Tikungan Terjal Dunia Pendidikan, Merdeka Belajar Terhambat Pandemi

Tikungan Terjal Dunia Pendidikan, Merdeka Belajar Terhambat Pandemi

Sejak Nadiem Makarim menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dunia pendidikan melintasi tikungan terjal. Ini adalah tahun pertamanya. Apakah konsep Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka bisa diterapkan dengan baik. Atau akan sama dengan konsep-konsep pendahulunya. Hanya bergerak di tataran prosedural?. ----------------- Pewarta: Khajjar Rohmah, Ryan Amanta Editor: Devi Alamsyah MEMAKNAI Hardiknas tahun ini, Disway Kaltim berkesempatan berbincang khusus dengan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mulawarman Muhammad Amir Masruhim. Menurutnya, tahun ini harus menjadi refleksi bersama. Untuk pertama kalinya, memperingati Hardiknas di tengah serangan pandemi COVID-19. Virus kecil tak terlihat, yang menyerang segala lini kehidupan manusia. Kesehatan, ekonomi, termasuk juga, pendidikan. Bagaimana tidak, dunia pendidikan ikut terdampak akibat musibah non-alam ini. Sekolah mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi, diliburkan. Proses pembelajaran dialihkan secara daring. Ujian Nasional (UN) dihapus. Dan tes masuk ke perguruan tinggi, ditunda. Aktivitas dunia pendidikan, terpaksa berhenti sementara. "Meski begitu, dalam kondisi apa pun kita tetap harus memaknai Hardiknas. Sesuai dengan potensi masing-masing," kata Guru Besar FKIP Unmul ini, kemarin. Ia menjelaskan, FKIP tetap melaksanakan peringatan Hardiknas. Namun arahnya tanpa peringatan secara langsung. Hanya menyosialisasikan melalui selebaran dan brosur terkait Hardiknas. Tak lupa, juga diisi imbauan terkait upaya pencegahan infeksi virus corona. Amir Masruhim sudah 35 tahun mengabdi menjadi tenaga pendidik. Sejak diterima sebagai dosen Unmul pada tahun 1985. Ia melihat kondisi pendidikan di Kaltim memiliki dua permasalahan vital. Pertama, pemerataan guru di seluruh wilayah. Menurutnya dari segi jumlah, kapasitas guru di semua jenjang sudah terpenuhi. Namun keberadaanya yang tidak merata. Mayoritas jumlah guru terpusat di kota. Sementara di daerah pelosok kabupaten/kota, jumlah guru masih sangat minim. "Ada SMA negeri, punya guru Kimia 5 sampai 6 orang. Sementara SMA di daerah, tidak punya guru kimia," sebutnya. Ini menjadi PR pemerintah daerah untuk melakukan pemerataan guru-guru. Agar kebutuhan tenaga pendidik terutama di pedalaman dan perbatasan bisa terpenuhi. Persoalan kedua pendidikan di Kaltim adalah minimnya fasilitas belajar mengajar. Lagi-lagi utamanya, bagi sekolah-sekolah yang berada di pelosok daerah. Seperti keberadaan komputer, laboratorium sains, alat peraga pengajaran, bahkan fasilitas gedung sekolah yang memadai. Padahal menurut Amir, dengan program Merdeka Belajar yang diusung Menteri Nadiem, fasilitas penunjang sarana pra sarana pengajaran harus dilengkapi. "Konsep Merdeka Belajar, mudah disampaikan. Tapi pelaksanaanya tidak semudah itu. Apalagi jika seluruh faktor pendukung belum terpenuhi," terang alumnus S-1 Kimia FPMIPA IKIP Makassar ini. Amir bukannya tak setuju dengan konsep Merdeka Belajar yang diusulkan mantan bos Gojek itu. Ia justru mendukung. Program tersebut bahkan dipujinya bagus jika memang bisa terlaksana. Hanya saja, realitanya tidak semua sekolah di seluruh Indonesia siap melaksanakan. Terutama sekolah di daerah yang masih memiliki keterbatasan guru dan sarana pra sarana. Tak terkecuali di Kalimantan Timur (Kaltim). "Pertama, gurunya paham tidak dengan konsep Merdeka Belajar? Fasilitas pendukung siap tidak? Aktivasinya bagaimana? Sarana elektroniknya lengkap tidak?" tanyanya. Karena menurut Amir, tak semua guru memahami konsep Merdeka Belajar yang dimaksud. Harus ada pelatihan khusus terkait penerapan konsep itu agar ada satu kesepahaman antar tenaga pendidik. Sehingga tujuan dari program ini bisa benar-benar terwujud. Guru diarahkan untuk dapat mengetahui dan memetakan siswa berdasarkan minat dan bakat. Sehingga pola pembelajaran akan lebih atraktif dan memotivasi siswa dalam belajar. Berbeda dengan penerapan di tingkat perguruan tinggi. Kampus, menurut Amir lebih siap menjalankan program ini. Apalagi dengan program Kampus Merdeka yang memudahkan ruang gerak universitas dan mahasiswa. Ia pun menyebut, jika tak terhambat pandemi COVID-19, program Merdeka Belajar di kampus seharusnya sudah dilaksanakan tahun ini. Unmul bahkan sudah teken kontrak dengan beberapa universitas dalam kerja sama menjalankan program Merdeka Belajar. Sayangnya, pelaksanaan terhambat karena jerat corona. Amir pun menjelaskan lebih lanjut tentang program merdeka belajar di kampus. Program merdeka belajar akan berlangsung selama tiga semester. Satu semester digunakan untuk mengambil mata kuliah lintas program studi. Satu semester selanjutnya lintas fakultas. Baru kemudian lintas universitas. Bisa dalam bentuk magang, penelitian, atau aktivitas lain sesuai skill dan minat mahasiswa. Program ini bisa dilakukan oleh mahasiswa yang sudah menempuh minimal 3 semester di masa studinya. Jadi tidak harus mahasiswa tingkat akhir. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan potensi dan skill mahasiswa. Agar ketika lulus nantinya, mereka bisa terserap secara optimal di dunia kerja. Bahkan bisa menciptakan lapangan kerja sendiri dengan skill yang dimiliki. "Sesuai pengalaman selama ini, mungkin seabrek SKS (Sistem Kredit Semester, Red.) itu menjenuhkan. Belum lagi antar mata kuliah dosen yang tumpang tindih. Sekarang coba dikurangi itu. Silakan mahasiswa mau kemana," bebernya. Kendala lain, program ini belum bisa dilaksanakan tahun ini, karena masalah pembiayaan. Imbas COVID-19 ekonomi menurun drastis. Banyak orang tua mahasiswa yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sehingga program merdeka belajar ikut terkendala pendanaan. Karena program magang, apalagi jika dilakukan di luar daerah tentu membutuhkan dana lebih. "Bawa mahasiswa keluar otomatis ada dana. Kos di sana, makan selama satu semester. Kondisinya tidak memungkinkan. Sekarang saja banyak orang tua mahasiswa mengajukan penurunan dan pembebasan UKT (uang kuliah tunggal, Red.)," tuturnya. Sehingga, pelaksanaan program Merdeka Belajar memang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan tahun ini. Meski begitu, Amir berharap program ini bisa segera terlaksana. Karena ini adalah upaya pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Sebagai bentuk implementasi konsep pendidikan mencerahkan yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara. Yakni, tidak ada pemaksaan dalam belajar. Serta kesiapan mempelajari berbagai hal. "Pencerahan itu menghadirkan suatu yang nyaman dan semuanya bisa menikmati. Tanpa ada desakan paksaan. Itu juga yang ada dalam konsep Merdeka Belajar," kata dia. Selain itu, tiga aspek dalam pendidikan, di antaranya siswa, guru, dan sarana pra sarana harus saling bersinergi dan melengkapi. Dengan demikian, pendidikan ke depan akan semakin lebih baik. REVOLUSIONER Rektor Universitas Mulia Balikpapan Agung Sakti Pribadi menyambut baik kebijakan Kampus Merdeka. Yang dianggapnya telah mengembalikan esensi dari gagasan Ki Hajar Dewantara sejak mendirikan Taman Siswa, 98 tahun silam. Agung menilai, konsep Kampus Merdeka dari kebijakan dan penerapannya revolusioner. Merefleksikan gagasan purba yang diinisiasi Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara. Tentang kebebasan pelajar atau mahasiswa dalam menuntut ilmu sesuai dengan bidang yang ingin ditekuninya. "Secara filosofinya Kampus Merdeka adalah tingkatan tertinggi dari konsep pendidikan yang mencerahkan," ujarnya saat ditemui, Kamis (30/4). Salah satu kebijakan Kampus Merdeka yang tengah digodok di Universitas Mulia ialah kebebasan mahasiswa dalam mengambil mata kuliah di luar program studi (prodi). Agung melihat hal ini sebagai kesempatan bagi para mahasiswa untuk menambah wawasannya, di luar disiplin ilmu yang telah mereka pilih. Agung mencontohkan, nantinya mahasiswa Prodi Hukum boleh mengambil Satuan Kredit Semester (SKS) prodi manajemen di dalam kampus, selama satu semester dari total keseluruhan semester yang harus ditempuh. "Kalau menurut acuan DIKTI yang lama itu kaku. Kampus Merdeka ini membuat proses belajar lebih fleksibel," ucapnya. Rencananya kebijakan tersebut efektif diterapkan di kampusnya pada tahun ajaran 2020 ini. Agung mengaku sudah beberapa kali menggelar rapat internal para dosen untuk memetakan delapan kegiatan mahasiswa yang nantinya masuk dalam SKS. Antara lain, kegiatan magang di industri atau organisasi, kegiatan pertukaran mahasiswa ke kampus lain, kegiatan proyek di desa atau pelosok daerah, kegiatan proyek kemanusiaan, kegiatan kewirausahaan, penelitian, studi independen, atau kegiatan mengajar di desa. "Mahasiswa saya harus bisa bekerja. Bekerja di mana? Kita bisa lihat dari hasil pemetaan ini," ungkapnya. Agung menilai, jika sudah mulai berjalan, kebijakan itu akan mengubah total proses belajar mengajar di suatu perguruan tinggi. Makanya saat ini pihaknya sedang sibuk menyiapkan workshop yang melibatkan semua civitas kampus, agar kebijakan tersebut benar-benar dipahami dan bisa diterapkan sesuai cita-citanya. "Melalui kegiatan-kegiatan itu, mahasiswa akan merasa lebih hidup," imbuhnya. Selain memberi keleluasaan mahasiswa yang ingin mengikuti lintas prodi, kebijakan Kampus Merdeka juga mengatur tentang otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) yang memiliki akreditasi A atau B, untuk melakukan pembukaan atau pendirian prodi baru. Selain itu ada beberapa otonomi lainnya yang sangat menunjang perkembangan suatu perguruan tinggi, khususnya mempermudah untuk mengajukan peningkatan akreditasi. Bahkan ia memprediksi kebijakan ini nantinya akan berpengaruh dalam jumlah dan proses seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi di daerah. Ada yang menarik saat Agung menjelaskan delapan kegiatan yang akan diterapkan di kampusnya. Ia tampak bersemangat saat membahas kegiatan mengajar di desa dan pertukaran pelajar. Agung bercerita mengenai masa muda ayahnya, yang bernama HM Hasjim Mahmud saat masih kuliah di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Saat itu ayahnya berkisah tentang pengalamannya menjadi volunter Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM), dan ditugaskan mengajar anak-anak di Bulukumba, Sulawesi Selatan, tahun 1963. "Ayah saya sempat merasakan," kenangnya. Setelah dua tahun mengabdi, ayahnya pindah ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Unair, Surabaya. Ini menjelaskan mengapa Agung Sakti Pribadi begitu mencintai dunia pendidikan. PTM sendiri merupakan gagasan Prof Koesnadi Hardjasoemantri, mantan rektor Universitas Gajah Mada (UGM), pada tahun 1950 sampai 1962. Koesnadi berinisiatif menerjunkan para mahasiswanya ke daerah pelosok untuk mengajar. Gagasan ini tercetus akibat kekurangan tenaga guru, sebab gejolak politik yang tidak menentu. Kala itu Indonesia baru saja berubah dari sistem Republik Indonesia Serikat (RIS), menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga kebijakan yang berkaitan dengan guru dan pendidikan belum diprioritaskan. Alhasil, PTM inilah yang membawa harapan baru bagi dunia pendidikan, sehingga pada tahun-tahun tersebut, PTM menjadi sorotan dan diadopsi seluruh perguruan tinggi di Indonesia, termasuk Unhas Makassar. "PTM ini asal mula Kuliah Kerja Nyata (KKN)," ungkapnya. Agung menilai, PTM inilah yang menginspirasi program-program lainnya, seperti Indonesia Mengajar yang diinisiasi Anies Baswedan, pada 2005 sampai 2016, dilanjutkan dengan kebijakan Merdeka Belajar, termasuk di dalamnya Kampus Merdeka. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: