GeNose juga mampu bekerja secara paralel melalui proses diagnosis yang tersentral di dalam sistem, sehingga validitas data dapat terjaga untuk semua alat yang terkoneksi. Data yang terkumpul dalam sistem selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan pemetaan, pelacakan, dan pemantauan penyebaran pandemi secara aktual.
Bagaimana dengan akurasinya? GeNose disebutnya telah melalui uji profiling dengan menggunakan 615 sampel data valid di Rumah Sakit Bhayangkara Polda DIY dan Rumah Sakit Lapangan Khusus COVID Bambanglipuro di Yogyakarta. Hasil tesnya menunjukkan, tingkat akurasi alat ini mencapai 97 persen. Selanjutnya, GeNose akan memasuki tahap uji klinis kedua yang akan dilakukan secara bertahap dan tersebar di sejumlah rumah sakit di Indonesia.
Soal harga, Wakil Rektor UGM, Paripurna Poerwoko Sugarda, menyebut bahwa alat ini lebih murah ketimbang tes swab PCR. Untuk satu 1 unit GeNose diperkirakan membutuhkan biaya sebesar Rp 40 juta, dengan kapasitas 100 ribu tes. Kendati begitu, Paripurna mengaku untuk alat penampung napas pihaknya masih beli. Alat itu sebenarnya terjangkau karena terbuat dari plastik yaitu Rp 500 satuannya.
Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) menarget, pada Desember 2020 GeNose dapat digunakan secara masif oleh masyarakat. Untuk penanganan COVID-19.
Sejak Maret 2020, Kemenristek/BRIN memang telah membentuk Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19. Yang mewadahi 150 peneliti dari perguruan tinggi se-Indonesia. Dalam membantu penanganan penyebaran virus Corona yang cepat dan luas. Melalui riset dan inovasi di bidang pencegahan, skrining dan diagnosis, alat kesehatan dan pendukung, serta obat dan terapi. (yos)