Islamofobia di Tengah Jargon Toleransi

Senin 26-04-2021,11:03 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Eropa tidak memiliki hak moral untuk ceramah soal nilai-nilai sekularisme ke seluruh dunia. Selama belum menyelesaikan masalah islamofobia yang menggerogoti dirinya sendiri.

EROPA yang mengklaim dan bertujuan menjunjung kompas moral bagi seluruh dunia tentang hak-hak minoritas, toleransi, dan inklusivitas, kembali gagal menyembunyikan kefanatikan gelapnya terhadap islamofobia. Demikian menurut opini Ashok Swain di Gulf News. Sentimen anti-muslim telah meningkat di benua itu. Setidaknya selama dua dekade terakhir. Hal itu tidak terbatas pada negara-negara bekas komunis di timur. Tidak pula hanya digemborkan oleh partai politik sayap kanan dan pemimpin populis. Islamofobia telah menjadi arus utama. Bahkan dilembagakan dalam beberapa kasus. Partai politik arus utama telah memberikan pernyataan islamofobia serta mempromosikan kebijakan dan hukum atas nama sekularisme dan kebebasan berbicara. Uni Eropa telah memperketat perbatasannya, khususnya di Balkan, dengan memberlakukan praktik perbatasan yang mengaitkan hubungan kejahatan-teror dengan populasi muslim. Prasangka terhadap Islam semakin kuat di berbagai belahan Eropa. Statistik dari seluruh Eropa menunjukkan serangan terhadap masjid dan umat muslim terjadi secara teratur. Terjadi di mana-mana. Di Inggris, muslim 12 kali lebih mungkin menjadi korban kejahatan rasial daripada Kristen. Kejahatan dan kebencian yang berkembang terhadap muslim di negara-negara seperti Belgia termasuk vandalisme masjid dan lukisan ukiran swastika di mobil. Islamofobia juga menempati sebagian besar ruang media sosial. Teori konspirasi tentang islamisasi Eropa sedang terus digodok dan disampaikan melalui internet hari demi hari. Pelecehan dan serangan online telah menjadi sangat umum. Terutama menargetkan perempuan muslim. Di Prancis, seperlima dari semua insiden islamofobia yang dilaporkan adalah ancaman online. Islamofobia siber di Eropa tidak didorong oleh troll yang tidak dikenal atau kelompok sayap kanan saja. Para anggota partai politik arus utama, yang disebut organisasi masyarakat sipil, maupun beberapa institusi media, secara langsung dan tidak langsung telah berkontribusi dalam hal ini. Apa yang disebut sebagai krisis pengungsi dari Timur Tengah dan ketakutan yang berlebihan terhadap teror Islam telah mendorong para pemimpin populis sayap kanan dari pinggiran menjadi pemain kekuatan utama di sebagian besar negara di Eropa. Partai National Rally Prancis, Partai Kemerdekaan (UKIP) Inggris, Partai Vox Spanyol, Partai Kebebasan Austria, dan Partai Demokrat Swedia adalah beberapa platform politik anti-Islam yang mulai mendapatkan dukungan lebih luas. Kelompok politik anti-muslim sayap kanan garis keras memiliki 73 anggota parlemen di Parlemen Eropa. Hampir sebanyak Partai Hijau. Mereka memegang 10 persen anggota di Parlemen Eropa setelah pemilu 2019. Dibandingkan dengan 5 persen selama 2014-2019. Maret 2021, Sekretaris PBB Antonio Guterres mengatakan, kebencian dan diskriminasi terhadap muslim telah mencapai tingkat epidemi. Singkatnya, bagaimana seseorang bisa memakai selembar kain jika sedang dikriminalisasi dan dipolitisasi. Sejak 2010, Prancis telah melarang burka. Selain Prancis, beberapa negara Eropa lainnya termasuk Austria, Belgia, Denmark, Jerman, Italia, Belanda, Norwegia, dan Spanyol juga telah memberlakukan larangan penuh atau sebagian terhadap burka. Pada 8 April 2021 Senat Prancis telah mengesahkan RUU “anti-separatisme” yang perlu diratifikasi oleh Majelis Nasional menjadi undang-undang yang melarang anak perempuan di bawah 18 tahun mengenakan jilbab di depan umum. Ada juga amandemen lain yang bertujuan melarang pakaian renang yang menutupi seluruh tubuh, yang dikenal sebagai burkini. Selain itu, pembenaran kepemimpinan politik atas provokasi berulang yang dilakukan dengan menampilkan kartun Nabi Muhammad atas nama kebebasan berbicara mengarah pada perasaan marginalisasi lebih lanjut di antara 5,7 juta muslim yang tinggal di negara itu. Di Jerman, beberapa universitas telah menutup ruang salat yang digunakan oleh mahasiswa muslim. Dengan alasan ketakutan ruang-ruang itu digunakan untuk radikalisasi. Di Spanyol, beberapa guru di sekolah dilaporkan menganggap para siswa menumbuhkan janggut sebagai tanda radikalisasi. Swiss telah melarang keberadaan menara di masjid sejak 2009. Lantas pada Maret 2021 menggelar referendum untuk melarang burka. Islamofobia yang dipromosikan oleh negara telah mempersulit integrasi ekonomi dan sosial umat muslim yang tinggal di Eropa. Seperti yang ditemukan oleh studi European Union Agency for Fundamental Rights (FRA) pada 2018, muslim di seluruh Eropa mengalami diskriminasi dalam perumahan dan pekerjaan karena agama mereka. Islamofobia telah menargetkan muslim dengan mendorong pengucilan dan diskriminasi, yang telah membahayakan kehidupan bersama yang harmonis dan menyebabkan radikalisasi sebagian pemuda. Kefanatikan anti-muslim juga telah mendelegitimasi sistem politik yang mapan dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap elite politik tradisional di Eropa. Maraknya islamofobia secara signifikan berkontribusi pada kebangkitan populisme, euroskeptisisme, dan politik anti-politik di benua Eropa. Keberhasilan elektoral partai politik sayap kanan bahkan memaksa banyak partai politik arus utama mengadopsi retorika itu. Menurut argumen Swainpolarisasi dengan demikian telah menjadi ancaman besar bagi politik arus utama di Eropa. Hal itu menimbulkan kerusakan juga terhadap konsensus yang mapan tentang demokrasi, hak asasi manusia, serta masyarakat yang terbuka dan inklusif. Kefanatikan anti-muslim yang tumbuh pesat telah membawa kembali kecenderungan etno-nasionalistik ke periode pra-Perang Dunia II di banyak negara, yang telah merusak posisi global Eropa. Umat muslim mencakup 5 persen dari populasi Eropa—minoritas yang sangat kecil. Bahkan di Prancis, di mana beberapa pemimpin politik secara terbuka mengadopsi sikap politik islamofobia, muslim hanya sebanyak 8,8 persen. Swain menyimpulkan, sebuah benua dengan sejarah kolonialnya baru-baru ini dan jumlah penduduk yang terus menurun, ketika gagal untuk menerima dan menyediakan ruang yang aman bagi minoritas kecil yang bahkan tidak menimbulkan ancaman politik dan teritorial, justru tidak memiliki hak moral untuk mengkhotbahkan nilai-nilai sekularisme dan perlindungan hak minoritas kepada seluruh dunia. (mmt/qn) Sumber: Sendirinya Tindas Islam, Eropa Jangan Sok Ceramahi Dunia Soal Toleransi
Tags :
Kategori :

Terkait