menurutnya sudah tidak ada alasan lagi para pelaku tidak diberi hukuman kebiri. Tanpa ada embel-embel terbentur Hak Asasi Manusia (HAM). "Apabila merasa terbentur dengan HAM untuk pelaku. Kok enggak memikirkan nasib si korban. Karena korban juga ada HAM-nya. Malah seharusnya korban lah yang seharusnya lebih dilindungi HAM-nya. Karena masa depan mereka masih panjang, kenapa harus dirusak oleh mereka yang seharusnya melindungi," tandasnya. PILIH HUKUMAN BADAN Tanggapan sebaliknya disampaikan oleh Pengamat Hukum dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda, Roy Hendrayanto. Menurutnya hukuman kebiri tak sepatutnya dipergunakan bagi para pelaku predator seksual. "Hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual itu belum disahkan. Terkait hal itu ada di dalam RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual), tapi hal itu tidak disetujui karena terbentur dengan hak asasi manusia," ungkapnya. Menanggapi fenomena yang terjadi belakangan ini, menurutnya hukuman yang pantas bagi para pelaku adalah kurungan badan. Meski tanpa dijerat hukuman kebiri. "Lembaga pemasyarakatan itu tugasnya memberikan efek jera. Hukuman kurungan lima tahun minimal, itu sudah memberikan efek jera," ucapnya. "Terkait kekerasan seksual yang terjadi di Balikpapan, Samarinda dan Kutim. Apalagi untuk kasus di Balikpapan, terduga adalah tokoh, terjerat kasus ini sudah terpukul," imbuhnya. Dengan dijatuhi hukuman kurungan badan minimal lima tahun, kata Roy sapaan karibnya, sudah membuat para pelaku terpukul dan jera untuk mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Belum lagi dampak diskriminasi yang didapat para pelaku di kalangan masyarakat. Sehingga, hal itu menurutnya sudah cukup membuat pelaku untuk tobat. "Begitu benar terbukti (bersalah) dan dipenjara. Saat keluar dia juga sudah akan dapatkan cibiran hingga reduksi. Bahwa mereka adalah predator seksual. Kalau untuk memberikan jera, hukuman lima tahun minimalnya saja itu sudah bisa memberikan dampak jera," jelasnya. Selain itu dampak sosial bagi para pelaku kekerasan seksual juga akan didapatkan ketika berada di dalam sel tahanan. "Belum lagi ditambah dengan adanya diskriminasi ketika pelaku berada di dalam sel tahanan. Mereka itu pasti akan mendapatkan suatu tamparan ibaratnya lah. Karena faktanya, di dalam (sel tahanan) itu, ada perbedaan perlakuan sesama tahanan," jelasnya. "Itu tidak bisa ditutupi, bahwa kondisinya di dalam (sel tahanan) seperti itu. Berbeda perlakuan dengan napi pembunuhan dengan pidana lainnya. Karena ini merupakan tindakan kejahatan seksual terhadap anak. Pasti yakin dia akan mendapatkan perlakuan berbeda di dalam sana. Cukup dengan hukuman kurungan badan para pelaku itu sudah merasakan jeranya di dalam sel tahanan," pungkasnya. (aaa/zul)
Tags :
Kategori :

Terkait