Akhir-akhir ini, SK Partai Politik tengah diperebutkan. Para bakal calon pada Pilkada 9 Desember nanti, seolah saling salip-salipan. Itu baru tiket. Belum ada jaminan menang. Tentu ada konsekuensi biaya di balik itu.
------------------------
"AH sudahlah. Itu sudah rahasia umum," kata Mustaqim, wakil bupati Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) periode 2008-2018 kepada Disway Kaltim. Padahal upaya untuk mendapatkan usungan partai politik (parpol) itu, kata dia, jelas tak mudah. Perlu modal. Besar.
Mustaqim tercatat dua periode menjadi wakil bupati PPU. Pertama bergandengan dengan Andi Harahap. periode 2008-2013. Kemudian periode kedua, menjadi wakilnya Yusran Aspar.
Pada 2018, ia ikut berkontestasi lagi menjadi bakal calon bupati. Saat itu, berpasangan dengan Sofyan Nur. Anak dari Yusran Aspar. Namun, tak kesampaian. Ia dikalahkan pasangan Abdul Gafur Mas’ud dan Hamdan yang kini menjabat bupati dan wakil bupati PPU.
Saat ditemui di kediamannya, Selasa (28/7) siang, ia bercerita banyak tentang pengalaman pribadinya. Tiga kali ia telah berkontestasi dalam pilkada PPU. Yang terakhir pria kelahiran Boyolali, 12 Desember 1949, gagal.
Ia mengawali cerita dari situasi demokrasi di Indonesia saat ini. Yang sulit. Sekarang zamannya pragmatis. Materialistik. "Salahnya, karena orientasinya sudah seperti itu," katanya.
Sedikit malas ia mengungkapkan lebih lanjut. Tapi akhirnya ia tetap mau mengisahkan. Jadi, partai politik itu sendiri yang harus mulai memperbaiki. Itu solusinya. Karena satu-satunya yang bisa mengusung kepala daerah itu harus parpol atau gabunga parpol. "Titik," tegasnya.
Kecuali jalur independen. Tapi sulit juga. Itu harus orang yang luar biasa. Dan masyakarat sudah sadar betul dengan demokrasi. Karena demokrasi bagi negara yang sudah maju dan berkembang tidak akan terjadi seperti ini. Justru pengusaha-pengusaha yang datang untuk menjadi sponsor. "Kalau di sini lain lagi. Harus dibayar untuk jadi sponsor," lanjut Mustaqim.
Negara lain itu, ia contohkan Amerika, Jepang, Singapura, dan negara-negara di Eropa. "Jika kita mengadopsi itu belum bisa. Karena masyarakat kita belum siap. Sementara masyarakat belum sejahtera. Sulit," urainya.
Sulit itu bicara tingkat kesadaran masyarakat. Sekarang ini, katanya, banyak masyarakat mau ke TPS karena dibayar.
Setiap bakal calon kepala daerah jelas butuh tiket. Untuk berlaga. Untuk dapat perahunya? "Ya pokoknya bayar lah. Kita naik ojek saja bayar. Mana dibonceng kita (kalau tidak bayar, Red.)," tandasnya.
"Perahu tanpa mahar itu omong kosong. Di depan meja mungkin tidak bicara. Tapi di belakang," ulangnya. Masa sih? "Ya sudah kalau kamu tidak percaya. Saya kan pernah ada di dalam," tegasnya lagi.
Jika tidak mau seperti itu, jelas tidak dilirik. "Semua begitu. Sudah jadi rahasia umum. Saya ini pernah menjadi bagian dari itu. Mau apa kita?," tambahnya.
Kemudian, kajian dan pemaparan, mulai hasil survei, visi dan misi serta program kerja, hampir tidak ada gunanya. Atau itu hanya nomor ke sekiannya. "Tidak ada makan siang gratis," ucapnya.