Pengibaran Bendera Bintang Kejora dan Situasi Bumi Cenderawasih

Jumat 30-08-2019,16:13 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Warga Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara. (28/8/2019). (Ist)

Jakarta, DiswayKaltim.com - Meski terkesan ada pembiaran, akhirnya pemerintah merasa gerah dengan aksi pengibaran bendera Bintang Kejora, termasuk atribut-atribut perjuangan Papua Merdeka di depan Istana Merdeka, Jakarta belum lama ini.

Pemerintah akan menindak tegas aksi yang dilakukan ratusan massa dari mahasiswa dan pemuda asal Papua-Papua Barat itu. Ini mengingat Istana Merdeka merupakan simbol Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI) yang masuk kawasan Ring-Satu dengan pengamanan super ketat.

Dua kali aksi massa digelar di depan Istana Kepresidenan yang merupakan tempat resmi kediaman dan kantor Presiden Indonesia. Aksi pertama pada Kamis (22/8/2019) lalu.

Para mahasiswa menggelar unjuk rasa terkait tindak kekerasan fisik dan verbal atas mahasiswa Papua di Jawa Timur beberapa waktu lalu. Mereka menuntut pengungkapan kekerasan pengepungan asrama mahasiswa di Surabaya dan perlakuan rasisme, kapitalisme, kolonialisme serta militerisme yang menimpa warga Papua.

Namun dalam aksi tersebut massa juga mengibarkan bendera Bintang Kejora dan mengenakan atribut serta simbol Papua Merdeka dalam bentuk kaos dan cat atau ‘body painting’ di beberapa tubuh peserta aksi. Massa juga meminta referendum.

Selanjutnya, aksi kedua pada Rabu (28/8/2019) lalu. Massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua kembali melakukan unjuk rasa di depan Istana Merdeka.

Aksi tersebut menolak perjanjian New York Agreement di beberapa kota di Indonesia, sekaligus mengecam aksi kekerasan dan rasisme yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu.

Pada aksi ini, massa tampak terang-terangan mengibarkan sejumlah bendera Bintang Kejora, berikut atribut kaos dan ‘body painting’. Ironisnya, dari aksi pada 22 dan 28 Agustus lalu tidak tampak adanya bendera Merah Putih atau Indonesia yang dibawa atau dikibarkan peserta aksi.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto akhirnya angkat bicara perihal berkibarnya bendera Bintang Kejora saat mahasiswa Papua-Papua Barat berunjuk rasa menuntut referendum di depan Istana Merdeka.

Ini harus diproses hukum mengingat bendera Merah Putih menjadi simbol yang menunjukkan kedaulatan Indonesia.  “Negara ini kan punya simbol. Yang salah satu simbol adalah bendera Kesatuan Republik Indonesia. Bendera kebangsaan hanya satu!” ujarnya di Jakarta, Kamis (29/8/2019).

Untuk itu, jika ada yang mengibarkan bendera lain, apalagi di depan Istana Kepresidenan maupun di tempat lain, tentu ada hukum yang mengaturnya.

“Ya tidak boleh ini (bendera Bintang Kejora berkibar, Red). Ada undang-undangnya (UU), kita ikut UU saja lah,” tandas Wiranto.

Mantan Panglima ABRI itu menjamin pemerintah selalu bertindak sesuai dengan UU dan hukum yang berlaku. Seluruh elemen masyarakat diminta untuk tidak melanggar aturan hukum tersebut.

“Masyarakat juga harus ikut UU. Jangan sampai kita bertabrakan karena melanggar UU. Nanti kalau ditindak dibilang pemerintah sewenang-wenang, kan tidak,” kata Wiranto.

Mengenai tuntutan referendum dari massa Papua-Papua Barat? “Tuntutan referendum, saya kira sudah tidak pada tempatnya. Tuntutan referendum itu saya kira tidak lagi harus disampaikan, karena apa? NKRI ini sudah final,” tegasnya.

”Terlebih ‘New York Agreement’ yang pernah dilaksanakan pada 1962 itu sudah mengisyaratkan bahwa Irian Barat atau sekarang Papua dan Papua Barat sah menjadi wilayah NKRI. Jadi NKRI harga mati, termasuk Papua dan Papua Barat,” tambahnya.

Wiranto meminta kesadaran masyarakat terutama masyarakat Papua dan Papua barat sangan sampai mau diadu domba. Ini termasuk jangan sampai mau diprovokasi oleh pihak lain, serta tak terhasut oleh informasi yang belum benar kepastiannya.

“Memang banyak yang tidak senang negeri ini aman dan damai. Ada yang tidak senang negeri ini dapat membangun dan memakmurkan rakyatnya. Itu mereka gunakan momen ini untuk nimbrung dan ngacau!” ucapnya.

“Saya mengharapkan masyarakat tidak hanya di Papua dan Papua Barat, tapi juga masyarakat Indonesia ya jangan sampai termakan hoaks, termakan isu tidak benar,” tandasnya.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menginstrusikan Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono untuk menindak demonstran yang melakukan aksi pengibaran bendera Bintang Kejora di depan Istana Merdeka. Ini karena aksi demonstrasi warga Papua-Papua Barat dalam beberapa hari terakhir ini kerap membawa dan mengibarkan bendera Bintang Kejora.

