Balikpapan Ragu Ajukan PSBB, Wali Kota Masih Menunggu Kajian

Balikpapan Ragu Ajukan PSBB, Wali Kota Masih Menunggu Kajian

Wacana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Balikpapan kian mencuat. Kendati Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi belum tegas mengatakan siap. Dari beberapa statement-nya, Rizal masih ingin mengevaluasi dan melakukan pengetatan program social distancing. Sambil menunggu hasil kajian tim.  ---------------------- KETIKA awal munculnya wacana Balikpapan akan mengajukan PSBB, Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi sempat ditanyai para jurnalis. Mereka mempertanyakan keseriusan Pemkot Balikpapan mengajukan izin PSBB. Saat itu, beberapa pekan lalu Rizal mengaku masih mengkaji rencana itu. "Sebaiknya jangan di besar-besarkan dulu. Kami masih mengkaji dampak-dampaknya seperti apa," ujar Rizal Effendi. Rizal juga pernah mengatakan bahwa dirinya sedang berkomunikasi dengan kepala daerah salah satu kota di Kalimantan Selatan. Yang telah menerapkan PSBB. Tujuannya untuk mempelajari dan mengukur kemampuan Balikpapan melakukan hal yang sama. "Sebenarnya, yang sudah kita terapkan selama ini, kurang lebih saja dengan PSBB. Kita sudah menutup jalan, menarapkan social distancing dan seterusnya,” kata Rizal dalam satu sesi jumpa media terkait perkembangan penanganan COVID-19 di Balikpapan. Pada Senin 4 Mei lalu, kepada Disway Kaltim Rizal mengaku masih belum mau menerapkan PSBB. Kebijakan itu dianggap tidak sesuai jika dipaksakan untuk diterapkan di Kota Beriman. Menurunya PSBB bukan kebijakan populer. Di tengah kemerosotan ekonomi. “Jangan tergantung PSBB,” ujarnya, saat ditemui Disway Kaltim. Apalagi dengan adanya momentum Lebaran. Kebijakan PSBB bisa jadi menuai banyak kritik sosial. Rizal memilih mengevaluasi pengetatan sosial. Yang selama ini berjalan. Ia akan mengintensifkan beberapa hal. Soal kebijakan yang telah diberi kelonggaran. Ia kembali akan melakukan pengetatan kebijakan itu. Contoh kelonggaran yang ia maksud, seperti perubahan jadwal sistem buka tutup jalan. Begitu juga tentang pengendalian kerumunan massa. Baik di jalan raya, rumah ibadah, pasar tradisional maupun di mal. Rizal membatah jika pemkot belum memutuskan PSBB karena terkendala anggaran. Seperti diberitakan beberapa waktu lalu. Bahkan ia terang-terangan menyatakan, anggaran refocusing senilai sekitar Rp 136 miliar, bukan anggaran yang akan digunakan untuk PSBB. “Anggaran PSBB belum pernah dihitung sebelumnya. Saat ini dihitung Sekkot sebagai panitia anggaran,” ungkapnya. Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) Kota Balikpapan Andi Sri Juliarty menyebutkan bahwa sejak diberlakukan penyekatan di sejumlah ruas jalan, penambahan kasus positif maupun PDP COVID-19 cederung menurun. Itu bisa terlihat dari jumlah konfirmasi pasien positif selama dua minggu terakhir yang cenderung datar. "Jumlah kasus per hari hanya bertambah satu atau dua," ujar dr Andi. TINJAUAN ASPEK KESEHATAN Jika ditinjau dari aspek kesehatan, Balikpapan sudah bisa menerapkan PSBB. Hal itu diungkapkan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Balikpapan dr. Dradjat Witjaksono. Menurutnya, kondisi perkembangan COVID-19 di Balikpapan telah memenuhi persyaratan dalam Permenkes No 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB. Dimana jumlah kasus meningkat signifikan dan menyebar secara merata. Apalagi Balikpapan sudah ditetapkan sebagai zona merah waspada penyebaran virus corona. "Jumlah terkonfirmasi positif maupun jumlah PDP Balikpapan juga tertinggi di Kaltim," ujarnya, Selasa (5/5) saat dihubungi Disway Kaltim. Namun, bahan pertimbangan untuk menerapkan PSBB tentu bukan hanya dari aspek kesehatan itu saja. Yang perlu dipikirkan dan dipersiapkan di antaranya ialah kebutuhan hidup dasar. Seperti anggaran untuk jaring pengaman sosial dan lain sebagainya. Menurut Dradjat, yang paling penting dilakukan untuk mencegah atau menghentikan penularan Coronavirus Disease 2019 ialah memaksimalkan model penanganan di lapangan. Sebetulnya, saat ini pun Balikpapan sudah melakukan sejumlah pembatasan-pembatasan. Hanya perlu evaluasi dan pengawasan terhadap social distancing di lapangan lebih diperketat lagi. “Intervensi aparat (TNI/Polri/Satlpol PP) mungkin harus lebih agresif lagi," ucap mantan Direktur Rumah Sakit Tentara Hardjanto Balikpapan itu. Untuk protokol kesehatan, seyogianya difokuskan pada OTG (orang tanpa gejala). Orang-orang yang sakit; demam, batuk, pilek, sesak napas. “Pastinya mereka akan pergi ke fasilitas kesehatan," tutur Dradjat. Tetapi ketika OTG dibiarkan tanpa pengawasan ketat, bisa ke mana-mana, terutama fasilitas umum. Itulah yang akan berbahaya. Berpotensi menularkan ke banyak orang. Maka, hal itu yang harus mendapat perhatian pemerintah dengan proporsi edukasi dan pengawasan yang lebih lagi. "Kalau perlu, dilakukan pembubaran kerumunan secara paksa," tukasnya. Dradjat juga menyampaikan keprihatinannya. Terkait banyaknya tenaga medis yang tertular COVID-19. Tentu ini memang menjadi risiko yang sulit dihindari. Karena setiap hari tenaga medis tersebut harus bertemu dan kontak dengan pasien selama 6-8 jam. Ditambah lagi peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Kaltim, yaitu ketidakjujuran pasien menceritakan riwayat perjalanannya dan kontak dengan orang yang memiliki gejala. Sehingga banyak tenaga medis yang kemudian harus ikut dikarantina bahkan tertular virus dari si pasien. Bahkan, kata Dradjat, karena munculnya peristiwa itu, anggota IDI Balikpapan banyak yang memintanya untuk mengusulkan PSBB ke Pemkot Balikpapan. KEMAMPUAN UMKM Berhitung mengenai dampak ekonomi dari pandemi ini, dapat dimulai dari menghitung kemampuan bertahan para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Jika skenario PSBB diterpakan. Penyekatan jalan yang diterapkan pemerintah kota Balikpapan sebulan terakhir, telah mampu melemahkan para pelaku usah kecil di kota minyak. Contohnya Santi, pedagang makanan dan minuman di Balikpapan. Dia memiliki beberapa outlet untuk memasarkan produknya. Diawal pagebluk muncul di Balikpapan, usaha Santi langsung mengalami penurunan omzet 50-80 persen. Bahkan ia harus menutup sebagian outlet untuk menekan biaya. Belum sempat menyesuaikan kondisi itu dengan perencanaan usaha, Santi kembali terpukul. Itu ketika Pemkot Balikpapan memberlakukan penyekatan di sejumlah ruas jalan. Ia tak bisa lagi membuka oulet-nya. "Karena kalau cuma ngandalin sistem take away saja tidak bisa menutupi biaya operasional dan produksi," ujar Santi bercerita kepada Disway Kaltim, Kamis (7/5). Bagaimana kemudian dia menghadapi kondisi itu. Ia hanya membuka satu outlet. Yaitu di rumahnya sendiri, di komplek Graha Indah, Balikpapan Utara. Terpaksa tabungan dikuras buat menutupi sementara modal usaha yang tergerus. Santi sebenarnya sempat ingin stop dulu berjualan. Kemudian bertahan hidup dengan sisa tabungan. Namun ia terpikir dengan dua karyawannya. "Bagaimana mereka makan dan bayar kost, kalau tidak dibayarkan gajinya," kata Santi. Akhirnya Santi coba tetap bertahan. Sambil beradaptasi dengan keadaan. Beberapa waktu kemudian, ketemu ide. Dia terpikir lagi untuk membantu teman-temannya sesama pelaku UMKM yang terdampak. Ia kumpulkan semua produk, lalu dipasarkan bersama-sama, lewat online. "Skill sales saya muncul kembali," imbuhnya. Promosi pun terus digencarkan, toh cuma melalui media sosial. Cuma dengan modal data internet. Alhasil; adaptasi itu berhasil. Kurang dari sebulan. "Responnya luar biasa, repeat order meningkat. Penjualan meningkat," Kini omzet usaha Santi meningkat tajam hingga tiga kali lipat. Begitupun teman-temannya sesama UMKM tadi. Karyawannya pun ditambah. Untuk kurir dua orang. Santi juga kembali membuka beberapa outlet miliknya. "Niat awalnya buka outlet itu cuma untuk bertahan. Membayar tempat dan gaji karyawan," ia mengungkapkan. Namun, setelah berhasil beradaptasi, Santi mesti kembali bersiap-siap. Untuk menghadapi PSBB yang diwacanakan Pemkot Balikpapan. "Saya sudah agak kurang menyimak berita, soal PSBB memang sempat saya dengar," Jika memang itu terjadi. Dia harus beradaptasi lagi untuk bertahan melawan semua anomali sosial yang membentuk perilaku pasar. "Saya kurang tahu apakah kurir makanan yang di luar ojol masih bisa lewat nantinya," tanyanya. Di satu sisi, Santi juga mempertanyakan. Apakah pilihan PSBB bisa mengecilkan risiko penularan corona bahkan hilang. Meskipun ia yakin bahwa pemerintah pasti menghitung rencana itu dengan matang. "Tapi kalau boleh memilih, ya sebenarnya saya enggak mau. Lebih baik enggak usah PSBB," kata Santi. Kalaupun pun tetap mau menerapkan PSBB, kata Santi, pemerintah harus bisa menanggung konsekuensinya. Karena masyarakat yang kurang mampu harus yang pertama dilindungi. Begitupun masyarakat mampu dalam kondisi ini pun sebenarnya juga terdampak. "Jika PSBB bisa menyelesaikan corona ini, ya kenapa tidak?,". "Kita sudah cukup lama menghadapi penutupan pembatasan jalan. Dan sampai sekarang enggak ada jalan keluarnya," pungkas dia. (das/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: