ResKal Bahas Sektor Perikanan

ResKal Bahas Sektor Perikanan

NARASUMBER dari berbagai instansi membahas sektor perikanan di program gelar wicara ResKal, Rabu (8/7).

Tanjung Selor , Disway – Sektor kelautan dan perikanan menjadi tema pembahasan pada program gelar wicara Respons Kaltara (ResKal), Rabu (8/7). Dan, menghadirkan narasumber berkompeten.

Mereka yang hadir yaitu Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop-UKM) Kaltara Hartono, Kepala Bidang Perikanan Budidaya, Penguatan Daya Saing Produk Perikanan dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kaltara Idham Khalid, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Kaltara Yufrizal, dan Ketua DPD HNSI Kaltara Nur Hasan.

Pada kesempatan itu, Ketua DPD HNSI Kaltara Nur Hasan menyampaikan, setidaknya ada 4 permasalahan yang dihadapi pelaku usaha tambak di Kaltara, utamanya petambak udang.

Pertama, kata dia, adalah belum adanya peningkatan harga jual udang selama 2020. Bahkan sejak Januari hingga Juli, telah terjadi penurunan harga jual udang sebanyak 4 kali dari petambak ke pos pengumpul.

“Permasalahan menurunnya harga udang, sedianya terjadi sejak 2017 hingga saat ini. Namun pada 2020, termasuk pada saat pandemi (COVID-19) ini, cukup pelik, karena sudah terjadi 4 kali penurunan,” katanya.

Persoalan kedua, petambak menuntut kejelasan penyebab terjadinya penurunan harga. Ketiga, produktivitas tambak di Kaltara juga terus menurun.

Padahal, kata dia, luasan lahan tambak terus bertambah. Keempat, meningkatnya harga faktor pendukung budi daya tambak udang windu. Seperti harga pupuk, saponin dan bibit.

Keluhan tersebut dibenarkan oleh Kepala Disperindagkop-UKM Kaltara Hartono. Menurutnya, dari sisi produktivitas, sedianya penjualan udang windu di Kaltara meningkat. Namun, harga jualnya dari sisi petambak dinilai masih jauh dari harga rata-rata penjualan ke tingkat cold storage.

“Dari pertemuan dengan pihak terkait pada Februari lalu, harga udang sudah ditetapkan sebesar Rp 230 ribu per kilogram (size 20). Namun, sekarang turun menjadi Rp 85 ribu per kilogram,” tuturnya.

Pihaknya menduga adanya permainan harga pada tingkat pos pengumpul dengan cold storage. “Dari itu, kami berharap pengumpul dan cold storage tidak mempermainkan harga udang,” ujarnya.

Disperindagkop-UKM bersama organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, juga akan membentuk tim terpadu untuk memastikan kebenaran pergerakan harga dan produktivitas udang windu di lapangan.

“Sesuai aturan yang ada, Pemprov tidak banyak terlibat dalam penetapan harga jual udang windu. Hanya memantau dan menerima laporan dari pelaku usaha (cold storage) terkait perkembangan harga udang. Namun, hingga saat ini belum ada pelaporan tersebut. Untuk itu, sangat diharapkan laporan perkembangan harga tersebut dapat disampaikan minimal sebulan atau 3 bulan sekali,” ungkapnya.

Saran lainnya adalah perlunya kesepakatan penetapan ambang batas bawah dan atas harga udang windu antara petani dan cold storage. “Untuk menjamin kestabilan harganya sendiri, OPD teknis bersama Disperindagkop-UKM berencana membentuk SRG (skema resi gudang) khusus untuk udang,” ucapnya.

Selain itu, agar lebih implementatif, perlu adanya kebijakan berupa peraturan gubernur (Pergub) untuk penetapan harga udang. Juga disarankan agar usaha pos pengumpul atau pembelian udang dapat berbentuk badan usaha sehingga memudahkan pemerintah mengintervensi. Termasuk memberikan sanksi apabila ditemukan adanya permainan harga di lapangan.

Di sisi teknisnya, Kabid Perikanan Budidaya Idham Chalid mengatakan, produktivitas hasil perikanan khususnya udang windu di Kaltara sudah melampaui target.

“Untuk persoalan harga jualnya, ini dipengaruhi oleh mutu komoditasnya. Nah, menjadi peran DKP untuk menjamin mutu produk ekspor tersebut di level petambak. Mulai dari mutu benih hingga ke pascapanen,” ujarnya.

Sepengetahuannya, nilai penjualan total yang dapat diterima petambak udang windu bisa mencapai Rp 280 ribu per kilogram. “Ini karena selain harga jual rataan, ada lagi komisi. Namun pada rantai penjualannya, ada peran pos pengumpul atau pembelian udang.

Petambak kebanyakan bergantung kepada mereka, karena sebagian besar faktor produksinya disediakan pos pengumpul yang diutangkan kepada petambak. Jadi, petambak harus menyisihkan pendapatannya untuk membayar utang kepada pos, ditambah lagi beban tambahan berupa kenaikan harga faktor produksi itu sendiri,” jelasnya.

Hal yang patut dipahami juga, daya dukung lahan tambak di Kaltara terus mengalami penurunan. Ini dikarenakan lahan yang ada, sudah difungsikan sebagai tambak sejak era 80-an.

“Jadi, untuk memaksimalkan daya dukungnya, lahan itu perlu mendapat perlakuan lebih. Ini juga cukup membebani petambak Kaltara yang mempertahankan ciri khas tambak tradisionalnya,” bebernya.

Pesaing terberat pangsa pasar udang windu Kaltara, adalah udang vaname yang kini banyak dibudidayakan sejumlah negara.

Dari sisi makro ekonominya, Kepala Perwakilan BI Kaltara Yufrizal menuturkan bahwa ada 5 solusi yang dapat dipikirkan untuk mengatasi masalah ini. Yakni, mencari pasar baru udang windu Kaltara sehingga pelaku usaha tidak bergantung kepada negara pengimpor utama. Lalu, pembenahan sistem tata niaga udang windu.

“Perlu dibuat kajian implementatif tentang siapa saja yang terlibat dalam rantai nilai udang sehingga dapat dilihat efesiensinya,” ujarnya.

Ketiga, perubahan sistem penjualan udang windu dengan sistem lelang. Lalu, pengoptimalan badan usaha milik daerah atau perusahaan daerah.

“Dalam hal ini, BUMD membeli dan mengatur secara spesifik tentang harga dengan petani. Ini menguntungkan kedua belah pihak. Harga ini dapat diatur sesuai kesepakatan keduanya. Apabila terjadi kenaikan, maka dicari nilai tengahnya,” ujarnya. HUMAS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: