Geregetan Nelayan Perda Pesisir Disahkan

Selasa 15-12-2020,13:38 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Pesisir dan Pulau Kecil mengkhawatirkan nasib para nelayan dan ekosistem pesisir pasca disahkannya Peraturan Daerah Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Perda RZWP3K). Beleid baru yang diketuk kemarin, dianggap hanya memberi karpet merah pada bohir.

nomorsatukaltim.com – Koalisi yang terdiri dari 16 organisasi nonpemerintah merilis sejumlah poin yang dianggap mengancam kelestarian pesisir dan masyarakat nelayan. “Di tengah situasi pandemi yang memprihatinkan ini. Pemerintah Daerah dan DPRD Kaltim justru bersikeras melahirkan Perda yang akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir dan merusak bentang pesisir dan laut,” bunyi pernyataan koalisi yang dikirimkan ke Disway-Nomor Satu Kaltim. Ketua Pokja Pesisir, Mappaselle, yang tergabung dalam koalisi mengaku sudah memberikan masukan kepada Pansus RZWP3K, sejak terbentuk. Tapi sampai disahkan menjadi perda, "Saya tidak melihat tanda-tanda (usulannya diakomodir)," ujar Mappasalle, saat dihubungi, Senin (15/12/2020) kemarin. Beberapa hal yang dinilainya perlu diperhatikan. Misalnya rekomendasi Pokja Pesisir terkait alokasi ruang buat nelayan. Selama ini baru di Bontang yang sudah mengakomodir kepentingan pemukiman bagi nelayannya. Sementara di daerah lain seperti Balikpapan, belum ada kepastian. Besar harapannya agar nelayan di Balikpapan juga diberikan haknya untuk memiliki pemukiman. Perkampungan nelayan di Balikpapan berada di kawasan Kampung Baru, Kariangau, Klandasan, Markoni, Damai dan Manggar. "Saya tidak sampai ke sana (menghitung) berapa besar (luas pemukiman) pemetaan pemukiman," katanya. Rekomendasi lainnya yakni membentuk kawasan perikanan tangkap di Teluk Balikpapan, pada jarak 0 sampai 12 mil. “Itu belum ada aturannya,” kata dia. Pengaturan itu penting untuk memberi kesempatan nelayan mencari penghidupan. Sebab selama ini para nelayan bersinggungan dengan zona kawasan industri. “Dalam Peta Alokasi Ruang Perda RZWP3K, tidak ada kawasan perikanan tangkap (0-2 mil). Wilayah itu justru dijadikan sebagai bagian dari zona yang mendukung kawasan industri.” Hal tersebut, kata Mapaselle  bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir. Pasal 60 menyakan masyarakat memiliki hak mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K. Perda itu, lanjutnya, tidak mengatur perlindungan ekosistem mangrove ke dalam proses analisis kebijakan. Luas ekosistem mangrove 244.437,32 ha, tersebar hampir di semua kabupaten dan kota. Berlawanan dengan arahan kebijakan Perpres 73 tahun 2012 untuk meningkatkan status fungsi perlindungan ekosistem mangrove yang wajib dijalankan oleh pemerintah daerah. Ia juga menegaskan agar pembahasan Raperda RZWP3K dapat mengakomodir kelangsungan ekosistem di pesisir. "Di Teluk Balikpapan itu sangat beragam. Masih ada pesut, bekantan, teripang, udang, kepiting, dan sebagainya," katanya. Ia khawatir jika dalam waktu dekat kawasan industri semakin meluas. Ia mengaku sudah mendengar rencana pembangunan coastal di sepanjang bibir Pantai Melawai sampai pesisir timur Balikpapan. "Artinya kan akan ada reklamasi. Ini (dikhawatirkan) akan merusak ekosistem yang ada di Teluk," imbuhnya. Sementara akademisi Universitas Mulawarman, Muhammad Taufik sebelumnya meminta DPRD Kaltim memperhatikan Undang-Undang 27/2007. Ia menilai hingga saat ini belum ada perencanaan yang taktis bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjangkau perencanaan, pengawasan, pengendalian, dan pemanfaatan. “Masih membutuhkan proses yang panjang untuk rencana pengolahan, zonasi, dan rencana aksi. Karena ada tahapan-tahapan perencanaan taktis dalam bentuk raperda,” tuturnya. Berdasarkan regulasi, Taufik mengungkapkan, masih berbenturan dengan pemerintah pusat dalam rangka kajian strategis nasional. Salah satunya seperti di Bontang dan Kabupaten Paser. Sementara akdemisi lainnya, Cathas Teguh Prakoso menilai kepentingan publik harus diakomodasi dalam pengelolaan potensi pesisir. “Perlu ditelaah lebih lanjut dan menyinkronkan dengan aturan baru, khususnya Omnibus Law,” kata dosen program studi Administrasi Negara Unmul itu. Dengan begitu, perlu dikaji lagi mengenai keberlangsungan dari pemanfaatan di raperda tersebut. Oleh sebab itu, adanya gagasan-gagasan dapat menjadikan raperda yang baik. Serta adanya perencanaan yang matang, dengan nilai-nilai kemasyarakatan. Baik secara sosial dan ekonomi juga perlu dimasukkan. “Contohnya, belum banyak diulas tentang peran pihak ketiga, mengenai potensi wisata di pesisir. Karena tidak hanya sebatas rekreasi, tetapi sifatnya harus jangka panjang. Nanti akan melibatkan berbagai pihak, serta peran masyarakat yang akan mengelola atau memanfaatkan wilayah tersebut,” pungkasnya.

