Perlu Regulasi Penangkal 'Kotak Kosong' di 2024

Perlu Regulasi Penangkal 'Kotak Kosong' di 2024

Wakil Ketua GP Ansor Balikpapan, Suhardy-(Dok. pribadi)-

BALIKPAPAN, NOMORSATUKALTIM – Memasuki tahun politik, bisa jadi momentum mengevaluasi kembali proses demokrasi di Indonesia. Terutama terkait proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), baik Pilgub, Pilwali atau Pilbup tahun depan.

Delapan tahun ke belakang, kita dikejutkan fenomena kotak kosong yang kian marak di tiap ajang Pilkada.

Kotak kosong bukan berarti kotak suaranya kosong, melainkan calon tunggal yang tidak memiliki rival. Sehingga di surat suara, posisi rival dinyatakan dalam bentuk kotak kosong. Dalam sistem Pilkada dikenal adanya pemilu antara pasangan calon tunggal yang akan melawan kotak kosong.

Kotak kosong muncul pertama kali tahun 2015.

Muasalnya dari gugatan terhadap ketentuan minimal dua pasangan calon yang diatur dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Aturan itu dinilai tidak memiliki kepastian hukum dan dinilai cenderung diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2), dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga dibawa ke Mahkamah Konstitusi.

Pada Agustus 2015, pengamat Politik Effendy Gazali bersama Yayan Sakti Suryandaru mengajukan judicial review terhadap Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Saat itu gugatan mereka terdaftar dalam Nomor 100/PUU-XIII/2015.

Ketentuan larangan calon tunggal pada Pilkada Serentak 2015, juga ditentang Calon Wakil Walikota Surabaya Whisnu Sakti Buana dan Sekretaris DPC PDI Perjuangan Surabaya Syaifuddin Zuhri. Keduanya terdaftar dalam perkara Nomor 96/PUU-XII/2015. MK mengabulkan gugatan mereka.

Sejak itu, secara konstitusional, Mahkamah Konstitusi mengatur calon tunggal melawan kotak kosong di kontestasi Pilkada. Secara administrasi diatur lebih lanjut oleh KPU. Dalam perjalanannya, fenomena kotak kosong terus meningkat. Tahun 2015, ada tiga daerah. Tahun 2017, ada sembilan daerah. Tahun 2018 jumlah kotak kosong meningkat, terjadi di 16 daerah.

Jumlah itu meningkat lagi di Pilkada 2020. Ada 25 kota/ kabupaten yang kandidatnya juga hanya kandidat tunggal melawan kotak kosong. Termasuk di Balikpapan. Fenomena kotak kosong, rata-rata didominasi dari calon petahana yang kuat atau kandidat yang memiliki kekuatan finansial besar.

Merujuk UU 10/2016 tentang Pilkada, partai bisa mengusung pasangan calon kepala daerah jika memiliki minimal 20% kursi DPRD atau mendapat minimal 25% suara sah di pemilihan anggota DPRD sebelumnya. Inilah yang menyebabkan partai kecil harus berkoalisi dengan partai raksasa atau partai pemenang lain.

Di saat yang sama, calon independen dihadapkan syarat ketat. Calon perseorangan harus dapat dukungan dari 6,5-10% pemegang hak suara. Persentase setiap daerah berbeda, tergantung jumlah pemilih tetap. Inilah yang menyebabkan minimnya calon perseorangan. Apalagi, jumlah persentase dukungan yang harus diperoleh calon independen naik sebesar 3,5% dari ketentuan Undang-undang sebelumnya.

Kemunduran Demokrasi

Hal itu memunculkan hegemoni partai, terutama partai pemenang di daerah. Meski secara konstitusi dan administrasi sah, tapi fenomena kotak kosong mencerminkan kegagalan kaderisasi partai politik. Selain itu juga menunjukan kemunduran demokrasi. Bahkan sangat terbuka lebar pintu jual beli dukungan untuk menciptakan koalisi raksasa, yang akhirnya memunculkan kandidat tunggal melawan kotak kosong.

Kerentanan jual beli kotak kosong, terbukti dari peningkatan fenomena kotak kosong di setiap Pilkada. Kandidat tunggal itu pun memenangkan pertarungan, hanya satu kali kotak kosong menang. Yakni pada Pilkada 2018 di Makassar.

Usai keputusan MK, aturan kotak kosong di Pilkada pertama kali diatur Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon.

Seiring waktu, diubah lagi. Aturan terbaru saat ini merujuk pada Peraturan KPU RI Nomor 20 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon.

Adapun penentuan pemenang Pilkada dengan kotak kosong tetap merujuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Calon tunggal dinyatakan menang kalau meraih 50 persen total suara sah.

Selanjutnya, dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2018, dijelaskan jika suara kotak kosong yang menang, maka KPU akan menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali di pemilihan serentak periode berikutnya. Waktu penyelenggaraan Pilkada kembali, dilakukan tahun berikutnya atau sebagaimana jadwal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meski konstitusi dan administrasi tidak mempermasalahkan kekuasaan dari rival kotak kosong, tapi ini membahayakan demokrasi. Terutama jika di suatu daerah ada kandidat yang finansialnya sangat kuat. Kandidat itu tentu akan mengkondisikan partai-partai lain untuk mendukungnya menjadi calon tunggal. Celah ini sangat terbuka lebar, dan menjadi rahasia umum.

Terlena Kegagalan Berulang

Di waktu bersamaan, partai terlena dengan kegagalan kaderisasi. Selain itu, kandidat-kandidat yang punya kompetensi unggul tapi ingin maju independen, maka sudah kalah sebelum berperang. Sebab, beratnya syarat maju dari calon perseorangan. Akhirnya calon yang maju didominasi petahana atau calon yang finansialnya kuat. Lawan lain akan gentar karena partai-partai yang ada mudah dikondisikan.

Dampaknya, selain kemunduran demokrasi, daerah-daerah yang dipimpin oleh penguasa yang menang atas kotak kosong akan fokus mengamankan jatah koalisi. Pembangunan daerah menjadi lamban. Partai-partai pun akan bersikap pragmatis karena hanya berhasrat kekuasaan. Ideologi bisa tergadaikan.

Fenomena kotak kosong tampak jelas menunjukan kejumudan partai. Yang tidak lagi fokus pada proses pembinaan kader-kader unggul. Faktanya, kader berkualitas, kader yang tumbuh sejak lama di partai, bisa kalah dengan pendatang baru yang memiliki finansial besar. Ini potret kepincangan sistem Pemilu.

Partai politik, saat ini hanya mengejar calon dengan kualifikasi punya popularitas, elektabilitas tinggi dan modal besar. Meskipun secara kualitas dan kapasitas tidak mumpuni untuk menjadi kepala daerah. Sebab tidak ada kaderisasi sesuai sistem. Untuk itu harus ada batasan dukungan untuk persyaratan partai politik.

Tujuannya mencegah partai membeli borongan suara partai lain untuk mencipta koalisi raksasa hanya untuk merealisasikan lawan kotak kosong. Karenanya perlu dibuat regulasi baru yang bisa mencegah dominasi partai raksasa, dan memunculkan beragam kandidat di Pilkada. Misalnya, regulasi baru yang akan mempermudah syarat calon perseorangan dan memperketat kemunculan koalisi besar.

 

*Suhardy
Wakil Ketua Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII Balikpapan) Bidang Kajian dan Informasi, sekaligus Wakil Ketua GP Ansor Balikpapan

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: