Webbinar Melawan Infodemik COVID-19

Rabu 07-04-2021,00:01 WIB
Reporter : Y Samuel Laurens
Editor : Y Samuel Laurens

Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Berita perkembangan COVID-19 di Kota Minyak, rentan hoaks. Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Balikpapan menemukan 1.341 berita hoaks dengan sebaran mencapai 2.135 konten sepanjang 2020.

Kepala Diskomonfo Balikpapan Sutadi Sanyoto menyebut masa awal penyebaran COVID-19 di Kota Minyak diiringi beredarnya kabar missinformasi dan disinformasi. Sehingga membuat pihak otoritas merasa perlu menangkal hoaks yang beredar di Masyarakat. Lantaran pengaruhnya sangat terasa. Sutadi menyebut, kala itu masyarakat menjadi takut yang berlebihan dan memiliki persepsi yang berbeda-beda. Sehingga pemerintah kesulitan untuk memberikan edukasi dan pemahaman yang lebih baik. Jika dibiarkan penanganan pandemi juga menjadi terhambat. "Sudah selama setahun lebih kita alami. Di mana di awal-awal itu begitu banyak kesimpangsiuran informasi data dan lainnya. Kita kaget dengan adanya pandemi ini," ujarnya, saat menjadi pembicara dalam webbinar series, melawan infodemik COVID-19, bersama Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, berkolaborasi dengan AJI Balikpapan, Selasa (6/4/2021). Dalam upaya menangkal disinformasi dan missinformasi itu, Sutadi yang menjadi bagian dari Satgas Penanganan COVID-19 Balikpapan dalam bidang penyebaran informasi dan komunikasi, mengakui sangat terbantu atas peran media massa yang dikemudian hari menjadi sangat penting. Dalam suasana pandemi, pihaknya langsung mengakselerasi jaringan informasi dengan membuat grup Media COVID-19, berisikan awak media massa. Grup itulah yang menjadi wadah bagi Satgas Penanganan COVID-19 Balikpapan untuk menyampaikan data faktual grafis terkonfirmasi positif harian. "Sebagian masyarakat yang belum memahami itu malah memperberat upaya kita untuk melakukan penanganan," katanya. Satgas Balikpapan sendiri terdiri dari lima Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Yakni Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Satpol PP, Dinas Perhubungan (Dishub), Diskominfo dan yang paling utama adalah Dinas Kesehatan (Diskes) Balikpapan. "Jadi di tahun kemarin itu Bapak Wali Kota (Rizal Effendi) hampir setiap hari menggelar press rilis kepada teman-teman media. Jadi untuk edukasi masyarakat itu saya sangat terbantu dengan adanya teman-teman media," terangnya. Meski demikian, masih ada persepsi di masyarakat yang terbentuk dari hasil hoaks yang beredar massif di media sosial sehingga menjadi hambatan untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19. "Masalahnya sejak awal, mohon maaf, meningkatnya angka positif dari teman-teman pekerja tambang dan migas. Saat itu kita belum membuat regulasi terkait masuk dan keluar masyarakat ke Balikpapan," terangnya. Seiring dengan perkembangan, regulasi mulai dibentuk dengan mensinergikan aturan dari pemerintah pusat dan daerah. Mislanya dengan memulai upaya skrining dengan alat Polymerase Chain Reaction (PCR) yang sangat terbatas saat itu. Upaya itupun belum sepenuhnya ampuh. Masih banyak warga yang terpapar. Bahkan sampai saat ini angka penyebaran tertinggi se-Kaltim masih dipegang Balikpapan dengan jumlah 14.718 kasus dengan 532 kasus kematian, data per 23 Maret 2021. "Memang yang banyak terjadi adanya ketidakpercayaan terhadap pasien covid. Tapi peran teman-teman media inilah yang setiap hari terjun ke lapangan, tahu persis kondisinya, akhirnya kita minta mereka untuk mencounter berita-berita hoaks," urainya. Menurutnya, koordinasi yang terbentuk antara awak media dan satgas sudah terbentuk dengan baik. Karena berita yang dihasilkan bersumber pada juru bicara satgas. Sehingga egektif untum melawan infodemik yang bwrkembang dan tak sesuai dengan fakta dilapangan. Sepanjang perjalanan penanganan COVID-19 di Kota Minyak, kata dia, juga terkendala hal-hal teknis. Misalnya masalah protokol penguburan jenazah pasien terkonfirmasi positif. Namun pada akhirnya