Soal Wawali Balikpapan, PDIP Tak Mau Kompromi

Rabu 02-06-2021,12:00 WIB
Reporter : Yoyok Setiyono
Editor : Yoyok Setiyono

Kasak-kusuk pengganti Thohari Aziz sebagai Wakil Wali Kota Balikpapan kembali santer pasca pelantikan Rahmad Mas'ud. Meski peluang kader banteng paling besar, tapi gerbang koalisi yang gemuk juga membuka celah masuknya nama lain.   

Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Demi membendung isu liar itu, sejak jauh hari, Ketua DPD PDI Perjuangan Kalimantan Timur, Safaruddin menyebut jatah kursi wakil walli kota menjadi hak partainya. Karena itu, ia menyebut segera mengajukan nama pengganti mendiang Thohari Aziz kepada Rahmad Mas'ud.   Namun sejauh ini, siapa kandidat Wawali Balikpapan, Safaruddin belum mau terbuka. "Sekarang kita konsultasikan ke DPP. Kita tunggu dari DPP. Pokoknya dari PDIP," katanya, Minggu (30/5/2021). Ia kembali mengingatkan kepada parpol koalisi, bahwa pengganti sosok Thohari Aziz berasal dari kader PDIP. Pada Pilkada tahun lalu, pasangan pemenang tak hanya diusung Golkar dan PDIP. RM-TH juga dicalponkan 6 partai politik lain. Antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Perindo, Gerindra dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta dukungan dari satu partai non parlemen yakni Partai Amanat Nasional (PAN). Merujuk pasal 176 UU No 10/2016 tentang Pilkada, parpol pengusung, dapat mengusulkan dua nama untuk diajukan ke DPRD, selanjutnya dipilih salah satu. Karena itu, meski Thohari Aziz berasal dari PDIP, bukan berarti partai pengusung lain tak bisa mengusulkan calon. "Saya mengharapkan kepada Pak Rahmad sebagai wali kota terpilih, ya milih PDIP, dong," kata Safarudin, menepis adanya calon diluar PDIP. Mantan Kapolda Kaltim itu percaya para politisi di Balikpapan mengerti fatsun politik. "Masa enggak keringat apa-apa terus mau jadi. Itu namanya menzalimi orang. Kalau zalim nantinya turun teguran Tuhan," imbuhnya. Sementara itu Sekretaris DPC PDIP Balikpapan Budiono juga menyerahkan soal pergantian sosok Thohari Aziz, sesuai aturan yang berlaku. "Kita menunggu pelantikan dengan rapat koalisi. Nantinya diusulkan dua nama dan selanjutnya diserahkan ke pansel DPRD untuk dilakukan pemilihan," katanya, dihubungi, Minggu (30/5/2021). Menurutnya keluarga besar PDIP di Balikpapan sudah berjuang selama masa Pilkada 2020 untuk memenangkan pasangan RM-TH, sehingga ia berharap siapapun yang mengisi kursi kosong wakil wali kota Balikpapan juga merupakan kader dari PDIP. "Selama ini kami solid dan satu komando tegak lurus perintah ketua umum ibu Hajah Megawati Soekarno Putri untuk memenangkan kader terbaik kami, alhamdulillah Allah meridhoi," imbuhnya. Dari Samarinda, Risti Utami Dewi, menyatakan tekadnya menuntaskan pekerjaan rumah mendiang sang suami, Thohari Aziz. “Insyaallah untuk warga Balikpapan. Yang menjadi pekerjaan rumah yang belum (selesai) akan terus dilaksanakan,” katanya. Meski tak menyebut pekerjaan rumah yang belum selesai, namun ibu dua anak itu mengatakan “janji almarhum Pak Thohari bersama Wali Kota Rahmad Mas’ud saat kampanye.” Nama Risti Utami sempat mencuat sebagai kandidat wakil wali kota, selain Budiono. Namun belakangan kans keduanya mengecil setelah DPW PDIP menunjuk Edy Tarmo menggantikan mendiang Thohari Aziz sebagai Ketua DPC PDIP Balikpapan. Selain itu, ada kabar lain yang menyebut Safaruddin juga tertarik dengan posisi Balikpapan dua.

