37 Tahun Jadi Pengacara, Ingin Ada Advokat Spesialis

37 Tahun Jadi Pengacara, Ingin Ada Advokat Spesialis

Fadjry Zamzam. (Ryan/Disway) -- TIGA dasawarsa yang lalu, profesi pengacara di Kota Minyak masih langka. Saat itu tak lebih dari 10 pengacara yang jadi tumpuan harapan para pencari keadilan. Salah satunya Fadjry Zamzam. Selama 37 tahun berprofesi sebagai pengacara, Fadjry melihat praktik penegakan hukum di Balikpapan terus mengalami perubahan. Ia mengatakan, di tahun-tahun pertamanya sebagai advokat yakni tahun 1983, hanya ada sedikit pengacara. Kondisi itu membuat persaingan masih sehat. Sementara ekspektasi dan pandangan masyarakat secara umum mengenai profesi ini masih begitu tinggi; bayarannya besar, berpendidikan dan disegani, sehingga ada kebanggaan tersendiri. "Sebenarnya waktu itu banyak permasalahan hukum di Balikpapan yang dialami warga. Saya tergerak membantu mereka, itu saja," ujarnya. Menurutnya, untuk menyangga penegakan hukum yang berkeadilan, diperlukan peran profesi advokat yang bebas dari intervensi, baik dari penguasa, politik maupun tekanan klien yang bersifat pribadi. Itulah kenapa profesi pengacara disebut officium nobile atau profesi yang mulia. "Seharusnya seorang pengacara punya intuisi dalam setiap menangani suatu perkara. Bisa menilai klien itu jujur atau tidak," ujar Fadjry. Namun seiring berjalannya waktu, Fadjry menilai, kondisi saat ini sudah jauh berubah. Dalam praktiknya, sudah jadi rahasia umum ada upaya sebagian oknum pengacara yang menggunakan cara-cara tidak terpuji demi memenangkan suatu perkara. Kondisi ini tentu tidak lepas dari fakta bahwa jumlah pengacara di Balikpapan, menurut informasi yang ia dapatkan sekitar 200 orang. Sedangkan perkara perdata yang tercatat di pengadilan jumlahnya tidak lebih dari 200 perkara. Begitu juga dengan jumlah perkara pidana. Tidak seimbang. "Kalau pidana lebih dari 200 perkara. Sehingga kalau mengandalkan menangani perkara di pengadilan, prospeknya kurang menguntungkan," ujarnya. Kondisi yang tidak seimbang tersebut, kata ia, seharusnya membuat sebagian pengacara mengambil langkah-langkah inisiatif dan melihat peluang dengan melakukan kegiatan lain. Seperti memberikan pelayanan hukum terhadap perusahaan-perusahaan atau organisasi yang membutuhkan penegakan hukum. "Katakanlah dalam satu tahun kita dapat lima perkara di pengadilan. Itu kan sudah tidak memadai," ujarnya. Suami dari Eni Tri Wulandari tersebut mengakui selama 37 tahun menjadi pengacara, dirinya hanya menangangi sekitar 400 perkara. 80 persen perkara perdata sisanya pidana. Artinya hanya ada lima sampai 10 kasus yang ditanganinya selama setahun. Mestinya bisa lebih produktif. Namun ia mengaku hal itu membuatnya lebih fokus dalam menangangi suatu perkara. Hal ini pula yang membuatnya bebas mengkritik para pengacara lain untuk lebih berani menyatakan diri dan mengambil spesialisasi di bidang penegakan hukum tertentu. "Di daerah kondisinya tidak ada spesialisasi, yang ada generalisasi," ungkapnya. Padahal menurutnya ada tanggung jawab moral. Advokat senior yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Balikpapan itu menjelaskan peran advokat sangat kompleks. Perkara-perkara yang dihadapi advokat tentu beragam dan berbeda pula penanganan perkaranya. Penyelesaian sengketa perdata, pidana dan lainnya tentu mempunyai argumentasi hukum yang berbeda pula. Kompleksitas itu perlu diketahui semua advokat guna memahami kedudukan dan fungsinya dalam tiap tahap pembelaan terhadap klien. "Inilah pentingnya spesialisasi," ujarnya. Selain itu, untuk menjadi pengacara atau advokat yang berkualitas, seyogyanya mempunyai ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisa suatu kasus. Serta harus selalu peka terhadap situasi atau kondisi dengan cepat, cermat, dan tepat. Terutama berkaitan dengan pengambilan keputusan. "Kalau pengacara