Perfilman Dalam Pandangan Sineas Lokal (2-habis)
Rabu 31-03-2021,10:10 WIB
Reporter : bayong
Editor : bayong
nomorsatukaltim.com - MENGAWINKAN kreatifitas dan industri dalam film ternyata gampang-gampang sulit. Hasil yang tidak boleh asal, tetap butuh dukungan modal. Para sineas harus memutar otak.
East Borneo Film (EBF), kelomok sineas asal Kukar ini justru mendapat orderan pembuatan film. Pandemi ternyata masih membawa berkah tersendiri. Tidak pernah berhenti belajar. Itu yang ditanamkan Ketua EBF David Richard kepada angotanya. Evaluasi dan workshop bersama tim produksi jadi agenda wajib. Terutama proses peningkatan kompetensi tim produksi.
"Ya selalu update keilmuan dan pengetahuan tentang perfilman, jadi terus berkembang," ceritanya saat diwawancarai di Tenggarong, Kukar.
EBF mungkin cukup realistis. Bicara produksi tentu butuh modal. Meski demikian itu bukanlah hambatan. Kerap kali mereka sulit mendapatkan investor. Patungan jadi pilihan. Karena prinsip yang mereka pegang saat itu, modal awal tetap perlu. Untuk bisa menyajikan hasil karya dan disuguhkan kepada penikmat.
Meskipun banyak juga calon-calon penyuplai dana yang bisa disasar. Misalnya Corporate Social Responsibility (CSR), pemerintah hingga pemodal besar lainnya. Bagi David cs, membuat film tak lagi sekedar menuangkan hobi. Tapi juga sarana mencari sesuap nasi. Menjadi sumber penghidupan. Mereka sudah mulai professional. Ingin hasil bagus, cost yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Makanya kekuatan modal juga sangat penting.
Bahkan sudah berorientasi mencari income. Tidak lagi seperti awal-awal EBF terbentuk. Yang masih mengeluarkan modal dari hasil patungan anggota. Kini perfilman sudah beralih menjadi industri.
"Sudah timbul rasa profesional, enggak sebatas sambilan saja. Memulai masuk ke ranah industri," jelas David.
EBF terbentuk 2017 lalu. Karya yang diangkat lebih banyak mengangkat tentang kearifan lokal. Apalagi kalau untuk regional Kalimantan saja. Mudah. Tempat dan ide lebih gampang didapat.
Masih banyak kisah lokal, budaya lokal, hingga cerita orang-orang zaman dulu bisa diangkat dan digali lebih dalam. Untuk dijadikan film dengan nuansa kekinian.
Sebut saja lima karya yang sudah mereka hasilkan. Seperti RANAM - Looking For Land (2018), Tai Keq Nah Amai (2020), Guru Beru (2021), Titip Doa (2021) dan Duduk Sorangan (2021). Isinya lebih banyak menyajikan cerita lokal.
Dengan semakin berkembangnya EBF, terbesit harapan David. Yakni menyulap menjadi rumah produksi yang besar. Tidak hanya sebatas menggarap film pendek. Mungkin saja menggarap film berdurasi panjang di kemudian hari.
Sekarang kita beralih 235 km dari Tenggarong ke Kutim melalui jalan darat, dengan durasi perjalanan sekita tujuh jam menemui Rakhmad Maulana Ramadhan. Salah satu sineas lokal. Panggilannya Alan.
Memang baru empat film yang ia buat. Satu masih proses pembuatan. Tapi film garapannya sudah diputar dimana-mana. Mulai dari festival film nasional hingga internasional.
Film pertama judulnya “Berlebih”. Bercerita soal kehidupan warga pedalaman Kutim yang ingin bersekolah. Sekolah di Kutim gratis. Namun yang luput adalah menyiapkan infrastruktur penunjangnya. Sehingga tetap harus ada biaya yang harus dikeluarkan.
“Bahkan biaya justru lebih besar dibanding sekolah ke Samarinda atau Bontang,” ucap Alan.
Kemudian ada “Sedeng Sang”. Kisah petani suku Dayak yang harus mempertahankan wilayah adatnya. Karena mereka terus terhimpit oleh masuknya perkebunan kelapa sawit raksasa. Ketiga hanya film pendek. Namun prosesnya tetap dilakukan dengan sepenuh hati.
“Insyaallah yang ke empat. Saat ini masih proses produksi,” bebernya.
Film Sedeng Sang ini berhasil tampil di berbagai festival. Mulai yang tingkat kampus hingga mancanegara. Mulai festival film di Australia, Iran, Kanada hingga Los Angeles, Amerika Serikat dijajal. Hal itu berkat masih aktifnya ia berkomunikasi dengan komunitas film di tempatnya kuliah dulu. Institut seni indonesia (ISI) yogyakarta, Fakultas Seni Media Rekam. Jurusan yang ia ambil pun Film dan Televisi.
Menurutnya, perkembangan perfilman di Kaltim, apalagi Kutim, masih sangat jauh. Atmosfer berbeda. Dukungan pemerintah dan perusahaan juga sama. Hingga ketersediaan peralatan. Jika melirik Yogyakarta dan Malang, perkembangan film di sana sangat maju. Pesat malah.
“Komunitas yang muncul. Saling berbagi dan banyaknya sektor yang terlibat memudahkan berkembangnya industri film,” ungkapnya.
Sementara di Kutim kebalikannya. Akhirnya dirinya hanya bisa melakukan sharing secara internal di komunitas film Kutim. Orang yang mengisi juga dari siswa ekstrakulikuler yang ia bentuk di SMA 1 dan 2 Sangatta Utara.
“Lingkupnya masih sedikit. Paling teman komunitas lain Bang ikut membantu. Seperti teater dan lainnya,” sebutnya.
Padahal Kutim memiliki banyak potensi sineas berbakat. Meski peralatan, visual make up dan akses promosi yang kurang. Ia melihat kemampuan anak muda Kutim tak kalah dari Pulau Jawa. Belum lagi untuk view gambar yang sangat beragam dan masih bisa dieksplorasi lebih jauh lagi.
“Saya selalu ajarkan bisa memanfaatkan keterbatasan alat. Saya ingin tumbuhkan upaya maksimal adalah kunci,” tuturnya. (mrf/bct/boy)
Tags :
Kategori :