SAYA sengaja berbuka puasa sedikit saja kemarin: satu liter air-putih-hangat dan pisang kepok masak yang saya panggang di teflon.
Teman saya, pengusaha sandal, baru saja membuka Rodjo Durian di Duta Mas, Angke, Jakarta Barat. Saya diantar teman saya, Liong, yang sengaja datang dari Surabaya: keluarga pabrik sepatu yang memproduksi sepatu AZA –singkatan Azrul Ananda, anak saya.
Belum lagi durian dibuka datang pula teman saya yang asal Medan. Namanya Venus Jong. Yang usahanya impor durian. Lalu datang lagi petani durian dari Tegal: Yanto Sodri. Ia pakai kaus hitam dan sandal butut. Di kausnya tertulis: Durian vs Everybody.
Lalu datang lagi teman baru, juga Tionghoa, asal Singkawang. Ia memperkenalkan diri: Ong Aman, pengusaha onderdil mobil mewah di Pluit. Lalu memperkenalkan wanita berjilbab di sebelahnya: “ini istri saya,” katanya.
Kami menarik tiga meja untuk dijadikan satu. Meja-meja lain sudah diduduki penikmat durian lainnya.
Pemilik Rodjo Durian, Yayang (Thio Hok Liang), membacakan tata-tertib yang harus kami setujui. Pertama, protokol kesehatan. Waktu berfoto kami boleh buka masker tapi tidak boleh bicara.
Tata-tertib utama: kami harus makan durian lokal lebih dulu. Tidak boleh langsung Musangking.
Ia punya tiga jenis durian lokal: Palu, Padang, dan Bali. Kelak ia pengin jualan segala jenis durian lokal pilihan dari segala daerah.
Dengan aturan itu nafsu saya untuk segera makan Musangking saya tekan. Harus sabar. Orang puasa harus sabar –kecuali soal Vaksin Nusantara.
Peraturan lainnya: makan duriannya tidak boleh ngawur. Harus satu jenis dulu diselesaikan. Baru boleh ke jenis berikutnya.
Ada lagi peraturan khusus: setiap menyelesaikan satu jenis, harus diselingi minum. Jenis minumannya pun khusus. Yakni yang bisa menghapus ingatan akan rasa durian yang baru saja dimakan. Itu untuk menyiapkan mulut: agar siap menghadapi rasa durian berikutnya.
Minuman penyela itu adalah kopi. Tidak boleh pakai gula. Tidak boleh pakai susu. Hanya kopi hitam. Maka, kalau Anda melihat foto ada cangkir di sela-sela durian, itulah kopi yang dimaksud.
Tidak ada demokrasi di pesta ini: pemilik Rodjo Durian yang menentukan. Maka kami menerima saja ketika durian pertama yang disajikan adalah ini: durian dari Padang. Tanpa nama.
Enak sekali. Tapi tidak boleh emosi. Daftar durian yang harus dimakan masih panjang. Sambil makan durian Padang saya lihat suami-istri di meja sebelah. Kok makan duriannya kurang semangat. Saya datangi meja itu. Saya tanya kenapa. Saya sakit hati kalau melihat orang makan durian tanpa semangat yang menyala-nyala.
“Tidak enak,” kata sang suami.