kurang pengetahuannya, terus memaksakan diri karena kesombongan maka akan merugikan klien," tegasnya. Ketika ditanya mengenai perkara yang paling berkesan, Fadjry menyebut kasus Cemara Rindang. "Berkesan sekaligus menyedihkan," ujarnya. Kalau diceritakan secara detail tentu akan memakan waktu, terlalu panjang. Secara terang-terangan ia masih bingung, ironis, kenapa bisa kalah. Namun di sisi lain ia bangga karena telah berjuang mempertahankan Pasar Klandasan itu selama kurang lebih 22 tahun dari upaya eksekusi oleh pihak yang mengaku ahli waris tanah tersebut. Ia pernah menulis artikel khusus tentang perkara ini, yang diterbitkan di salah satu media cetak. Artikel ini baru tamat setelah diterbitkan selama 10 hari berturut-turut. "Saya pernah menemui teman lama untuk menanyai perkara ini. Beliau mantan hakim di Balikpapan, kemudian di Samarinda. Sekarang jabatannya Hakim Agung. Ia tak berani menjawab," pungkasnya. Saat tanah sengketa tersebut mau dieksekusi, ternyata batas-batas di dalam putusan tidak sesuai dengan ukuran di lapangan. Sehingga tidak bisa dieksekusi. Perkara ini kemudian terus berlanjut sampai 22 tahun, dan perjuangan itu dilakukannya seorang diri sedangkan pihak lawan sudah berganti-ganti pengacara. Kemudian yang ironis, kata pria kelahiran Kandangan tahun 1946 itu, gara-gara batas itu tidak sesuai, mereka mengajukan gugatan lagi. Gugatan yang sama yang hanya mengubah batas-batas itu tadi. Khususnya batas timur dan barat, menyesuaikan batas yang sudah diputuskan, dan dikabulkan pengadilan. "Lagi pula bukti tertulis bahwa tanah itu pemberian Sultan tidak pernah ada di pengadilan," urainya. Menurutnya, gugatan baru itu tidak bisa dilakukan karena keputusannya sudah dilakukan dari tahap satu sampai ke putusan peninjauan kembali (PK). "Istilahnya ini sudah di-PK, di-PK lagi," ujarnya sembari tertawa. Sementara itu ada juga pengalaman menangani kasus pidana yang sampai saat ini mengganggu perasaannya. Fadjry menuturkan tentang seorang klien yang ia bela dijatuhi putusan bersalah. Padahal menurut pengetahuan dan intuisinya, klien tersebut tidak semestinya dihukum. Tanpa menyebut nama, Fadjry menjelaskan kliennya adalah seorang wanita, terpidana kasus korupsi. Pengadilannya dilakukan tahun lalu. Namun karena terpidana ini ditempatkan di sel tahanan, ternyata ia mendengar adanya intimidasi dari oknum tak bertanggung jawab. Sehingga Fadjry yang saat itu berkeyakinan ada kekeliruan dalam putusan persidangan kasasi, tidak mendapat restu untuk melakukan upaya hukum tahapan banding yang kedua kalinya. "Pengajuan banding pertama kami berhasil menurunkan masa tahanannya enam bulan, jadi sisa tiga tahun. Namun waktu mengajukan kedua kalinya ditolak klien. Ini terasa sekali adanya rasa ketidakadilan," ujarnya. Sekarang, usia Fadjry sudah sekitar 70 tahun. Banyak yang menyarankan untuk pensiun dan menikmati masa tua bersama keluarga tercinta. Bukannya Fadjry menolak, namun ternyata ada alasan lain sehingga sampai saat ini ia masih aktif menjalankan firma hukumnya. Yakni ternyata, sampai saat ini undang-undang advokat tidak memberi batas usia seorang pengacara. "Padahal untuk notaris ada batas umur, karena mungkin takut si notaris pikun, sehingga klien takut, sedangkan saya juga enggak tahu kelirunya di mana, kenapa pengacara tidak ada batas umurnya," ujarnya sambil tertawa. Selain karena tidak adanya batas usia, ternyata sampai saat ini masih banyak yang datang kepadanya untuk konsultasi masalah hukum. "Tidak bisa berhenti, karena masalah hukum selalu ada," ujarnya. Fadjry berharap, agar regenerasi profesi advokat di Balikpapan menghadirkan nama-nama baru yang bisa diandalkan masyarakat. Ia hanya berpesan agar generasi milenial bisa menanamkan kejujuran dalam upaya penegakan hukum di masa yang akan datang. (ryn/hdd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: