BULAN September mengingatkan siapapun terhadap sejumlah soal yang traumatis, berbagai masalah pada masa silam telah tercatat dalam sisi gelap sejarah Indonesia. Pada 30 September 1965 G30S PKI, 12 September 1984 kerusuhan Tanjung Priok, 24 September 1999 tragedi Semanggi II, 7 September 2004 pembunuhan Munir Said Thalib, dan kerusuhan Wamena 23 September 2019. Seluruh soal tersebut memiliki satu kesamaan yaitu, dilatari kepentingan oligarki. Sederhananya, oligarki merupakan segilintir predator kekuasaan yang menjalankan pemerintahan demi mendapatkan kekayaan sebanyak mungkin--bila perlu harus melanggar hukum dan norma-norma sosial yang berlaku. Potret oligarki di Indonesia pada semua sektor, dan lini kehidupan tidak dapat dihindari. Sekalipun praktiknya pada pemerintahan ihwal oposisi-koalisi, di balik itu sebetulnya mereka tampak akur dan bersenang-senang karena telah mendulang kekayaan di atas penderitaan rakyat saat ini. Tentu keberadaannya pun bukan hanya mendatangkan kerugian, namun juga kematian bagi kita. Salah satu praktiknya yaitu pada industri ekstraktif, yang telah menimbulkan masalah lingkungan dan sosial. Melaui serangkaian instrumen birokrasi,--sekali lagi, peranan oligarki sebagai 'rent sekeer' untuk memperoleh keuntungan--ruang hidup terancam keberlangsungannya karena lubang bekas tambang batu bara yang kerap ditinggalkan perusahaan tanpa terlebih dahulu dilakukan pemulihan, dan totalnya sebanyak 1.735 bekas galian. Di sisi lain pemerintah mengklaim hanya ada 500 lubang tambang di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Hal ini jelas sangat berdampak terhadap ekosistem, dan bukan saja berpotensi memperburuk kondisi lingkungan namun karena kehadirannya di sekitar pemukiman juga menjadi ancaman nyawa manusia. Terutama anak-anak. Tercatat sejak 2011 hingga 2020 korban tewas di lubang tambang sebanyak 39 orang tersebar di Samarinda (22 orang); Kutai Kartanegara (13); Kutai Barat (1); Penajam Paser Utara (1); dan Kabupaten Paser (2 orang). Soal ini merupakan cerminan besar, betapa industri pertambangan mengabaikan hukum terlebih lagi pemerintah yang tidak mengutamakan keselamatan publik. Pada pertengahan tahun 2016, komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila mengatakan, lubang tambang merupakan "Pembantaian secara sistematis terhadap warga Kaltim". Pihaknya pun mendesak pemerintah mengatasi soal tersebut, karena dinyatakan telah melanggar Pasal 71 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi: "Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia." Walaupun kenyataannya hingga hari ini tidak ada satupun pertanggung jawaban yang diberikan, dan belum ada pula pemenuhan hak atas keadilan para korban yang telah meregang nyawa. Belum lagi kerusakan kawasan hutan karena penebangan pohon untuk hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH), pengerukan batubara, serta pembukaan perkebunan sawit. Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim, pada izin pertambangan yang terbagi dalam dua jenis perizinan yakni 1.404 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 30 izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Memiliki total luasan konsesi seluas 5.137.875,22 ha atau sekira 40,39 persen dari daratan Kaltim. Sedangkan pada izin kehutanan berdasarkan data Dinas Kehutanan Kaltim, seluas 5.619.662 ha yang terdiri dari 59 izin usaha pemanfaatan hutan hasil kayu (IUPHHK), dan 45 IUPHHK. Dengan kata lain, sekira 44,09 persen daratan provinsi di kuasai izin kehutanan. Kemudian pada sektor perkebunan merujuk data dari Dinas Perkebunan Kaltim, bahwa total konsesi yang diterbitkan mencapai 375 izin dengan luas 3.095.824 ha. Angka tersebut setara dengan 23,62 persen daratan Kaltim. Belum termasuk izin pertambangan batu gamping dan metanol. Kebijakan pemerintah dalam hal ini, seakan menciptakan ruang hidup yang mengerikan untuk masyarakat Kaltim. Bayangkan saja, total luas seluruh perizinan di Kaltim menembus angka 13,83 juta ha. Melampaui luas daratan Kaltim yang hanya 12,7 juta ha. Celakanya, masalah industri tersebut dilengkapi dengan belum dipenuhinya kewajiban membayar jaminan reklamasi dan paska tambang. Melansir media kaltimkece.id, dari paparan Dinas Energi Sumber Daya Mineral yang diikuti Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Kaltim pada 23 Mei 2017, ada 679 perusahaan tambang masuk daftar wajib dana jamrek. Jumlah itu berasal dari 1.404 izin usaha pertambangan (IUP), dan dari 679 wajib jamrek itu pun, baru 413 menyetorkan atau hanya 60 persen. Sekelumit persoalan industri ekstraktif di Kaltim tidak pernah diselesaikan dengan patut. Hingga Kaltim diberi julukan "Provinsi Mematikan", lantaran diterbitkannya ribuan izin yang telah mendatangkan kerusakan, pelanggaran hukum, dan mematikan kehidupan.
Kaltim dan Papua di Tengah Himpitan Oligarki
Jumat 11-09-2020,14:17 WIB
Oleh: admin12_diskal
Kategori :