Selandia Baru Alami Resesi Pertama dalam Satu Dekade

Jumat 18-09-2020,15:39 WIB
Reporter : Y Samuel Laurens
Editor : Y Samuel Laurens

Dalam waktu dekat, perekonomian Selandia Baru mungkin bisa disebut jauh dari cerah. Walau tingkat pengangguran mencapai sekitar 4 persen, jumlah orang yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan meningkat drastis. Sejumlah pakar ekonomi memprediksi tingkat pengangguran hingga akhir tahun akan berada di angka 9 persen.

Saat ini hanya sedikit data yang mengungkap apakah orang-orang yang kembali ke Selandia Baru telah bekerja kembali. Setidaknya, banyak di antara mereka kembali ke pekerjaan lama atau memanfaatkan pengalaman di luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan baru. Pada saat yang sama, fleksibilitas pekerjaan yang tak berbasis di kantor memungkinkan warga Selandia Baru membawa pulang pekerjaan mereka.

Reid berkata, kenalanannya memulai pekerjaan di sebuah firma hukum berbasis di London dari Auckland. Sementara Reid melanjutkan pekerjaan di kantor pengacara HAM terkemuka berbasis di New York. Ini adalah pekerjaan sampingan baginya.

“Banyak firma hukum memperbolehkan karyawannya bekerja dari jarak jauh. Dan jika kamu bisa melakukan itu dari Selandia Baru, kenapa tidak mengambil kesempatan itu,” kata Reid.

Meski tak semua yang pulang kampung bisa segera mendapatkan pekerjaan, Fry menyebut orang-orang itu secara perlahan akan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Keberadaan mereka membutuhkan jasa dan perumahan.

“Mereka butuh rumah, membeli barang, sekolah, dan dokter. Permintaan itu akan melonjak. Butuh waktu untuk penyesuaian. Yang akan Anda lihat adalah orang-orang yang butuh pekerjaan. Tapi berbagai lowongan itu akan tercipta seiring waktu,” tuturnya.

Jalan terjal ke depan tetap saja ada. Beberapa anak muda Selandia Baru masih merasa gatal untuk kembali merantau. Maraea McMahon tengah menanti musim ski di Kanada saat pandemi terjadi. Sejak kembali ke Wellington, dia bekerja sebagai sukarelawan. Kini McMahon mulai mempersiapkan rencana melanjutkan studi di New York. Dia pernah bekerja paruh waktu sebagai asisten rumah tangga di kota itu.

“Saya tidak bodoh dan meninggalkan Selandia Baru dalam waktu dekat. Saya akan berangkat ketika situasi sudah aman,” ucapnya.

Agar Selandia Baru benar-benar mengambil manfaat dari arus balik ini, para perantau itu harus tinggal di kampung halaman mereka dalam waktu yang panjang. Namun belum ada jawaban atas seberapa mungkin situasi itu tercipta.

Yang jelas, keputusan para perantau akan dipengaruhi ongkos perjalanan, vaksin virus corona, dan kecepatan global memulihkan perekonomian. Pengalaman hidup di luar negeri merupakan modal vital bagi orang-orang Selandia Baru selama beberapa dekade terakhir.

Banyak dari mereka yang pulang dari perantauan mungkin cemas pada peluang untuk kembali hijrah. Begitu pandemi dapat dikontrol, orang-orang Selandia Baru barangkali akan terdorong oleh faktor yang sama untuk merantau.

Walau terdapat lebih dari 100.000 “warga baru”, pasar tenaga kerja tetap sempit. Sehingga para pekerja tanpa pengalaman luar negeri akan mengalami kesulitan. Gairah melihat dunia diyakini juga akan berperan dalam keputusan orang Selandia Baru untuk meninggalkan kampung halaman. Namun ada satu elemen yang akan mengganggu keseimbangan, yaitu rasa cinta yang begitu mendalam.

Secara umum, menurut Spoonley, arus balik yang terpaksa, di mana imigran wajib meninggalkan kampung halaman dan kembali ke negara asal, menciptakan kemarahan dan rasa sakit hati. Keinginan kuat untuk kembali hijrah diyakini akan tetap tinggi. Namun kini Spoonley merujuk rasa syukur mendalam yang dirasakan para perantau dari Selandia Baru yang justru mendorong mereka untuk tinggal lebih lama di kampung halaman.

“Saat ini banyak orang yang kembali merasakan syukur. Karena berada di negara yang berjalan secara normal. Di mana mereka dapat memperjuangkan kehidupan mereka,” ucapnya. (cnn/dw/kmp/qn)

Tags :
Kategori :

Terkait