Sidang Lanjutan Dugaan Suap Ismunandar, Duit Suap untuk Modal Pilkada

Selasa 06-10-2020,10:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Persidangan kasus dugaan suap pekerjaan infrastruktur di lingkungan Pemkab Kutim tahun anggaran 2019-2020, kembali bergulir di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Samarinda, Senin Sore (5/10/2020).

Dua terdakwa pemberi suap mantan Bupati Kutim Ismunandar kembali dihadirkan. Yakni Aditya Maharani dan Deki Aryanto. Kedua kontraktor sekaligus rekanan swasta Pemkab Kutim ini, kembali didudukkan di kursi pesakitan terkait perkara yang menjeratnya. Di mana keduanya telah melakukan tindak pidana gratifikasi ke sejumlah pejabat tinggi di Kutim, agar mendapatkan sejumlah paket pekerjaan proyek infrastruktur. Kini terdakwa masih ditahan di Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Sehingga persidangan kembali berlangsung via daring. Masih dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi, kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK, menghadirkan tiga saksi yang juga berstatus sebagai tersangka penerima suap dari kedua terdakwa. Mereka ialah Bupati Kutim nonaktif Ismunandar, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Musyafa, dan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Suriansyah alias Anto. Sejak dibukanya persidangan yang dipimpin oleh Agung Sulistiyono, didampingi hakim anggota Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo, Majelis Hakim langsung melemparkan sejumlah pertanyaan kepada Musyafa. Ia kala itu berperan sangat penting dalam praktik kasus suap tersebut. Musyafa mengawali keterangannya terkait asal muasal suap itu bisa terjadi. Berawal ketika sang Bupati meminta kepada dirinya untuk mencarikan uang dengan jumlah besar pada medio Mei lalu.  Uang itu nantinya akan digunakan sebagai modal Ismunandar yang berencana akan kembali berkontestasi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. "Iya yang mulia, jadi benar saat itu saya diminta mencarikan uang untuk beliau (Ismunandar). Beliau bilang ke saya ada memiliki tanggungan, jadi saya diminta untuk mencari (uang) biar bisa membayar tanggungan itu," ucap Musyafa. Berangkat dari perintah sang atasan, Musyafa segera mencarikan sumber uang yang dapat memenuhi permintaan Ismunandar.  Sumber uang yang dimaksud, rupanya berasal dari para rekanan swasta. Mereka yang akan dimintai uang, nantinya mendapatkan imbalan sejumlah pekerjaan proyek pembangunan infrastruktur. Rekanan swasta yang dihubungi Musyafa kala itu ialah Aditya Maharani Yuono, Direktur PT Turangga Triditya Perkasa. "Kebetulan saya kenal dengan ibu Aditya, jadi saya minta bantuannya. Saya minta ibu Aditya supaya bisa bantu pak Ismu (Ismunandar) menyelesaikan tanggungannya. Dan ibu Aditya bersedia, yang mulia," terangnya. Usai percakapan tersebut, Musyafa lantas memerintahkan Aditya Maharani untuk bertatap muka secara langsung kepada Ismunandar. Dari pertemuan itu lah, Aditya Maharani nantinya akan mendapatkan enam paket pengerjaan proyek di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Pemkab Kutim, yang totalnya senilai Rp 15 miliar. Enam paket proyek itu terbagi dari pengerjaan pembangunan Embung di Desa Maloy senilai Rp 8,3 miliar, pembangunan rumah tahanan Polres Kutim Rp 1,7 miliar dan pembangunan Jalan Poros di Kecamatan Rantau Rp 9,6 miliar. Kemudian pembangunan Kantor Polsek Kecamatan Teluk Pandan senilai Rp 1,8 miliar, Optimalisasi pipa air bersih senilai Rp 5,1 miliar, serta pengadaan dan pemasangan lampu penerangan jalan umum (LPJU) di Jalan APT Pranoto Sangata senilai Rp 1,9  miliar. "Jadi setelah ibu Aditya mengirimkan uang Rp 5 miliar, dia selalu hubungi saya. Untuk uang yang dikirimkan sebanyak dua atau tiga kali seingat saya," ungkap Musyafa. "Jadi kata pak bupati terkait paket pengerjaan, itu tergantung dari kebijakan di dinas terkait. Paket itu senilai Rp 15 miliar. Kemudian saya yang beritahu ibu Aditya kalau dia dapat proyek pengerjaan itu," sambungnya. Pada 7 Juni 2020, Aditya yang menggarap enam proyek akhirnya mendapatkan termin pencairan. Kala itu Ismunandar kembali menghubungi Musyafa untuk meminta sejumlah uang, yang disebutnya sebagai biaya operasional. Uang yang dipungut itu berasal dari rekanan swasta yang sudah mendapatkan proyek pekerjaan. "Pak Ismu memerintahkan saya, untuk menyediakan uang Rp 650 juta. Kemudian saya kembali hubungi ibu Aditya untuk memenuhi permintaan pak Ismu," ucapnya. Permintaan Ismunandar baru bisa dipenuhi Aditya Maharani pada 12 Juni 2020. Dengan baru bisa menyanggupi memberikan uang sebesar Rp 550 juta. Uang tersebut ditransfer ke Suriansyah, Kepala BPKAD melalui stafnya. Uang yang telah diterima, selanjutnya diserahkan Suriansyah kepada Bupati. "Sisa uang RP 100 juta, kemudian ditransfer ke ajudan pak Ismu," imbuhnya. Selanjutnya, Musyafa dimintai keterangannya terkait kesaksian penyuapan yang dilakukan terdakwa Deki Aryanto, Direktur CV Nulaza Karya. Pada 11 Juni 2020, Musyafa menghubungi Deki untuk dapat memberikan sejumlah uang kepada Ismunandar yang akan kembali mencalonkan diri sebagai Bupati. "Saya bilang, Dinda tolong bantu-bantu bapak (Ismunandar) mau maju di Pilkada, ya semampu saja lah," ucap Musyafa. Deki yang menyanggupi permintaan Musyafa, kemudian memberikan uang sebesar Rp 2 milar. Uang itu diambil melalui staf rumah jabatan Bupati. "Setelah mengambil uang, saya kemudian ke Samarinda untuk menyetorkan uang tunai ke tiga rekening milik saya," sebutnya. Lanjut Musyafa menyebutkan, Deki kala itu telah mendapatkan proyek penunjukan langsung (PL) di Dinas Pendidikan Pemkab Kutim dengan total senilai Rp 45 miliar. Dalam rentang waktu November 2019 hingga Mei 2020, sedikitnya Musyafa telah menerima uang sebesar Rp 3,1 miliar dari Deki. Uang yang diberikan itu sesuai permintaan dari Ismunandar. "Uangnya semua diberikan melalui staf pak Ismu di Rumah Jabatan dan sopirnya. Baru diberikan ke saya," katanya. Musyafa kembali dimintai keterangannya terkait pembelian mobil mewah untuk istri Bupati Encek UR Firgasih sekaligus Ketua DPRD Kutim. Tepatnya pada 19 Juni 2020, Musyafa menerima panggilan telepon dari istri atasannya tersebut. Encek meminta Musyafa untuk membayarkan mobil yang baru saja dipesannya seharga Rp 500 juta. "Saya diminta hubungi pihak dealer. Saya bilang 'siap bu'. Kemudian saya janjikan mobil langsung dilunasi sebanyak tiga kali pembayaran," ucapnya. Oleh Majelis Hakim, Musyafa selanjutnya dimintai keterangan terkait pelaksanaan pekerjaan di setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Pemkab Kutim memiliki anggaran sebesar Rp 2 triliun yang ditransfer langsung oleh pemerintah pusat.  Disebutkan, dari dana sebesar itu, Pemkab Kutim bebas untuk merancang anggaran. Penggunaan dan pembagian anggaran ke masing-masing SKPD, itu melalui proses yang diatur oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dengan diketahui Sekretaris Kabupaten (Sekkab). Yang tak lain adalah Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Saat pembagian anggaran tersebut, Musyafa mengaku bisa menitipkan sejumlah proyek pengerjaan di setiap dinas-dinas tertentu. Seperti di Dinas pendidikan misalnya, yang memiliki anggaran sebesar Rp 45 milliar.  