jalinan komunikasi yang baik antara media massa dan satgas berhasil menepis anggapan-anggapan yang dianggap sebagai konspirasi. "Ini tugas kita untuk meluruskan beberapa hal yang ada dalam pemikiran mereka itu tidak benar. Ya salahsatunya melalui peran media," katanya. Ika Ningtyas dari AJI Indonesia menyebut saat ini pihaknya sedang menyusun sebuah buku yang bis amenjadi panduan bagi para jurnalis untuk melawan infodemik yang kian hari terua muncul dan meresahkan masyarakat. Ika membahas hal teknis terkait kinerja jurnalis yang setiap harinya melakukan peliputan terkait COVID-19 di tiap daerah. "Sebenarnya hoaks tentang kesehatan selalu muncul ketika kita menghadapi krisis," katanya. Ia mencontohkan ketika era pandemi flu black death sekitar abad ke 15 juga terjadi banyak dissinformasi sehingga menghambat penanganannya dan berakhir dengan kehilangan jutaan nyawa. Namun di era digitalisasi, keberadaan hoaks begitu cepat beredar. Internet telah menembus batas-batas yang bisa kita bayangkan. Sehingga pelu upaya menekan laju penyebaran hoaks agar upaya penanganan COVID-19 juga bisa optimal. Dalam kesempatan itu, Ika membagikan data dan grafis penggunaan internet skala nasional dan global, serta membuat perbandingan pengaruhnya terhadap informasi terkait perkembangan COVID-19. "Media sosial di Indonesia yang paling tinggi seperti Youtube, Whatapp dan Facebook. Ini menjadi relevan karena banyak sekali hoaks yang beredar di tiga platform ini," terangnya. Sementara literasi digital masyarakat Indonesia masih berada pada tingkatan sedang. Hal ini disinyalir juga menjadi penyebab penyebaran hoaks sulit untuk ditangkal. Ia menyebut WHO sudah mengingatkan tentang tantangan infodemik di masa genting penyebaran COVID-19. Karena informasi yang melimpah membuat perkembangan hoaks menyebar dengan cepat. Sementara di sisi lain, keingintahuan masyarakat Indonesia cukup tinggi didorong rasa takut berlebihan terhadap wabah. Guyonan yang tidak relevan dengan mitigasi penanganan pandemi juga berpengaruh terhadap kepercayaan publik terkait upaya yang sudah dilakukan pemerintah. "Dulu pernah kita dengar soal masyarakat Indonesia kebal covis. Kemudian ada yang percaya dengan meminum susu kuda liar sudah kebal terhadap virus. Hal-hal ini yang membuat publik meremehkan dan tidak percaya," urainya. Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menyinggung potensi risiko hoaks vaksin COVID-19. Menurutnya Indonesia termasuk negara dengan potensi adopsi vaksin yang cepat. Namun program vaksinasi bisa terhambat jika banyak masyarakat yang terpapar hoaks dan akhirnya menolak vaksinasi. Penolakan vaksinasi berpotensi tidak tercapainya target cakupan vaksin dan held imunity. Setiaji mengutip hasil rilis survei MRSC soal berapa banyak masyarakat yang dengan sukarela mengikuti program vaksinasi. "Hasilnya ada 50 persen masyarakat yang tidak mau divaksin secara suka rela. Sementara ada sekitar 28 persen masyarakat yang terang-terangan menolak divaksin," katanya. Masalahnya penolakan sebagian masyarakat juga berisiko terhadap masyarakat lainnya yang menerima vaksin sebagai jalan keluar dari pandemi. Menurutnya masyarakat yang cenderung percaya hoaks COVID-19 sangat mungkin percaya hoaks vaksin. Setiaji menilai penggunaan media sosial oleh pihak otoritas yang tercitra baru sebatas diseminisasi saja bukan untuk berdialog. Sementara terkait dengan media, adanya ketidakpercayaan publik terhadap ekosistem media pers diakibatkan karena literasi media masyarakat yang belum merata. Ia menganalogikakan kondisi infodemik yang terjadi saat ini sudah seperti perang darat. Sehingga pihak otoritas diminta bekerja lebih ekstra dengan menyentuh masyarakat lewat sosialisasi yang masif secara langsung face to face. "Tolong informasi yang rentan terkait covid dicetak (diperbanyak) di tempel di Puskesmas, di balai desa, di kecamatan, di rumah sakit. Itu penting karena hoaks sudah menyebar ke masyarakat tetapi (upaya) klarifikasinya belum (maksimal)," imbuhnya. (ryn)
Tags :
Kategori :

Terkait