Jokowi: Perekonomian RI Tak Seburuk Negara Lain

Senin 05-10-2020,10:52 WIB
Reporter : bayong
Editor : bayong

Serapan anggaran tertinggi tercatat pada program perlindungan sosial yang sudah terealisasi 57,49 persen atau mencapai Rp 134,4 triliun dari pagu Rp 203,91 triliun, dan program sektoral Pemda sebesar 49,26 persen atau Rp 20,53 triliun.

Realisasi anggaran kesehatan sejauh ini baru mencapai Rp 18,45 triliun dari pagu Rp 87,5 triliun atau hanya terserap kurang lebih 21 persen.

Sementara untuk insentif usaha telah terealisasi sebesar 18,43 persen atau Rp 22,23 triliun dan dukungan ke usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar 41,34 persen atau Rp 58,74 triliun.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai program dan serapan anggaran PEN sejauh ini belum terlihat efektivitasnya.

Menurut Bhima, program PEN sejak awal juga dirancang terlalu fokus pada sektor keuangan perbankan. Padahal sektor riil penting untuk diselamatkan.

“Misalnya penempatan dana di bank. Kemudian relaksasi kredit. Bahkan penyaluran bantuan produktif mikro dan ultra mikro juga lewat bank. Bukan koperasi,” katanya, baru-baru ini.

Di samping itu, Bhima mengatakan, insentif fiskal yang digelontorkan pemerintah juga tidak semuanya terserap dengan baik. Misalnya, hingga 14 September alokasi anggaran untuk PPh 21 DTP yang sebesar Rp 40 triliun baru terserap 4 persen.

Sementara itu, pemicu kontraksi ekonomi di Indonesia salah satunya berasal dari sisi konsumsi. Sektor konsumsi memegang peranan yang besar dalam perekonomian Indonesia.

Pemerintah memproyeksikan permintaan di kuartal III-2020, konsumsi rumah tangga masih akan berada pada zona kontraksi: minus 3 persen hingga minus 1,5 persen.

Pada kesempatan berbeda, peneliti senior Indef Enny Sri Hartati mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang dihadapkan pada situasi kontraksi adalah hal yang normal. Karena terjadi di semua negara.

Dia bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kuartal IV-2020 masih berpotensi minus. Menurutnya, permasalahan masih terhambatnya penanganan pandemi COVID-19 adalah dari sisi efektivitas fiskal.

Misalnya, program perlindungan sosial masih belum efektif dijalankan hingga saat ini. Masih terdapat masalah tumpang tindih data. Termasuk data berapa masyarakat yang sudah mendapat bantuan sosial tidak terekam. Sehingga efektivitas program ini pun tidak bisa diukur.

Menurutnya, jika program perlindungan sosial optimal sekalipun, Indonesia tetap tidak bisa mengerem terjadinya kontraksi ekonomi.

“Kontraksi ekonomi adalah hal yang normal. Di semua negara terjadi. Yang berbeda adalah respons kebijakan. Persoalan kita bukan di moneter. Persoalan menghadapi pandemi ini yang masih terhambat adalah efektivitas fiskal,” katanya.

Selama adanya perbaikan di sisi fiskal, kata Enny, baik efektivitas melalui stimulus, intervensi, dan insentif, maka akan sangat memungkinkan ada perbaikan ekonomi di kuartal IV-2020.

Sepanjang kontraksi pada kuartal III-2020 tidak sedalam kuartal II-2020 yang tercatat minus 5,32 persen, maka artinya terjadi perbaikan ekonomi selama periode tersebut.

Tags :
Kategori :

Terkait