SD Inpres Riwayatmu Kini

Selasa 22-10-2019,13:34 WIB
Reporter : Devi Alamsyah
Editor : Devi Alamsyah

Bangunan SDN 07 Samarinda Ilir ini, dulunya SD Inpres 41.  ============= Esther Duflo mendapat hadiah Nobel bidang ekonomi. Bersama Abhijit Banerjee dan Michael Kremer. Memenangkan penghargaan tertinggi. Objek penelitian Duflo ternyata soal SD Inpres yang mulai ramai tahun 70-an. Bagaimana kondisinya  saat ini?

——————————

Esther Duflo, perempuan ini dianggap superstar baru dalam riset ekonomi pembangunan. Dia fokus menggunakan uji lapangan yang masif tentang SD Inpres (Instruksi Presiden). Hasilnya fenominal. Pengaruh SD tersebut terhadap pengentasan kemiskinan.

Riset disertasi Esther Duflo tentang dampak pendirian ribuan SD Inpres di Indonesia terhadap peningkatan kemakmuran, dianggap sebagai maha karya besar. Padahal, saat ini kondisi SD Inpres sendiri sudah pupus.

Di Balikpapan misalnya, SD Inpres ini sempat ada. Pernah dinikmati pula oleh masyarakatnya. Namun seiring perkembangan jaman dan aturan kementrian, SD Inpres mulai berubah menjadi SD Negeri.

"Dulu ada SD Inpres tersebut, saya salah satu lulusannya. Tapi kan sejak 90-an keatas sudah mulai berubah. Jadi Negeri semua," ujar Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Balikpapan, Muhaimin, Senin (21/10/2019).

Untuk jumlah berapa banyak SD Inpres di Balikpapan, Muhaimin tidak bisa menjelaskannya secara gamblang. Seingatnya, jumlah SD Inpres tidak lebih dari belasan sekolah di Balikpapan.

"Jumlahnya saya tidak hafal. Tapi tidak lebih dari belasan. Kan sudah lama dihapus SD Inpres ini," jelasnya.

Menurut Muhaimin, keberadaan SD Inpres tersebut agar anak-anak bisa mendapatkan pembelajaran yang layak dengan biaya yang murah.

Lulusannya Punya Empati

Alya dan Wariza, keduanya pernah mengajar di SD Inpres 41 di Samarinda. Lokasinya di Jalan Damai, Kelurahan Sidodamai, Kecamatan Samarinda Ilir. Kini bangunan itu sudah kokoh. Berlantai dua. Berganti nama menjadi SDN 007.

“Bu Alya dan bu Wariza itu guru terlama di sekolah ini. Tapi mereka sudah pensiun,” kata Basri, kepala SDN 007 kepada DiswayKaltim.com.

Keduanya kini tidak lagi mengajar. Namun tetap mencari penghidupan di sana usai pensiun. Yaitu berjualan di kantin. Aliyah pensiun 2017 lalu. Dia merupakan guru pertama di sekolah itu. Sedangkan Wariza pensiun tahun depannya.

Wariza membenarkan kalau SDN 007 saat ini dulunya merupakan SD Inpres 41. Lalu mengalami berbagai perubahan nama. Tidak hanya nama. Bangunan sekolah pun berubah. Awalnya sekolah hanya berupa bangunan panggung terbuat dari kayu.

Sempat rusak akibat banjir, kemudian direhab. Kejadian ini terus berulang sebelum berubah menjadi negeri. Bangunan kedua juga bernasib serupa. Pada 2011, saat berubah nama menjadi SD negeri, barulah dirombak total.

Bangunan ditinggikan. Dengan bahan dasar beton. Pada 2013 direnovasi ulang menjadi lebih layak seperti sekarang.

Alya lupa kapan tahun persisnya sekolah berubah menjadi sekolah negeri. Perempuan paruh baya itu juga lupa, tahun pertama mengajar. “Udah lupa saya,” tutupnya.

Beberapa hal berubah. Tak cuma nama. Kurikulum juga. Beberapa mata pelajaran SD Inpres mulai dihapus.

Khusnul Khatimah, alumnus SD inpres 14 di Loa Janan, Samarinda Seberang mengutarakan itu. Namanya kini menjadi SDN 010. Namun ia tidak tahu kapan sekolah berganti nama.

