Angka Perceraian di Balikpapan Meningkat selama Pandemi

Jumat 16-04-2021,13:45 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Keutuhan keluarga semakin rawan. Saat pandemi, angka perceraian di Balikpapan meningkat. Janji sehidup semati saat pernikahan terpaksa kandas. Ekonomi jadi salah satu pemicunya.

nomorsatukaltim.com - Pandemi turut berimbas kepada perekonomian warga. Namun tak berhenti di situ saja. Rupanya COVID-19 turut menggoyang bahtera pernikahan. Ditandai dengan meningkatnya angka perceraian di Kota Minyak. Dari data Pengadilan Agama (PA) Balikpapan, tahun ini hingga 15 April 2021 sudah terdapat 389 gugatan cerai. Baik talak dari pihak suami, ataupun gugat dari pihak istri. Kata Humas PA Balikpapan Abdul Manaf, angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya. Ia mengamini, angka perceraian meningkat salah satunya karena faktor ekonomi. Faktor ini memang mendominasi penyebab gugatan cerai ke pengadilan agama. “Dengan adanya pandemi COVID-19 ini semakin memperburuk dan memperbanyak angka perceraian,” ujar Abdul Manaf. Mirisnya, mereka yang mengajukan cerai rata-rata masih berada di usia produktif. Kisaran umur 20-35 tahun. Pun jumlah yang mengajukan gugatan yang terbanyak adalah gugat cerai dari pihak istri. Dibandingkan dengan talak dari pihak suami, kata Abdul Manaf rasionya berkisar tujuh banding tiga. "Terbesar saat ini masih cerai gugat," tambahnya. Selain faktor ekonomi, ada pula faktor pihak ketiga di antara pasangan suami istri. Dijelaskan Abdul Manaf, pihak ketiga ini bukan semata adanya perempuan atau laki-laki lain, melainkan juga pihak-pihak keluarga yang ikut campur dalam urusan rumah tangga. "Selain punya pasangan lain, adanya ikut campur mertua atau orang tua. Angka ini memang berada di bawah faktor ekonomi, sekitar 30-40 persen lah di bawah itu," ujarnya. Disinggung Abdul Manaf, rentan terjadinya perceraian dikarenakan usia perkawinan saat ini banyak dilakukan oleh kawula muda. Perkawinan seolah-olah menjadi tren anak muda saat ini. Padahal jika dilihat dari segi usia, kebanyakan pasangan emosinya masih labil. "Sewajarnya itu usia matang lah. Sekitar 25-30 tahun. Kan sekarang banyak (nikah) masih usia 19 tahun. Ini masih labil emosinya kan," tegasnya. Meski sudah dilakukan upaya mediasi terhadap pasangan, sesuai Peraturan Menteri Agama (Perma) nomor 1 tahun 2016, tetapi dalam proses berjalannya mediasi ini tidak begitu efektif. "Kenapa tidak efektif, karena ini sudah menyentuh ranah hati," ujar Abdul Manaf. Meski demikian, ia mengimbau kepada para calon suami istri agar dapat menyiapkan psikologis yang baik sebelum berumah tangga. Pasalnya, kehidupan berumah tangga berbeda dengan kebiasaan saat masih bujang. "Disiapkan dulu psikologisnya, mentalnya. Karena saat usai menikah, kehidupan yang baru itulah yang sebenarnya dimulai," imbaunya. (bom/zul)
Tags :
Kategori :

Terkait