Banyak Bertentangan, Sanksi Hukum Kasus Korupsi Lebih Rendah
Samarinda, DiswayKaltim.com – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) harus diubah. Produk hukum peninggalan Belanda ini memiliki banyak kekurangan. Begitu kata pengamat hukum pidana dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda, Syamsudin.
KUHP itu tidak pernah direvisi. Sejak Indonesia merdeka dari kolonialisme. Hukum pidana tersebut diadopsi dari Italia, Prancis, dan Yunani. Kemudian diberlakukan di Indonesia. Negara yang dijajah Belanda.
“Mulai tahun 1963 sudah mau direvisi. Tiap presiden pernah melakukan perubahan-perubahan terhadap KUHP. Tapi ya begitu. Jangkauan undang-undang itu tidak hanya berlaku sekarang. Sekian ratus tahun masih berlaku,” jelasnya.
Ada beberapa poin yang dicatat Syamsudin. Salah satunya, pengaturan terhadap tindak pidana korupsi (tipikor) di RUU KUHP. Di UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Tipikor. Pelakunya dihukum mininum lima tahun dan denda minimum Rp 1 miliar.
Sementara di Pasal 164 RUU KUHP, koruptor dihukum minimum dua tahun dan denda Rp 10 juta. Perubahannya terlampau jauh. Aturan ini dinilai melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
“Ini kan mau mengebiri undang-undang yang sudah ada. Tipikor itu lex specialis derogat generali. Kalau ada undang-undang yang khusus, yang umum itu enggak perlu. Yang khusus yang diberlakukan,” tegasnya.
Baca Juga:
RKUHP Menurut Pakar dan Akademisi Hukum; Abdul Haris Semendawai (1)
Catatan lainnya. Pasal 414 sampai 416 RUU KUHP yang mengatur tentang alat kontrasepsi. Disebutkan orang yang mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan atau menunjukkan cara untuk mendapatkan alat pencegah kehamilan, hanya didenda maksimal Rp 1 juta.
Padahal, kata Syamsudin, pencegahan penyakit menular HIV/AIDS harus terus ditingkatkan. Keberadaan aturan tersebut justru bertentangan dengan upaya banyak pihak memerangi penyakit menular itu.
Belum lagi persoalan perzinahan. Diaturan dipasal 418 dan 419. Laki-laki bersetubuh dengan perempuan yang dijanjikan akan dikawini dapat dihukum empat tahun atau kategori III. Jika perzinahan mengakibatkan kehamilan, maka dipenjara maksimal lima tahun.
“Padahal hukumannya sekarang lebih lama. Di RUU KUHP malah lebih rendah. Enggak heran banyak ditentang publik,” ucapnya.
Kemudian, pasal tentang penyerangan kehormatan presiden juga dianggap tidak tepat. Aturan ini dinilai dapat disalahgunakan. Istilahnya, pasal karet.
Bisa saja pemerintah mengelak bahwa aturan ini hanya untuk pelaku yang menyerang presiden secara personal.
Namun pasal ini dinilainya membatasi budaya kritis warga negara. Media massa yang mengkritik presiden bisa dijerat melalui pasal tersebut. Padahal aturan serupa telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Undang-undang bisa digunakan untuk menyerang siapa saja. Kata ‘dianggap’ menyiarkan, mempertunjukkan, atau mempertontonkan tulisan di depan publik. Dianggap saja. Harusnya terbukti melakukan. Bukan hanya dianggap. Kalau dianggap saja terlalu mudah digunakan untuk menyerang siapa saja,” jelasnya. (qn/boy/dah)