Mau Kompromi, Pilih Risti  

Pengamat politik Universitas Mulawarman, Budiman menilai istri mendiang Thohari, Risti Utami Dewi, berpeluang menjadi alternatif pilihan untuk berkompromi. Pilihan itu demi menghindari konflik dalam koalisi besar. Maupun konflik di internal partai besar dalam koalisi itu.  "Seperti di Pilkada Berau dan Bontang dulu, karena sudah terlanjur mengusung sang suami, yang elektabilitasnya tinggi, maka berdasarkan kedekatan keluarga, secara otomatis jalan pintasnya istri," kata pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unmul itu, Selasa (1/6).  Soal peluang dari partai lain, Budiman menyebut sangat tipis. Apalagi melihat realitas bahwa pasangan RM-TA diusung partai besar: Golkar dan PDIP. "Jadi secara etika politik sebenarnya, karena yang kemarin adalah kesepakatannya PDIP, maka otomatis seharusnya yang menggantikan kursi wakil wali kota, juga kader dari PDIP," ungkapnya. Namun begitu, lanjutnya, terkadang ada pandangan lain. Bahwa lembaga, dalam hal ini kepartaian, tidak bisa diwakili oleh satu individu. Dalam artian pribadi almarhum Thohari Aziz bisa jadi berbeda dengan pribadi yang lain dari kader satu payung lembaga. Pendapat lainnya, ialah, bisa jadi, almarhum Thohari dulunya memang sosok yang dinilai bisa bekerja sama dengan Rahmad Mas'ud. Yang belum tentu begitu dengan kader PDIP lainnya. "Karena pada dasarnya begini, banyak orang salah memahami posisi wakil kepala daerah. Di mana-mana kan sebenarnya wakil itu punya kewajiban membantu wali kota. Tapi banyak kejadian yang misalnya justru wakil meminta lebih. Itu jadi persoalan. Sehingga sering kita dengar istilah, matahari kembar dalam kepemimpinan di daerah," jelasnya. Namun begitu, menurut Budiman, kepala daerah terpilih sebaiknya kembali ke koalisi besar yang telah dibangunnya itu. Duduk bersama untuk menentukan siapa yang berhak dan layak mendampinginya.  Sebab kata dia, berdasarkan aturan sebenarnya calon pengganti hanya tinggal diusulkan partai koalisi kemudian dipilih melalui voting di DPRD.  "Tapi biasanya kan di mana-mana di Indonesia, 'barangnya' sudah jadi dulu baru dipilih di dewan."  "Makanya, perkara ini, semua tergantung lagi dari koalisi besar," imbuh dia. Yang kemudian menjadi persoalan, ia meneruskan, kalau setiap partai dalam koalisi, juga ngotot mengusung calonnya masing-masing.  "Apalagi kalau di internal PDIP sendiri banyak yang mau. Kalau tidak mau cari ribut, ya istri (mendiang) bisa jadi jalur kompromi," ucap Budiman.  Namun sebelum menempuh jalur kompromi itu, ada cara, ada jalan, supaya tidak ribut. Intinya duduk bersama dulu, biar diketahui apakah nanti masing-masing koalisi ikut mengusulkan atau hanya menentukan dan sepakat dengan satu nama.  Itu supaya pemerintahan di Kota Balikpapan ke depan bisa berjalan lancar. Kemudian di sisi internal partai tidak ada konflik antar anggota. Maupun tak ada konflik antar sesama partai koalisi.  Dan menurut Budiman lagi, yang paling penting, adalah yang dipilih harus orang yang bisa membantu Rahmad Mas'ud menjalankan pemerintahan.  Di lain sisi, ia melihat komposisi kepemimpinan daerah adalah diisi pasangan politisi dengan birokrat. Atau birokrat dengan politisi. Sebab, katanya, ada beberapa persoalan ketika segala segala keputusan dan implementasi kebijakan semua dijalankan oleh orang yang berlatar belakang politisi. Karena ada beberapa hal dalam pemerintahan yang politisi tidak pahami.  "Banyak contoh di Indonesia yang pemimpinnya diisi politisi dua duanya atau dari partai. Kecenderungan ributnya tinggi," sebutnya.  Ini juga, tambah Budiman, yang harus dipertimbangkan Rahmad Mas'ud, dalam mencari figur yang bisa membantunya.  Dalam konteks ini, boleh juga diisi oleh orang yang berlatar birokrat kemudian masuk bergabung ke partai politik. Tetapi sekali lagi, birokrat tulen adalah kombinasi pasangan paling tepat.  Dan peluang itu terbuka, jika memang Rahmad Mas'ud menginginkan hal itu. Hanya dia harus meyakinkan koalisi besarnya untuk memilih di Parlemen.  "Jadi itu bisa jadi opsi jalan tengah juga. Kalau partai koalisi sama-sama ribut. Maka kemungkinan ambil orang luar.”  Menurut Budiman, Rahmad Mas'ud sudah punya pengalaman dan kemampuan menggalang koalisi besar. Karena itu, sangat dimungkinkan bila RM, mencoba menentukan sendiri wakilnya. Yang dianggap cocok membantunya menjalankan roda pemerintahan yang berorientasi untuk kepentingan masyarakat.  "Jadi tugasnya sebenarnya bagaimana membuat koalisi besar ini akur dalam menentukan nama atau menyepakati nama yang dia (RM) inginkan." Sebab jika partai-partai koalisi tak berkesempakatan, maka dapat berimplikasi pada kinerja-kinerja eksekutif terhambat oleh persetujuan legislatif.  Sementara itu, Budiman melihat, bahwa ada risiko bila mengusulkan Risti Utami tanpa kesesuaian hati para partai koalisi. Apalagi bila dia tak memiliki pengalaman birokrasi yang dapat menjadi alasan kuat. Sebab Budiman meyakini akan ada tekanan yang sangat besar.  "Beda kasus di Berau dan di Bontang. Karena istri calon kepala daerah yang meninggal itu setidaknya sudah pernah punya pengalaman mengawal suaminya masing-masing dalam roda pemerintahan. Jadi sedikit banyak tahu seluk beluknya," pungkasnya. (RYN/FEY/DAS/YOS)  
Tags :
Kategori :

Terkait