Berjalan Bersama Para Pemuda

Jumat 30-10-2020,06:12 WIB
Oleh: Disway Kaltim Group

Pada gilirannya, perlawanan terhadap kolonialisme semakin terkonsolidasi dengan baik. Hasilnya, 17 tahun kemudian, Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Kemarin, setelah 92 tahun sumpah dinyatakan dan setelah 75 tahun Proklamasi dikumandangkan, merupakan momen yang baik untuk kembali memahami spirit yang melatari perjuangan para pendiri bangsa. Juga cita-cita mulia yang kemudian mereka rumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Mengingat, hari-hari ini terdapat begitu banyak tantangan. Dalam kehidupan berbangsa kita. Datangnya bukan dari luar, meski pun faktor itu ada. Tetapi lebih dominan diproduksi dari “dalam”: dari kita sendiri.

Soal ini menjadi kian penting. Apabila kita menengok “enam periode kebangkitan” sebagaimana disebut di atas. Di mana rata-rata jarak interval antar periode adalah 24 tahun. Itu artinya, pada saat ini kita sudah berjarak 22 tahun dengan fajar Orde Reformasi. 

Pada titik ini, saya berpendapat, diperlukan dialog antar-generasi yang sungguh-sungguh: dialog dengan spirit Sumpah Pemuda dan nafas Proklamasi Kemerdekaan. Dengan cara ini, diharapkan lahir kesamaan pandangan. Untuk menyongsong masa depan dan kemajuan negeri.

Arnold Toynbee, sejarawan besar itu, secara pasti memperlihatkan suatu kontradiksi menarik antara generasi muda dan generasi tua. Ketika berdialog dengan sahabatnya, Daisaku Ikeda, tentang reaksi dunia dalam menentang kekuasaan (dalam Ikeda & Toynbee, 1987).

Toynbee mengatakan, “Ciri-ciri khusus reaksi seluruh dunia menentang kekuasaan ini adalah, bahwa revolusi ini mengambil suatu bentuk perang antara generasi muda dengan generasi setengah umur di dalam kekuasaan itu sendiri.”

Kendati demikian, Maha Guru Universitas London itu tidak menampik tesis bahwa revolusi menentang kekuasaan terdahulu banyak dipimpin anggota muda dari kekuasaan itu sendiri. Juga bahwa masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, baik di negara kaya maupun miskin, merupakan mayoritas dari penentang.

“Tetapi secara keseluruhan, revolusi generasi muda dari dalam golongan establismen, adalah ciri-ciri khusus kekacauan umum sekarang ini,”lanjut Toynbee.

Atas pernyataan itu, Daisaku Ikeda, pimpinan Soka Gakkai, organisasi kaum Buddhis awam, menyatakan, “Dengan lewatnya sang waktu, generasi tua sekarang terpaksa harus menyingkir. Hanya soal waktu saja. Sebelum generasi muda hari ini menjadi pemegang tampuk kekuasaan.”

Namun, demi menghindari terjadinya perang antar generasi, lebih lanjut Ikeda menawarkan agar, “Kita harus berusaha menemukan suatu jalan di mana generasi-generasi sekarang yang terpisah dapat berjalan bersama.”

Gagasan “berjalan bersama”, sebagaimana ditawarkan Daisaku Ikeda, boleh jadi merupakan cita-cita ideal yang diharapkan oleh masyarakat di banyak negara di dunia. Dengan “berjalan bersama”, dilema dan bahkan konflik antar generasi dapat diantisipasi sejak awal.

PASCA REFORMASI

Pada tahun 1998, bangsa Indonesia seakan berada di persimpangan sejarah. Desakan perubahan yang cukup kuat dari berbagai komponen bangsa terjadi di hampir seantero negeri. Energi gerakan pro reformasi yang dimotori Amien Rais akhirnya berhasil mengonsolidasikan berbagai kekuatan elemen bangsa.

Energi tersebut kemudian mencapai klimaksnya saat Presiden Soeharto menyatakan berhenti menjadi presiden pada 21 Mei 1998 dan mengakhiri kekuasaan Orde Baru setelah hampir 32 tahun. Sehari setelah itu, fajar Reformasi pun menyinsing menghangatkan Ibu Pertiwi.

Indonesia memasuki babak sejarah baru, yang diharapkan menghadirkan kesejahteraan, persamaan, dan keadilan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara. Era baru yang kemudian disebut Orde Reformasi ini kembali mencatat besarnya peran pemuda. Tentu saja dengan sokongan elemen bangsa yang lain.

Tags :
Kategori :

Terkait