Tanya 14 Hari, Cerita Orang Tua Pasien yang Dianggap Berbohong
Sebuah pesan di media sosial berjudul: Jujur itu lebih baik. Isinya menceritakan bahwa ada 60 tenaga medis yang terpaksa harus dikarantina. Dari dua rumah sakit di Bontang, Kalimantan Timur (Kaltim). Disebabkan ketidakjujuran orang tua pasien dalam memberikan informasi. Si anak yang didiagnosa kelainan fungsi ginjal, juga ternyata terpapar COVID-19. Seperti apa peristiwa yang sebenarnya? Berikut penelusuran Disway Kaltim. Pewarta: Ichwal Stiawan Editor: Devi Alamsyah SENIN 6 April, AL membawa putranya ke RSIB Yabis dengan gejala klinis sakit ginjal. Sesuai rujukan dari klinik swasta. Usia putranya masih 8 tahun. Menjadi langganan pasien di rumah sakit swasta ini. Tiba di RSIB Yabis, petugas sekuriti melaksanakan protokol kesehatan. AL ditanya tentang riwayat perjalanannya selama dua pekan terakhir. Pertanyaannya, apakah selama 14 hari belakangan itu ada perjalanan ke luar daerah?. Memang AL pernah dinas ke Jakarta. Tapi hari itu adalah hari ke-18 setelah pulang dinas. Bukan ke-14 hari. Sebagaimana diinformasikan masa inkubasi coronavirus selama dua pekan itu. “Saya bilang tidak ada (sudah 18 hari-Red.) dari Jakarta,” ungkap AL kepada petugas. Sepulang dari Jakarta, AL melakukan isolasi mandiri secara ketat. Melapor ke petugas Tim Public Safety Centre. Tidur, makan dilakukan terpisah. Sebelum pulang ia memang berpesan ke istrinya untuk disiapkan kamar sendiri. Ia baru berani keluar rumah setelah menerima pesan dari tim PSC. Masa isolasinya berakhir. Tepat 3 April. Tiga hari kemudian putra keduanya sakit, lalu dibawa ke RSIB Yabis. Petugas yang menangani putra AL sesuai hasil diagnosis. Seiring berjalan waktu, gejala klinis pasien memburuk. AL kemudian menuturkan ada riwayat perjalanan ke Jakarta. Petugas medis segera lakukan penanganan sesuai protokol kesehatan. Setelah 18 hari, putra AL dirujuk ke RSUD Taman Husada. Sudah tak sadarkan diri. Kondisinya drop parah. Jumat (24/4) dinihari. Nyawa sang bocah tak terselematkan. Komplikasi penyakit merenggut nyawa Anak Berkebutuhan Khusus ini. Petugas sempat mengambil sampel sang bocah. Hasil rapid test positif. Bocah ini diduga terjangkit COVID-19. Kedua orang tuanya juga diambil sampel darahnya. Tapi hasilnya negatif. Bocah dikebumikan dengan pemulasaran sesuai pasien COVID-19. Dibungkus plastik berlapis. Pakai peti mati. Petugas kenakan Alat Pelindung Diri (APD) saat prosesi penguburan. Tanpa disaksikan keluarga. Kemudian, 112 petugas menjalani rapid test. Bukan 60 orang. Namun Kepala Dinas Kesehatan Bontang Bahauddin membantah jika tes cepat dilakukan lantaran temuan kasus PDP meninggal. Anak AL itu. Tes cepat itu sudah dijadwalkan. “Alat rapid-nya datang bersamaan kemarin,” ungkap Bahauddin kepada wartawan. Hasil rapid test ada 35 orang petugas medis yang hasilnya reaktif—memiliki gejala yang terindikasi dengan COVID-19, namun belum ada hasil swab yang menunjukkan positif. Sebanyak 32 di antaranya langsung dikarantina di Hotel Grand Mustika. Keluarganya juga ikut dikarantina. Tapi di rumah masing-masing. “Kita karantina secara terorganisir dan mandiri,” ucap Bahauddin. Kemudian, layanan rumah sakit di RSIB Yabis dan RSUD Bontang mulai dibatasi. RSIB Yabis langsung menutup Instalasi Gawat Darurat, Rawat Inap, Poli Spesialis Anak, Poli Spesialis Radiologi, IGD Kebidanan, serta Poli Kandungan. Keputusan penutupan dilakukan pasca temuan kasus PDP. Penutupan dilakukan selama 15 hari, Kamis tanggal 23 April hingga 7 Mei 2020. Ruangan juga disemprot disinfektan. Sebanyak 24 paramedis harus dikarantina mandiri. Mereka yang diduga pernah kontak dengan pasien PDP meninggal. Dinas Kesehatan Bontang juga melakukan tes cepat kepada 55 petugas di RSIB Yabis, hasilnya negatif. Disway Kaltim mencoba mengkontak pihak RSIB Yabis terkait hal itu. Namun tak mendapat respons dari pihak RS. Sementara di RSUD Taman Husada Bontang layanan poliklinik juga dibatasi. Rawat inap untuk sementara ditutup. “Untuk mencegah penyebaran COVID-19,” ungkap Bahauddin. Rapid test bukan alat diagnosis. Cara kerja alat ini hanya mendeteksi anti bodi di tubuh target. Hasilnya tak bisa menjadi dasar vonis diagnosis. Hal itu disampaikan Juru Bicara Tim Gugus Penanganan Percepatan COVID-19 Bontang Adi Permana. Meluruskan perihal informasi paramedis yang terpapar virus Sars-Cov-2. Sejauh ini dua petugas medis statusnya Orang Dalam Pemantauan (ODP). Keduanya pernah kontak dengan pasien konfirmasi positif COVID-19 atau disebut Btg-09. Kemudian 14 paramedis lainnya menjalani rapid test hasilnya negatif. “Tidak ada tambahan kasus ODP, PDP maupun konfirmasi,” imbuh Adi. Seperti diberitakan sebelumnya, satu orang Pasien Dalam Pengawasan (PDP) di Kota Bontang dikabarkan meninggal dunia. Pasien merupakan seorang anak berjenis kelamin pria. Ia meninggal setelah menjalani perawatan selama 19 hari. Kemudian pemakanannya dilakukan secara protap COVID-19 oleh petugas berpakaian Alat Pelindung Diri (APD) lengkap. Tanpa dihadiri keluarga. Wali Kota Bontang, Neni Moerniaeni membenarkan satu anak meninggal diduga terjangkit COVID-19 tersebut. “Iya sudah dimakamkan tadi pagi di TPU di Bontang Lestari,” ujar Neni, Jumat (24/4). Pasien anak ini memiliki riwayat penyakit ginjal. Orang tua merujuk anaknya ke RS Yabis dengan gejala medis ginjal. “Dia dibawa ke rumah sakit Yabis tanggal 6 April,” ungkap Neni. Namun, kondisinya terus memburuk. Petugas kemudian merujuknya ke RSUD Taman Husada Bontang, Kamis (23/4). “Langsung dilakukan rapid test dan hasilnya positif,” ujar Neni. Informasi yang dihimpun Disway Kaltim, pasien ini sudah ditetapkan sebagai Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Pasien ini bukan dari klaster manapun atau ada riwayat melakukan perjalanan ke luar daerah. Hanya saja, ada keluarga pasien yang sempat melakukan perjalanan ke wilayah epicentrum COVID-19 di Jakarta. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: