Banjir sebagai Komoditas Politik

Banjir sebagai Komoditas Politik

INI benar. Saling sindir antara Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang dan DPRD Samarinda. Terkait penangan banjir. Sudah maksimalkah atau belum?. Diskursus tentang penanganan banjir harus menjadi pembahasan serius dan terus-menerus.

Langkah yang dilakukan DPRD Samarinda untuk mengajukan Hak Interpelasi, juga benar. Sebaiknya hal Ini jangan dipandang negatif oleh Pemerintah Kota Samarinda. Justru bisa jadi langkah konstruktif untuk sama-sama memperbaiki Samarinda ke arah yang lebih baik. Hak interelasi sendiri diatur oleh UU Nomor 17 Tahun 2004. Pada Pasal 194 disebutkan, hak interpelasi diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi. Sementara Jaang mengaku sudah bekerja maksimal. Kendati tak selalu berada di tempat, tapi terus memantau perkembangan banjir ini. Proyek perbaikan drainase juga terlihat di beberapa titik. Antara lain misalnya di Jalan Poros Samarinda-Bontang. Dan beberapa tempat lainnya. Kendati masih saja terjadi banjir. Proyek peninggian jalan juga terjadi di beberapa kawasan. Meski ada beberapa warga yang menolak jika jalan lebih tinggi dari permukiman. Jelas, air akan cepat mengalir ke perumahan warga. Tapi sebagain lagi menerima proyek tersebut. Yang dilakukan DPRD Samarinda, Siswadi Cs, juga benar. Itulah fungsinya anggota DPRD, harus bisa menjadi corong suara rakyat. Tentu banyak warga yang kerepotan menghadapi banjir. Apalagi kalau rumahnya menjadi kawasan “tetap” banjir. Langganan. Saban hujan deras selalu waswas. Hak interpelasi berarti menunjukkan keseriusan wakil rakyat tersebut dalam memperjuangkan persoalan kerakyatan. Tak perlu harus takut dibilang sebagai komoditas politik lah. Tak perlu harus takut dibilang “menyerang” eksekutif lah. Tak perlu harus takut, dibilang ini dan itu. Wakil rakyat, ya seperti itu seharusnya. Mendorong situasi sosial menjadi situasi politik. Banjir adalah kondisi sosial. Apalagi sudah menahun. Sudah seharusnya bisa dijadikan “jualan” politik. Dan sudah seharusnya juga diperjuangkan dengan serius. Jika bukan situasi sosial yang “dijual”, lalu apa yang mau “dijual” oleh para wakil rakyat kita. Konflik elit? Persetruan proyek? Konflik antar golongan? Tentu tidak kan! Justru keliru, jika anggota dewan yang terhormat justru hanya menyuarakan konflik-konflik elit. Kepentingan segilintir orang atau golongan. Interpelasi bukan sesuatu yang seolah “tabu”. Justru kalau bisa dan memungkinkan, bisa diajukan tiap bulan atau setiap ada persoalan. Jika ada hal yang dirasa kurang maksimal, atau butuh penjelasan mendalam soal kebijakan eksekutif, jangan ragu untuk mengajukan interpelasi. Itu demokrasi. Dan dengan begitu juga pengawasan berjalan. Justru kalau tidak ada action, tidak ada interpelasi atau apapun bentuknya, sudah seharunya rakyat atau konstituen lah yang melakukan interpelasi terhadap wakilnya. Bukannya begitu. Ada ungkapan yang sudah membumi di Samarinda. Ketika ada orang bertanya soal banjir. Begini jawabannya: “Ikam hanyar kah di Samarinda”. Pasti pembaca Disway Kaltim sudah pada dengar ungkapan itu. Dalam psikologi komunikasi, ungkapan tersebut menandakan tindakan “defensif”. Kalau dalam istilah para penggemar olahraga bola, ini namanya bertahan sambil menyerang. Mungkin saking bingungnya menyelesaikan persoalan banjir yang tak kunjung rampung. Ungkapan seperti itu lebih baik jangan dijadikan pedoman. Untuk menunjukkan semangat perbaikan, bisa menciptakan ungkapan baru yang penuh optimisme. Misalnya; “Samarinda mendatang; Kami tidak takut banjir”. Atau “Hujan Lebat Banjir Pun Lewat”. Atau apapun lah itu... tapi jargon tersebut disertai kinerja yang sungguh-sungguh. Jika pemerintahnya semangat, tentu warganya akan terdorong untuk ikut bergerak. Karena banjir pada akhirnya juga menjadi tanggung jawab bersama. Warga punya andil besar untuk sama-sama mencegah genangan air kiriman. Jika para pemimpinnya semangat dan menunjukkan keseriusan dalam penanganan banjir ini. Saya yakin warga Samarinda akan ikut membantu dengan suka rela. Bahkan, jika nanti ada calon kepala daerah yang dalam kampanyenya berani menyampaikan bahwa dia mampu menuntaskan banjir atau meminimalisasi banjir dalam  periode tertentu, patut mendapat dukungan publik. Bahkan saya anjurkan untuk dipilih. Tapi tidak asal bicara. Misalnya didukung dengan perencanan detail, mulai politik anggaran untuk banjir hingga hal-hal teknis lainnya. Memang tidak mudah. Yes. Dengan kondisi Samarinda saat ini. Butuh waktu penanganannya. Tapi publik melihat progres. Misalnya, yang tadinya banjir sepaha orang dewasa, setahun pertama bisa diminimalisasi jadi semata kaki saja. Atau yang tadinya semata kaki, sekarang sudah tidak masuk rumah lagi. Atau bisa juga dari semula terdapat 100 titik banjir, menjadi 80 titik saja. Terus begitu. Progres seperti itu tentu akan dinilai positif. Karena tidak bisa langsung serta merta hilang begitu saja. Seperti yang sering diungkapkan Gubernur Kaltim Isran Noor, “banjir itu terkadang di luar kemampuan manusia”. Tapi bukan berarti kita mendiamkannya. Tentu harus dipikirkan kondisi yang lebih baik. Kenapa? Karena dampaknya besar. Misalnya bagi pemilik kantor yang daerahnya terkena banjir, terpaksa harus meliburkan karyawannya. Pelaku bisnis pun dengan berat hati tak berproduksi selama beberapa hari. Artinya, banyak potensi lost income. Pun begitu di sektor pendidikan. Sekolah terpaksa meliburkan siswa atau muridnya. Kepala Disdikbud Samarinda Asli Nuryadin memberikan anjuran untuk libur meski secara lisan. Jika ada sekolah yang terkena banjir. Kendati tak mengirimkan surat edaran. Karena tidak semua sekolah terkena imbas banjir tersebut. Bagaimana dengan Anda? (*/Pemimpin Redaksi Disway Kaltim)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: