Respons yang diterima tidak sesuai harapan. Keempat rekannya sudah menilai negatif sedari awal. Bisa terlihat dari raut wajah mereka. Kecut.. mungkin lebih kecut dari Asam Jawa. Ini pasti ada yang ngompori—pikir H Tiwo. Namun, ia tetap berusaha tenang.
“Tidak usah. Kita ngobrol di sini saja. Di luar,” ujar Sentot dengan nada suara keras. Ia tampak tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
H Tiwo pun mengangguk. Kemudian keluar menuju teras. Ia pun beridiri sambil bersandar di tiang kanopi. Sementara Nadirin, Ali dan Syamsuddin duduk di kursi teras rumah H Tiwo. Hanya Sentot yang tampak enggan untuk duduk. Padahal masih ada satu kursi kosong.
“Kata Bu Anita, infonya sudah terbayar. Kok, kami tidak diberi tahu?,” tanya Sentot. Langsung menyerang tanpa basa-basi.
Oh, ternyata ini pangkalnya. Yang membuat rekan-rekannya murka. Yang membuat wajah mereka sekecut Asam Jawa.
H Tiwo pun menjelaskan persoalan yang dihadapinya. Termasuk uang yang tiba-tiba raib itu. Padahal sebelumnya jelas ia menandatangani pencairan dan ditunjukan pihak bank bahwa uangnya telah masuk. Namun, keesokan harinya, uang itu sudah tidak ada lagi di rekening miliknya. Ketika H Tiwo hendak mengecek ulang dan membagikan dana hasil penjualan itu kepada koleganya.
H Tiwo pun mengaku sudah meminta klarifikasi pihak bank. Namun jawabannya mencengangkan. Sama sekali tak terduga. Bahwa uang itu sudah dialihkan ke rekening lain dan sudah ditandatangani H Tiwo. Artinya pihak bank berkilah bahwa uang tersebut dialihkan atas persetujuan dirinya. Ke nomor rekening yang ia sendiri tidak mengetahuinya.
“Kok bisa?!!!” Sentot semakin berang dan panik.
“Bohong kamu!!!”.. suaranya nyaring. Bukan setengah teriak lagi. Ini teriak beneran. Para tetangga H Tiwo pun kaget. Mereka keluar rumah untuk melihat ada keributan apa. Akhirnya ramai berkerumun meski agak jauh dari teras rumah H Tiwo.
Sentot pun kalap. Ia menarik kursi kosong itu. Lalu diangkat dan hampir mau dihempaskan ke arah H Tiwo, jika saja Nadirin tidak menghalaunya. Kemudian kursi itu ia hempaskan ke teras rumah. Brrakkkk..brrakkk.. berkali-kali.
“Sabar Tot, ini orang tua,” kata Nadirin.
“Orang tua apa. Ini maling…”. “Maling-maling saja kamu. Ngaku..!!! Mata Sentot mendelik dan menunjuk-nunjuk ke arah H Tiwo. Peci putih yang dikenakan H Tiwo, seolah tidak ada harganya lagi di mata Sentot.
Teriakan Sentot tak berhenti. Terus ngoceh. Sambil siap-siap menerjang H Tiwo. Nadirin dan Ali sibuk menjagai Sentot. Sementara Syamsuddin menahan H Tiwo agar jangan terbawa emosi juga.
Tak lama, Kepala Desa Titik Jauh, Pariaman datang. Ia ikut mencoba meredakan emosi Sentot dan teman-temannya itu. Hanya Nadirin memang yang sedari awal agak tenang. Pariaman juga terkena amarah Sentot. Karena dianggap menjembatani proses jual beli tanah itu.
Namun, Pariaman terlihat tenang. Ia pandai berbicara dan meyakinkan Sentot serta teman-temannya itu. “Begini. Ini memang bisa saja terjadi. Nanti bisa ditanyakan lagi ke pemangku kota dan pihak bank. Ini kan jelas wujudnya. Bukan begitu?,” jelas Pariaman.
Tiba-tiba Ali, menimpali. “Bagaimana kalau kita tanya Ibu Anita. Dia kan yang ke bank bersama pak haji,” kata Ali.