Washington, nomorsatukaltim.com – Pada 2 September 1987, warga Amerika Serikat (AS) pembaca surat kabar New York Times, Washington Post dan Boston Globe. Mereka dikejutkan oleh sebuah surat yang dimuat 1 halaman penuh. Surat terbuka itu ditulis oleh seorang muda bernama Donald Trump, yang kini menjadi Presiden AS ke-45.
“Kepada Rakyat Amerika,” Trump memulai surat terbuka itu. “Selama beberapa dekade, Jepang dan negara-negara lain telah mengambil keuntungan dari Amerika Serikat. Dunia menertawakan para politisi AS. Karena kita melindungi kapal-kapal yang tidak kita miliki, membawa minyak yang tidak kita butuhkan dan diperuntukkan bagi sekutu yang tidak membantu,” tulis Trump, dilansir The Politico.
Paragraf selanjutnya, pena berujung tebal Trump bertutur, “Akhiri defisit besar kita, kurangi pajak kita, dan biarkan ekonomi Amerika tumbuh tidak terbebani oleh biaya untuk membela negara lain yang dengan mudah mampu membayar kita. Jangan biarkan negara besar AS ditertawakan lagi,” imbuh Trump yang menandatangani surat terbuka itu dengan tegas.
PERANG DAGANG
Surat terbuka itu menjadi legitimasi Trump memasuki ranah politik di usianya yang ke-41 tahun. Pebisnis sukses ini terdaftar sebagai anggota Partai Republik di Manhattan, yang kemudian mengubah afiliasi partainya sebanyak 5 kali. Sebelum akhirnya menjadi kandidat Presiden AS dari Partai Republik pada Pemilu 2016.
Sebagai pebisnis, pandangan yang diutarakan Trump tidak pernah jauh dari seputar ekonomi dan bisnis. Termasuk defisit perdagangan. Sudah sejak lama Trump menyalahkan negara adidaya ekonomi di Asia Timur atas masalah yang membelit AS. Salah satunya Jepang. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Jepang pada periode 1980-an merupakan ancaman bagi hegemoni AS.
Pada periode tersebut, pertumbuhan ekonomi Jepang memang sedang melambung ke peringkat ekonomi terbesar kedua dunia. Sebagian besar dilatarbelakangi oleh strategi pengembangan orientasi ekspor yang agresif.
“Mereka datang ke sini. Mereka menjual mobil mereka. Mereka membuat bangkrut perusahaan-perusahaan AS. Kamu bisa menghormati seseorang yang mengalahkan mu. Tapi mereka mengalahkan negara ini,” ungkap Trump dalam salah satu episode talkshow Oprah Winfrey tahun 1988.
AS menganggap strategi proteksionis impor Jepang yang dilakukan sejak 1970-an mengganggu hubungan dagang kedua negara. Pada periode itu, pemerintahan AS yang dinahkodai Jimmy Carter mencari cara. Untuk membuka pasar Jepang. Upaya itu terus berlangsung hingga kepemimpinan Ronald Reagan.
Taktik perdagangan Reaganomics kemudian diusung AS. Yang tengah terperosok resesi ekonomi. Caranya dengan membatasi impor mobil dari Jepang. Kala itu, AS memang menjadi pasar tujuan ekspor empuk barang produksi Jepang. Seperti mobil, onderdil mobil, mesin kantor, dan barang elektronik lainnya.
Ekspor mobil Jepang ke AS pada saat itu mencapai 1,8 juta unit. Di saat yang sama, hanya 4.201 mobil pabrikan AS yang laku terjual di Jepang. Demikian menurut laporan Washington Post tahun 1982. Sebagaimana dilansir South China Morning Post (SCMP).
Tapi pembatasan impor mobil Jepang belum membuahkan hasil maksimal. Defisit perdagangan AS dengan Jepang pada 1983 mencapai USD36,8 miliar atau naik sekitar USD 15 miliar dibanding defisit pada 1982.
Meski tidak pernah terlibat langsung dalam perang dagang dengan Jepang, tapi Trump menyuarakan pandangan tentang pajak bea masuk impor sebesar 20 persen. Untuk semua barang impor asal Negeri Sakura. Harapannya, bisa menghasilkan pendapatan miliaran dolar untuk AS.
Pemerintah AS kemudian mengenakan tarif impor sebesar 45 persen. Terhadap motor pabrikan Jepang. Dalam upaya menyelamatkan perusahaan perakitan sepeda motor AS Harley Davidson (HOG). Yang penjualannya terjun payung akibat persaingan dengan Kawasaki dan Yamaha.
Sanksi lebih keras terjadi pada 1987. Di mana AS mengenakan 100 persen pajak bea masuk impor. Untuk produk komputer, televisi, dan peralatan listrik asal Jepang.