Pekerja di sektor informal pun turut terkena imbasnya. Lebih dari 3 juta pekerja terdampak pandemi. Pendapatan mereka tergerus. Berdasarkan survei sosial demografis BPS, pendapatan 4 dari 10 orang Indonesia berkurang saat pandemi.
Pendapatan yang berkurang menurunkan daya beli. Harga-harga pun mulai berguguran. Deflasi akhirnya terjadi. Namun jika deflasi ini terus berlanjut, maka bisa sangat membahayakan.
Deflasi adalah sebuah fenomena penurunan sekelompok harga suatu barang atau jasa. Ketika deflasi terjadi, maka valuasi mata uang meningkat. Orang akan cenderung memilih uang tunai sembari menunggu harga semakin turun.
Imbasnya akan dirasakan oleh pelaku usaha. Penurunan demand berarti penurunan penjualan (sales). Persaingan akan diwarnai dengan strategi banting harga yang membuat harga barang semakin jatuh.
Tanpa ada kenaikan demand yang berarti, tidak hanya likuiditas korporasi saja yang terkuras. Tetapi juga profitabilitasnya. Akhirnya korporasi maupun pelaku usaha akan mengurangi investasinya. Tanpa investasi, permintaan tenaga kerja menyusut. Lingkaran setan (vicious cycle) ini harus dipatahkan.
Deflasi memang kejam. Lihat saja Negeri Sakura yang terjerat dalam downward spiral of deflation selama lebih dari 1 dekade. Pertumbuhan ekonominya melambat. Sehingga deflasi 2 bulan beruntun di dalam negeri menjadi suatu warning. Jika masih terus deflasi, RI bisa resesi.
Peluang Indonesia masuk resesi memang ada. Namun jika dilihat dari sudut pandang inflasi saja, tentu tidak cukup. Dalam laporan terbarunya pada 14 Agustus 2020, bank investasi global Morgan Stanley melakukan kajian terhadap perkembangan pandemi COVID-19 dan perekonomian di negara-negara Asia non-Jepang.
Secara epidemiologi, Indonesia dikelompokkan bersama dengan India dan Filipina. Landasan Morgan Stanley mengelompokkan Indonesia bersama 2 negara ini tak lain dan tak bukan adalah kurva pertambahan kasus COVID-19 yang terus menanjak.
Meski kasus terus menanjak, tetapi Morgan Stanley melihat adanya pemulihan yang terjadi secara gradual di negara-negara tersebut. Terutama di Indonesia.
Dengan menggunakan beberapa indikator seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) hingga penjualan barang tahan lama seperti motor dan mobil, Morgan Stanley menilai fenomena kontraksi output perekonomian AxJ bukanlah double dip. Melainkan gradual recovery. Resesi tidak akan bertahan lama. Pemulihan akan segera terjadi meski bertahap.
Perbaikan IKK serta penjualan barang tahan lama di Indonesia bulan Juli menjadi sorotan bank investasi asal AS itu. BI mencatat, meski konsumen masih pesimis dalam memandang perekonomian, sentimen berangsur membaik. Hal ini tercermin dari kenaikan IKK 3 bulan beruntun sejak terbenam di zona bawah pada Mei 2020.
Pelonggaran PSBB yang diterapkan terutama di ibu kota yang sumbangsihnya terhadap kue ekonomi nasional sebesar 17,2 persen menjadi faktor pemicu membaiknya sentimen konsumen.
Penjualan sepeda motor dan mobil pun terbang sejak PSBB transisi di DKI Jakarta diterapkan di Juni. Selain itu, perbaikan mobilitas di wilayah lain juga menjadi faktor yang turut berpengaruh.
Hanya saja, saat ekonomi mulai digeber dan stimulus mulai dicairkan untuk create demand, Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan memberikan kebijakan yang mengejutkan: menarik rem darurat.
PSBB ibu kota tak lagi berstatus transisi. PSBB diperketat. Namun nyatanya sampai dengan hari ini, PSBB ala Anies tak seseram seperti yang dibayangkan. Orang-orang masih diperbolehkan untuk mobile ke pasar hingga kantor. Dengan catatan ada pembatasan kapasitas dan law enforcement lain seperti denda untuk para pelanggar aturan.
Masalahnya, kuartal III tinggal hitungan minggu. Kurang lebih 2 pekan lagi, kita telah meninggalkan kuartal III ini. Potensi kontraksi ekonomi lanjutan di triwulan ini masih ada. Sehingga jangan kaget kalau Indonesia berpotensi besar masuk menjadi anggota world recession club yang kini jumlahnya lebih dari 40 negara di dunia. (cnbc/dtk/qn)