Jakarta, nomorsatukaltim.com - Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai, PT PLN (Persero) memiliki posisi keuangan yang rapuh. Setidaknya hingga 2022.
Peneliti IEEFA Melissa Brown menyebut, keuangan perusahaan setrum pelat merah itu rapuh karena membutuhkan subsidi dan kompensasi hingga Rp 170,2 triliun. Untuk menyehatkan kondisi keuangan. Tanpa harus menaikkan tarif listrik masyarakat.
Menurut Brown, PLN perlu melakukan restrukturisasi bisnis. Untuk menghadapi transisi energi dan meninggalkan teknologi berbasis energi fosil. Yang semakin hari semakin menggerus keuangan PLN.
Brown menilai, hal tersebut tak terelakkan jika PLN ingin berhenti mengandalkan dukungan pemerintah. Demi keberlangsungan hidup perusahaan.
Kendati Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020 belum terbit. Namun perencanaan yang dikeluarkan PLN hingga September 2020 dinilai Brown memberi gambaran jelas. Mengenai lemahnya posisi keuangan PLN hingga beberapa tahun ke depan.
“Akibat krisis COVID-19 dan pelemahan ekonomi dunia, kemungkinan besar PLN tidak dapat menaikkan tarif dasar listrik (TDL) sampai 18-36 bulan ke depan. Dengan demikian, kemungkinan untuk mencapai arus kas yang kuat juga masih sulit selama periode tersebut,” kata Brown seperti dikutip dari rilis baru-baru ini.
Dia juga menyoroti ketergantungan PLN terhadap akses pasar obligasi internasional. Meski para investor dunia cenderung menjauhi perusahaan yang tidak memiliki strategi kredibel. Dalam hadapi gelombang transisi energi yang sedang melanda dunia.
Dibanding mengandalkan pasar internasional, Brown menyebut, perseroan akan lebih diuntungkan jika mampu membenahi proses perencanaan dan memprioritaskan investasi pada jaringan dengan teknologi. Juga melakukan restrukturisasi demi efisiensi.
Lebih lanjut, dalam risetnya, dia menemukan enam faktor yang menjadi penentu nasib PLN ke depan. Pertama, asumsi pertumbuhan rata-rata tahunan di level 5,2 persen. Yang dibuat sebelum pandemi. Brown bilang, PLN tidak bisa lagi mempertahankan asumsi pertumbuhan yang sama. Harus ada revisi.
“Hal ini patut dipertanyakan. Mengingat kini terdapat banyak risiko terhadap pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural di sektor ketenagalistrikan,” ujarnya.
Kedua, proyeksi keuangan yang dilakukan IEEFA menemukan bahwa tarif listrik harus naik sebanyak lebih dari 30 persen. Untuk mendukung neraca PLN yang sehat. Sebuah angka yang sulit dicapai tanpa persetujuan politik dan publik.
Ketiga, tanpa ada kenaikan tarif listrik, maka subsidi dan kompensasi yang dibutuhkan dari pemerintah dalam dua tahun ke depan terpaksa naik dua kali lipat. Yakni Rp 170,2 triliun. Untuk membayar produsen listrik swasta. Yang akan masuk ke dalam sistem.
Keempat, rencana pemangkasan capex dapat mencederai wacana untuk melakukan perbaikan dalam kinerja sistem. “Ini termasuk pembaharuan jaringan PLN yang membutuhkan investasi besar. Pembaharuan jaringan dibutuhkan. Karena telah terjadi ekspansi kapasitas pembangkit besar-besaran dan pengendalian sistem (system control). Yang saat ini jauh dari optimal,” jelas dia.
Kelima, meski telah menetapkan target 23 persen energi terbarukan pada 2025, PLN masih saja mengikatkan diri pada pembangkit baru berbasis energi fosil. Dalam bauran energinya. Untuk satu dekade mendatang.
Sementara itu, menurut dia, teknologi energi terbarukan yang seharusnya bisa bersaing harganya seperti tenaga surya dan angin hanya mendapat jatah sebesar 3,7 persen.
Terakhir, ketidaksinambungan antara sovereign rating pemerintah Indonesia yang digunakan. Untuk menjamin akses PLN pada pasar obligasi dan kondisi keuangan perusahaan yang memburuk. Ini berpotensi menimbulkan risiko untuk para investor dan Kementerian Keuangan RI.
“Selama krisis COVID-19 masih berlangsung menghantui pasar negara berkembang serta harga energi global masih terus terkoreksi, maka kami melihat para investor akan lebih tajam dalam pendekatan mereka menghadapi risiko sektoral yang muncul,” tutup Brown.