Makassar, nomorsatukaltim.com - Dua pasangan bakal calon kepala daerah masing-masing Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), berpotensi akan melawan kolom kosong. Karena hingga kini belum ada tanda-tanda ada penantangnya pada Pilkada Serentak 9 Desember 2020.
“Potensi itu ada. Sebab situasi Pilkada Gowa dan Soppeng memang kurang menggembirakan,” ujar pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar Andi Luhur Prianto, Kamis (13/8).
Dua pasangan tersebut yakni Andi Kaswadi Razak-Lutfi Halide yang akan berlaga di Kabupaten Soppeng dan Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo-Abdul Rauf Malanganni di Kabupaten Gowa. Kedua kandidat ini adalah petahana.
Luhur mengatakan, tujuan dari pilkada langsung sebenarnya membuka akses seluas-luasnya bagi warga negara untuk berkompetisi memperebutkan formasi jabatan-jabatan publik. Ia tidak menghendaki penumpukan kekuasaan di satu kelompok.
“Situasi di Soppeng dan Gowa terjadi karena kegagalan kelompok penantang mengonsolidasi kekuatan melawan kelompok petahana. Bahkan penantang lebih memilih bergabung ke petahana,” ujarnya.
Dengan pilihan yang terbatas itu, golongan putih (golput) ideologis mempunyai alasan untuk tidak hadir di tempat pemungutan suara (TPS). Meskipun level kesadaran bagi pemilih untuk hadir di TPS masih lebih dominan. Apalagi jika ditambah mobilisasi dari penyelenggara atau pemerintah berjalan optimal.
“Pasangan calon tunggal tetap tidak bisa langsung berpesta. Seperti ‘pemenang yang mabuk’. Tetap waspada. Sebab pertarungan sebenarnya masih tetap terjadi di bilik suara. Kekuatan infrastuktur politik calon tunggal tidak boleh terlena dengan situasi ini,” ujar dosen Fisip Unismuh Makassar ini.
Bila bercermin pada pengalaman Pemilihan Wali Kota Makassar 2018, kekuatan pendukung kotak kosong betul-betul bisa terkonsolidasi. Tidak mudah bagi calon tunggal untuk memenangkan kontestasi. Apalagi jika mereka mampu membangun strategi viktimisasi (psikologis korban) pada para pemilih.
Untuk itu, tantangan calon pasangan tunggal bersifat internal dan eksternal. Secara internal, psikologi pemenang yang seolah ‘berada di atas angin’ bisa berbahaya. Jika kekuatan pendukung kotak kosong semakin terkonsolidasi.
“Secara eksternal, pembagian dan distribusi tugas-tugas elektoral di koalisi partai besar. Kalau tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dominasi dan marginalisasi. Harus ada pembagian kerja proporsional di antara para pendukungnya,” kata Luhur.
Pengamat politik lainnya dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) Firdaus Muhammad mengemukakan, potensi kandidat tunggal melawan kolom kosong cukup besar. Prediksi itu memang bisa saja terjadi selama belum ada kandidat yang melawannya.
“Bila melihat pasangan kandidat di Soppeng (Kaswadi-Lutfi) telah menyatu bahkan intens melaksanakan sosialisasi sampai mendominasi di daerahnya. Tentu figur lain akan berpikir dan lebih memilih tidak maju. Karena melihat kekuatan mereka,” kata Firdaus.
Meski demikian, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UINAM itu menilai, potensi kemenangan Kaswadi-Lutfi melawan kolom kosong cukup besar.
Ia menyebut, sebabnya selain Kaswadi berstatus petahana dan dianggap berhasil membangun Soppeng, juga memiliki infrastruktur yang matang. Didukung dengan koalisi partai politik (parpol).
“Tidak hanya kinerjanya selama ini menjadi bupati yang mendapat apresiasi. Peluang menang juga ada. Karena banyak faktor pendukung. Baik parpol maupun masyarakat di sana. Namun semua bisa saja berubah. Tergantung kondisi peta politik di daerah masing-masing,” katanya.