“Sekitar tahun 1998 sampai 2000-an masih ada. Pas saya tahun 2013 ke sana mau minta tanda tangan, sudah berganti nama,” tuturnya.

Kembali ke kurikulum. Khusnul yang kini menjadi dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Unmul itu, membeber beberapa diantaranya. Misalnya, mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kemudian, Pelajaran Sejarah Bangsa-Bangsa (PSBB).

Dulu, mata pelajaran bahasa Inggris dibedakan. Masuk dalam materi muatan lokal. Muatan lokal pun tidak melulu belajar Bahasa Inggris. Menggambar dan lainnya masuk di dalamnya.

Berubah menjadi sekolah negeri, mata pelajaran pun mengikuti. PMP dihapuskan. PSBB ditiadakan. Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran sendiri. Tapi perubahan mendasar bukan pada kurikulum. Melainkan empati atau sikap lulusan SD negeri dan Inpres.

“Sekarang anak-anak tidak punya empati. Jago di mata pelajaran, tapi masih ada kekurangan. Padahal kan harusnya seimbang,” jelas Khusnul.

Kurikulum Tak Jauh Beda

Kepala Dinas Pendidikan Samarinda Asli Nuryadin membenarkan terjadi perubahan-perubahan itu. Namun dia tidak mengetahui lokasi detail sekolah tersebut.

“Pembangunan SD Inpres dulu di zaman Soeharto jor-joran. Di Samarinda masih banyak. Tapi sudah pada diubah menjadi sekolah negeri. Saya sudah tidak tahu lagi yang mana sekolahnya,” cetusnya.

Keberadaan sekolah Inpres sendiri, kata dia, punya tujuan. Untuk percepatan pembangunan sekolah. Agar semua anak di pelosok negeri dapat merasakan bangku pendidikan.

Terkait kurikulum tidak jauh berbeda. Yang diajarkan di SD inpres dengan sekolah negeri sama saja.

“Semua sih sama saja. Kurikulum yang digunakan di SD Inpres dan SD yang lain saat itu. Enggak ada perbedaan sama sekali. Bahkan, kualifikasi tenaga pengajarnya pun sama,” tutupnya.

Menjaga Ciri Khas

Di Kutai Kartanegara (Kukar) nasibnya sama. SD Inpres sudah tidak ditemukan lagi. Tapi bangunannya masih utuh. Meski peruntukannya berubah menjadi sekolah negeri.

Ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kukar, Ikhsanuddin Noor.

"Keberadaan (SD Inpres,red) sudah tidak ada. Semua sudah jadi SD Negeri," terang Ikhsanuddin kepada DiswayKaltim.com.

Ia menjelaskan sekolah Inpres di Kukar memiliki ciri khas. Terbuat dari kayu, kemudian bertiang. Dan ventilasinya berupa kawat besi besar.

Di Kukar sendiri, bangunan yang dulunya sekolah inpres bisa ditemukan di daerah pedalaman. Bahkan Bupati Kukar mengeluarkan kebijakan. Untuk merenovasi bangunan tersebut menggunakan struktur kayu. Sehingga ciri khasnya terjaga.

Ikhsanuddin mengatakan, bangunan sekolah inpres kini dimanfaatkan untuk ruangan kelas belajar. Contohnya SD di Sungai Tempurung Kecamatan Anggana. Ada tiga SD di sana. SDN 002, SDN 006 dan SDN 018. Semuanya bekas sekolah Inpres.

Ikhsanuddin menyebut di Kukar terdapat 438 SD. Namun jumlah yang dulunya merupakan sekolah Inpres tidak bisa menyebutkan angka pastinya.

"Kita sekarang tidak mendata itu (sekolah inpres,red) lagi," lanjutnya.

Ia menegaskan, sekolah Inpres bukan tidak aktif. Namun berganti penyebutan saja. Dari SD Inpres menjadi SD Negeri.

"Bukannya tidak aktif, hanya berganti nomenklatur," tambah Ikhsanuddin.

Ikhsanuddin juga sedikit menceritakan. Jika lahirnya SD Inpres itu untuk meggakomodasi meledaknya jumlah penduduk. Lantaran berlebihnya siswa membuat banyak yang tidak tertampung.

"Akhirnya dibangun (sekolah) berdasarkan instruksi presiden," pungkas Ikhsanuddin. (mrf/bom/mic/boy/dah)

Tags :
Kategori :

Terkait