DISAHKAN

Pada Rapat Paripurna ke - 37 yang berlangsung kemarin, Ketua DPRD Kaltim, Makmur HAPK mengetuk palu Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) menjadi Perda. Dari tiga Raperda yang dibawa ke paripurna, dua raperda disahkan, satu ditolak. Yang pertama disahkan Raperda RZWP3K. Kedua, Raperda Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP). “Bagaimana, apakah saudara setuju?” tanya Makmur sebelum mengetuk palu. “Setuju….!” jawab para wakil rakyat di Karang Paci saat ditanya soal pengesahan Raperda RZWP3K menjadi Perda. Sedangkan Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Kawasan Industri Oleochemical (KIO) Maloy, tidak dilanjutkan. Tak hanya itu, dewan juga membahas raperda tentang pajak retribusi umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Ketua Pansus Raperda RZWP3K, Sarkowi V Zahry mengaku telah berupaya mengakomodir semua pemangku kepentingan. Pansus juga telah melakukan uji publik, sampai konsultasi publik dengan para ahli dan akademisi. “Masukan yang belum diakomodasi, akan menjadi catatan saat menyampaikan draf raperda ke pemerintah pusat,” kata Sarkowi.  Kerja pansus sempat mengalami perpanjangan akibat wabah. Sementara itu berkaitan dengan penolakan Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Kawasan Industri Oleochemical (KIO) Maloy, Asisten III Administrasi Umum, Fathul Halim akan berkonsultasi dengan pemerintah pusat. “Karena berbenturan dengan UU Ciptaker, nanti akan dikaji kembali,” ujarnya. Ketua Komisi I DPRD Kaltim, yang juga Ketua Pansus KIO, Jahidin menerangkan sudah berkonsultasi dengan Direktorat Agraria dan Tata Ruang Badan Pertahanan Nasional. “Alasannya, KIO Maloy itu masuk dalam teknis, sehingga digabungkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kabupaten Kota yang akan nantinya direvisi,” terangnya. Selanjutnya, Jahidin menuturkan, pekerjaan pansus sekarang menjadi masukan ke dalam RTRW itu. Dengan ditolaknya Raperda KIO Maloy ini, Pansus KIO Maloy akan mengembalikan kepada pihak pemerintah yaitu Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim. Dan pansus juga akan merevisi RTRW sesuai dengan rekomendasi dari Pemprov. “Rekomendasinya pansus segera merevisi RTRW, karena napas KIO Maloy ini masuk ke dalam RTRW. Sehingga ia lebih efektif jika digabungkan,” bebernya. “Jadi permasalahannya RTRW sangat mendesak. Kaitannya dengan KIO Maloy ini tidak bisa beroperasi, jika tidak ada perda. Dan RTRW ini harus terbit dulu,” ungkapnya. Jahidin pun merasa perjuangannya tidak sia-sia, ketika mengetahui Raperda KIO Maloy ditolak. Pasalnya jika raperda tersbeut disahkan, maka akan mubazir akibat terbenturnya dengan UU Ciptaker. “Ada benang merah yang kita petik hikmahnya. seandainya 2019 kemarin, perda ini disahkan yang kemudian disahkan pada tahun 2020. Seandainya lebih cepat, tentu akan dibatalkan karena kehadiran UU Ciptaker. Justru menghabiskan anggaran yang lebih banyak,” pungkasnya. (ryn/tor/yos)
Tags :
Kategori :

Terkait