Tak peduli sepak bola kita masih begitu-begitu saja. Cabor beken yang timnasnya belum juga menelurkan prestasi emas di kancah prestisius. Juga klub-klub profesional yang hanya mentok di babak kualifikasi LCA dan babak grup Piala AFC. Klub yang berstatus profesional namun lebih mementingkan turnamen pra musim lokal ketimbang liga level Asia. Tak peduli soal itu. Sepak bola, ya, sepak bola. Cabor beken yang selalu dinantikan jutaan penggandrungnya. Viva La Liga Indonesia!
DI tundanya Liga 1 dan jenjang di bawahnya pada pekan ketiga, Maret 2020 lalu. Tidaklah menjadi soal bagi penggila bola Indonesia. Lagian semua juga paham, penanganan pandemi perlu diprioritaskan. Aktivitas olahraga dan segala hingar bingarnya bisa dipinggirkan sejenak.
Namun mangkel-mangkel minor mulai tumbuh. Tatkala negara-negara yang tingkat penularannya dari Indonesia lebih ganas. Malah bisa melanjutkan liga lebih dulu. Ya, liga-liga top Eropa mampu menuntaskan musim 2019/20 dengan mulus. Walau para pemain harus menjadi robot. Akibat jadwal yang kurang manusiawi.
Mangkelnya pecinta bola nusantara lebih menjadi ketika mayoritas negara di dunia. Dari Eropa, Amerika, bahkan sampai Asia Tenggara yang notabene adalah tetangga kita sendiri. Bisa menyelenggarakan musim baru liga sepak bola mereka. Sementara di dalam negeri, prank demi prank terus berlanjut.
Dibatalkannya kelanjutan Liga 1, tiga hari sebelum kick off pada awal Oktober tahun lalu sangat bisa dikenang sebagai prank terbesar di era sepak bola modern Indonesia. Bagaimana tidak, seluruh tim sudah mengumpulkan pemain dan menggelar latihan reguler. Sudah ratusan juta terbakar karenanya. Walau pembayaran sponsor termin kedua belum jelas adanya.
Para manajer tim sudah rapat virtual berkali-kali. Bersama operator liga untuk merumuskan formulasi liga yang aman. Tak ketinggalan, para dokter tim juga lakukan hal yang sama. Agar jalannya Liga 1 2020 aman dari paparan virus corona.
Pun para suporter bola. Siap mendukung tim dari rumah agar tak tercipta kerumunan di stadion. Mereka semua sudah siap. Namun lenyap begitu saja akibat tak didapatnya izin keramaian dari Polri.
Di waktu yang sama, liga-liga lain di belahan dunia lain berjalan lancar. Padahal, tingkat penularan pandeminya masih relatif sama dengan di dalam negeri.
Yang terjadi selanjutnya adalah para pemain profesional kita lebih sering menghabiskan waktunya di depan layar kaca. Menyaksikan pertandingan sepak bola dari tim kesukaan mereka. Untuk sekadar mengobati rindu akan olahraga bola sepak itu.
Di ambang kepusingan para klub yang kondisi finansialnya makin carut marut. Di akhir tahun 2020, wacana kelanjutan Liga 1 2020 dibuat lagi. Tim dikumpulkan lagi. Bakar duit lagi. Pemasukan? Wkwkwk, nope. Namun lagi-lagi, prank awal Oktober kembali terjadi. Kali ini, mereka harus terima dengan lapang dada. Bahwa segala upaya untuk tetap mempertahankan ‘sepak bola’ di sepanjang tahun itu berakhir sia-sia. Liga resmi dibatalkan!
Di puncak kerinduan akan segala hal tentang sepak bola Indonesia. Piala Menpora yang digelar medio Maret-April 2021 sedikit meredakannya. Antusiasme penonton tak padam. Walau hanya bisa menyaksikan lewat layar televisi ataupun telepon genggam.
Dari siaran di Vidio saja, setiap laganya, disaksikan oleh 80 hingga 90 ribuan orang. Itu belum termasuk yang menonton langsung dari televisi, ya. Bahkan walau beberapa laga besar dimasukkan dalam paket premium. Alias harus membayar untuk bisa menyaksikannya. Minat itu tak menurun juga.
Dari sisi pemain dan klub, Piala Menpora juga berarti lebih. Karena turnamen pra musim ini digadang-gadang menjadi simulasi Liga 1. Kedisiplinan mereka patut dipuji. Karena hingga sebulan berlangsungnya turnamen, tak ada pemain ataupun ofisial yang terpapar virus corona. Nyaris tak ada catatan buruk, kecuali ulah beberapa oknum fans pemenang turnamen yang norak; melakukan parade di jalan raya.