Bangun Smelter Nikel PT MMP Investasi Rp 6,5 T di Kawasan Industri Kariangau

Jumat 03-09-2021,19:17 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Bijih nikel tipe saprolit ini umumnya diolah dengan teknologi pirometalurgi atau peleburan. Sebagian besar produk akhirnya berupa Ferronickel (Feni) dan Nickel Pig Iron (NPI) yang merupakan nikel kelas dua. Saat ini telah beroperasi lebih dari 21 pabrik pengolahan nikel dengan teknologi ini.

Pabrik pengolahan tersebut membutuhkan input bijih nikel saprolit 95,5 juta ton per tahun. Artinya, jika jumlah cadangan nikel saprolit tidak bertambah, maka pabrik pengolahan tersebut akan berhenti beroperasi dalam delapan tahun karena kehabisan bahan baku.

Untuk nikel tipe limonit dengan kadar rendah di bawah 1,7% Ni, potensinya belum digarap dan dimanfaatkan secara optimal. Nikel tipe ini umumnya diolah dengan teknologi hidrometalurgi, salah satunya high pressure acid leaching (HPAL). 

Hasil pengolahan nikel limonit, dapat menghasilkan produk turunan berupa nikel sulfat dan kobalt sulfat, yang merupakan nikel kelas satu. Teknologi smelter saat ini juga sudah berkembang, sehingga dapat mengolah bijih nikel dengan kadar yang lebih rendah. 

Jumlah cadangan nikel saprolit yang tersisa untuk delapan hingga sepuluh tahun ke depan seharusnya memacu pemerintah untuk menggalakkan kegiatan eksplorasi dan menambah cadangan baru. Pengolahan bijih limonit yang menghasilkan nikel kelas satu juga sangat dibutuhkan.

Terutama untuk pengembangan industri hilir berskala vital dan strategis, salah satunya industri baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Dari sisi suplai, Wakil Ketua Umum Asosisiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3EI) Jonathan Handojo mengatakan, pasokan nikel saat ini tidak mengalami peningkatan. “Bagaimana (pasokan nikel) dapat meningkat kalau penambang menjualnya penuh liku-liku,” kata Jonathan.

Padahal, pemerintah gencar menggenjot pembangunan smelter nikel. Ekspor nikel pun sudah dihentikan sejak 2020 agar pasokan ke pabrik pemurnian lancar. Masalah lainnya adalah kadar nikel yang smelter terima tidak sesuai standar, yaitu 1,8%. “Kualitas yang kami terima sering kali tidak bagus,” ucapnya.

Cita-Cita Proyek Baterai

Pembatasan smelter dan isu cadangan nikel kemudian membuka pertanyaan lainnya tentang nasib proyek baterai Tanah Air. Pemerintah sebelumnya mendorong proyek tersebut karena potensi nikel dalam negeri yang besar.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, Indonesia memiliki 25% cadangan nikel dunia. Negara ini juga memproduksi mangan dan kobalt. Peluang itu dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk mengembangkan baterai kendaraan listrik.

Pemerintah telah membentuk konsorsium perusahaan pelat merah bernama PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC). Pabrik sel baterai atau battery cell untuk kendaraan listrik tersebut disebut dimulai dibangun pada akhir Juli lalu.

Bahlil menyebut, target operasinya pada 2023.  Perusahaan asal Korea Selatan, yaitu LG, telah bergabung dalam proyek ini. “Untuk tahap pertama, produksinya 10 Gigawatt,” kata Bahlil.

Investasi untuk proyek baterai terintegrasi tersebut akan mencapai USD 9,8 miliar atau sekitar Rp 142 triliun. “Nantinya akan dibangun dari hulu ke hilir. Dari pertambangan, smelter, prekursor, katoda, sel baterai, sampai daur ulangnya,” ujarnya. 

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufiek Bawazier mengatakan, kebutuhan baterai lithium-ion akan terus meningkat seiring transisi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan.  

Di Indonesia sudah terdapat sembilan perusahaan yang mendukung industri baterai. Ada lima sebagai penyedia bahan baku, seperti nikel murni, kobalt murni, nikel ferro, dan endapan hidroksida campuran. Keempat perusahaan lainnya adalah produsen baterai.

“Dengan begitu, negara ini mampu mendukung rantai pasokan baterai mulai dari bahan baku, kilang, manufaktur sel baterai dan perakitan baterai, hingga daur ulang,” kata Taufiek pada 24 Juni lalu. 

Namun, masa depan kendaraan listrik juga bergantung pada inovasi baterai yang saat ini cenderung tidak menggunakan bahan baku nikel, kobalt, dan mangan seperti lithium sulfur dan lithium ferro phosphor. Harga baterai pun menjadi lebih murah, termasuk juga inovasi baterai solid berbasis hidrogen.

Tags :
Kategori :

Terkait