“Di Jakarta ada juga pengibaran bendera Bintang Kejora. Saya perintahkan Kapolda Metro Jaya untuk tangani! Tegakkan hukum sesuai apa adanya. Kita harus menghormati hukum,” tegasnya.

Sebaliknya, Ketua Dewan Adat Wilayah III Doberay Papua Barat Mananwir Paul Finsen Mayor menilai pengibaran bendera Bintang Kejora oleh pengunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan merupakan hal wajar. Ini bentuk pengungkapan kekecewaan para pengunjuk rasa, karena tuntutan mereka agar kasus rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Jatim tak kunjung dituntaskan.

“Kami kira pengibaran bendera itu tidak perlu dibesar-besarkan. Itu wajar dan hanya ungkapan kekecewaan saja dari masyarakat. Pemerintah harus menyikapi dengan bijak. Salah satu tuntutan yang diminta, yaitu penegakan hukum atas kasus rasisme di Jatim harus segera dituntaskan,” ujarnya, Kamis (29/8/2019).

Mananwir mengatakan, masalah yang belakangan ini terjadi sebenarnya mudah diselesaikan. Pertama, proses kasus hukum rasisme di Jatim secara cepat dan transparan. “Pemerintah harus mengumumkan kepada publik secara luas proses dan hasil dari pengusutan kasus rasisme di Jatim,” kata dia.

Kemudian, lanjut Mananwir, pemerintah juga harus segera menarik pasukan gabungan polisi dan TNI dari Papua. Ini karena bukan solusi untuk meredakan gelombang protes massa. Ia justru meminta agar diselesaikan sesuai dengan budaya lokal.

“Kami sudah sering memberikan masukan, bahwa persoalan ini dikembalikan saja, istilah di Papua itu ‘satu tungku tiga batu’, artinya adat, pemerintah dan tokoh agama. Di luar militer,” tandasnya.

Di lain pihak, Polda Jatim sudah menetapkan Tri Susanti sebagai tersangka. Dia berperan sebagai koordinator lapangan (korlap) saat insiden Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jatim beberapa waktu lalu.

Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan mengatakan, Tri Susanti ditetapkan sebagai tersangka karena kasus penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian serta melakukan provokasi. Polda Jatim juga mengirim tujuh nama ke pihak Imigrasi agar dicegah ke luar negeri. ”Pencekalan ini bertujuan untuk kepentingan penyidikan kasus rasialisme tersebut,” ujarnya, Kamis (29/8/2019).

Terjunkan Koopssus TNI

Sementara itu, kalangan legislatif menyarankan agar Presiden Jokowi menerjunkan pasukan elite TNI yang baru dibentuk, yaitu Komando Operasi Khusus (Koopssus) untuk meredam kondisi Papua-Papua Barat. Koopssus ini terdiri dari Satuan (Sat) 81 Kopassus TNI AD, Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) TNI AL, dan Sat Bravo 90 TNI AU.

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, pasukan Koopssus bisa dikerahkan untuk menghadapi situasi yang terjadi di Bumi Cenderawasih.

Menurutnya, pengoperasian Koopssus TNI bisa dilakukan bila gerakan yang terjadi di Papua dalam beberapa waktu terakhir telah menjurus pada separatisme. “Kita punya Koopssus, yang baru saja diresmikan kemarin dan bisa kita segera operasikan,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (29/8).

Namun, politikus Partai Golkar itu meminta jajarannya yang duduk di Komisi I DPR RI untuk lebih dahulu melakukan kajian dan meminta penjelasan kepada pemangku kepentingan terkait rangkaian peristiwa yang telah terjadi di Papua-Papua Barat.

Setelah melakukan langkah itu, lanjut dua, Komisi I DPR dapat merumuskan langkah yang dapat menjadi usulan DPR untuk dilakukan oleh pemerintah. “Pimpinan mendorong Komisi I untuk melakukan kajian dari berbagai peristiwa itu dan gerakan yang ada bisa dikategorikan menjadi gerakan separatis atau gerakan orang bersenjata,” ucap Bamsoet.

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah juga mendesak Presiden Jokowi untuk berbicara dan menyampaikan sebuah rencana untuk menghentikan rusuh akibat kasus rasisme itu. “Presiden perlu segera bertindak. Lakukan sesuatu yang menenangkan jiwa Papua yang tengah bergolak,” katanya kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (29/8/2019).

Karenanya, Fahri mengaku sangat mengkhawatirkan kemampuan pemerintah memahami kompleksitas masalah dan mencemaskan kemampuan mereka menggunakan mandat lama serta mandat baru dalam mengelola dinamika yang ada. “Saya khawatir mereka anggap remeh masalah sampai kita menyesal dan tak bisa lagi menyesal. Media tidak memberitakan bukan berarti tidak ada peristiwa, dan media memberitakan bukan berarti peristiwa ada. Hari ini kita melihat apa yang sebenarnya ada dan apa yang sebenarnya fiksi belaka. Papua bergolak Pak (presiden, Red)!” tandasnya.

Pimpinan DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) itu mengingatkan, bahwa Papua adalah anak kandung Republik Indonesia, bukan anak angkat, apalagi anak tiri. Maka, terimalah sepenuhnya. “Yang melukai Papua adalah yang melukai kita. Nyatakan sakit penyesalan dan maaf, kalau ingin tetap dianggap orang tua dan saudara,” kata Fahri.

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menilai persoalan di Papua sudah masuk pada tingkatan serius. Pasalnya, hingga kini masih terjadi kerusuhan di sejumlah daerah di Papua, khususnya di Jayapura tadi malam. Belum lagi sejumlah pejabat mendapat penolakan oleh mahasiswa Papua saat berupaya menjalin komunikasi di Surabaya. “Berbagai aksi mahasiswa Papua di beberapa kota besar, penolakan rombongan Gubernur Papua dan Jatim oleh mahasiswa di Asrama Papua pada Rabu (28/8/2019) serta masih dimatikannya jaringan internet di Papua hingga saat ini,” ucapnya.

Hingga saat ini, ia menilai pemerintahan dan aparat masih belum bisa mengungkap akar permasalahan di Papua secara komprehensif. Karenanya, ia meminta pemerintah transparan dalam menanggulangi masalah di Papua. Pemerintah juga diharapkan mengubah cara pendekatan dalam selesaikan masalah Papua.

“Karena setelah berjalan dua pekan belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Apalagi sudah jatuh korban dari anggota TNI dan Polri. Saya kira pemerintah perlu mengubah pendekatan yang terlalu lunak menjadi lebih tegas, khususnya terhadap perilaku terorisme bersenjata. Sementara untuk demonstrasi-demonstrasi tetap harus diberi ruang, ” tuturnya.

Sekretaris Fraksi PKS itu meminta pemerintah untuk menghentikan sejenak isu pemindahan ibu kota dan fokus menyelesaikan terlebih dahulu persoalan Papua-Papua Barat. Persoalan ini lebih penting untuk segera diselesaikan ketimbang rencana memindahkan ibu kota.

Terpisah, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, Presiden Jokowi harus segera menyelesaikan masalah di Papua. Sebab, jika tidak dilakukan bisa-bisa akan mempengaruhi masalah yang lebih besar. “Di tangan Presiden Jokowi ada potensi Papua lepas dari NKRI. Sudah ada lampu kuning dan sinyal awal untuk Jokowi,” ujarnya, Kamis (29/8/2019).

“Itu lah artinya pencitraan diri tidak berguna,” tandasnya. Pangi pun meminta Jokowi untuk segera datang ke Papua dan berdialog dengan masyarakat lokal agar segera diterbitkan dan diterbitkan kembali. “Ayo ke Papua, temui rakyatmu, pikirkanlah, dulu sering ke Papua, sekarang beda,” tegas Pangi.

Di lain pihak, Presiden Jokowi berencana bertemu kepala suku dan sejumlah pihak di Papua-Papua Barat, namun tinggal waktunya saja. “Sebetulnya minggu ini kami rencanakan, tapi belum memungkinkan dan akan kami lakukan dalam waktu yang secepatnya, baik tokoh muda, tokoh adat, dan tokoh agama,” katanya sebelum menyaksikan pagelaran wayang kulit di Alun alun Purworejo, Jawa Tengah, Kamis (29/8/2019) malam.

Dalam kesempatan itu, Jokowi juga sudah memerintahkan Menko Polhukam. Kapolri, Kepala BIN, dan Panglima TNI mengambil tindakan tegas kepada siapapun yang melanggar hukum dan pelaku tindakan anarkis serta rasialis di Papua. “Saya terus mengikuti dan juga sudah mendapatkan laporan situasi terkini di Papua pada khususnya di Jayapura,” katanya.

Jokowi meminta masyarakat juga tenang dan tidak melakukan tindakan tindakan yang anarkis. “Karena kita semuanya akan rugi apabila ada fasilitas-fasilitas umum, fasilitas-fasiltas publik, masyarakat yang kita bangun bersama jadi rusak atau dirusak,” katanya.

Presiden menegaskan, pemerintah akan terus berkomitmen untuk memajukan Papua baik di bidang fisik maupun SDM agar semuanya, utamanya khususnya mama-mama, pace, mace, anak anak Papua bisa lebih maju dan lebih sejahtera.

“Mari kita semuanya menjaga agar Tanah Papua tetap menjadi sebuah wilayah yang damai, tanah yang damai. Dan saya mengajak kepada semua ketua dan tokoh adat, ketua, tokoh agama, kaum muda Papua untuk mewujudkan Papua yang maju dan tetap damai. Sekali lagi mari kita jaga Tanah Papua sebagai tanah yang damai,” kata Jokowi.

Apakah pendekatan keamanan akan dievaluasi? ”Semuanya akan dievaluasi,” tandas Jokowi. (dan/wok/aen/ant/indopos)

Tags :
Kategori :

Terkait