Dengan leluasanya, Musyafa mengaku dapat meminta kepada Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) untuk menitipkan pengerjaan proyek yang nantinya akan dikerjakan oleh orang pilihannya. "Saya minta sama ibu Roma (Kadisdik), kalau ada orang yang akan saya kerjakan, yaitu terdakwa Deki," katanya. Ia menjelaskan, semua SKPD tidak akan berkutik apabila dia meminta sejumlah proyek ke setiap SKPD yang bersangkutan. Lantaran setiap SKPD telah mengetahui, bahwa Musyafa adalah orang dekat sekaligus kepercayaan Bupati. Yang artinya setiap permintaannya tidak boleh ada yang ditolak. Selain Disdik, anggaran yang turut diatur penganggarannya oleh Musyafa adalah di Bagian Perlengkapan Setkab Kutim. Dengan anggaran sebesar Rp 6 milliar, proyek tersebut dikerjakan oleh kontraktor bernama Serinta. "Dia rekan saya, teman lama di bagian perlengkapan Setkab," ucapnya. Kemudian ada juga anggaran di Dinas Sosial sebesar Rp 2 milliar. Di sana dia turut mengelola anggaran, namun tak mengetahui pihak mana pekerja proyeknya. "Di BPKAD itu ada sebesar Rp 4 milliar saya juga bisa mengelola, tapi tak tahu siapa yang akan mengerjakan," ucapnya. Sementara itu, untuk anggaran di Dinas PUPR Kutim terdapat aspirasi bupati sebesar Rp 15 milliar sampai Rp 20 milliar. Di mana proyek aspirasi itu dikerjakan oleh terdakwa Aditya Maharani. "Semua titipan ini saya sampaikan kepada Edward Azran selaku kepala Bappeda Kutim. Dia sudah mengetahui kalau saya akan meminta anggaran. Karena dia tahu, kalau saya dekat dengan Bupati," "Sejumlah titipan proyek selanjutnya saya laporkan ke Pak Ismu. Bilangnya 'atur saja'. Menurut saya itu adalah izin dari bupati," sambungnya. Dari setiap proyek titipan tersebut, Musyafa akan menerima uang dengan jumlah besar. Hasil dari pungutan para rekanan swasta. Aliran uang tersebut nantinya akan mengalir ke rekening miliknya apabila sudah pencarian termin. "Saya tidak pernah mematok berapa besarannya. Tapi biasanya dikisaran 10 persen dari perproyek. Uang itu sebagai bentuk terima kasih karena telah mendapat pekerjaan. Nah hasil uang itu saya kumpulkan sendiri dan saya simpan di rekening pribadi saya," tutup Musyafa. Sementara itu, sidang yang berlangsung hingga lima jam lamanya terpaksa ditunda oleh Majelis Hakim karena keterbatasan waktu pemeriksaan keterangan saksi. Sidang akan kembali dilanjutkan pada Selasa (6/10/2020) hari ini. Dengan meminta keterangan dari Ismunandar dan Suriansyah. Seperti diketahui, Aditya Maharani dan Deki Aryanto didakwa telah memberikan suap demi memuluskan pengerjaan sejumlah proyek bernilai puluhan miliar. Uang sogokan belasan miliar yang diberikan oleh kedua terdakwa itu, mengalir ke sejumlah pejabat tinggi di Pemkab Kutim. Aditya Maharani, Direktur PT Turangga Triditya Perkasa serta Deki Aryanto, Direktur CV Nulaza Karya‎, didakwa JPU KPK lantaran terbukti melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor jo Pasal 65 KUHP. Dengan dakwaan kedua, Deki maupun Maharani didakwa melanggar pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor jo Pasal 65 KUHP. Deki didakwa menyogok Ismunandar dan Encek, melalui Musyafa serta Anto dengan total uang Rp 8 miliar. (aaa/zul)  
Tags :
Kategori :

Terkait