BRIN Soroti Kemiskinan Nelayan

BRIN Soroti Kemiskinan Nelayan

Nomorsatukaltim.com – Jumlah nelayan miskin di Indonesia di tahun 2019 mencapai angka 14,58 juta jiwa. Angka ini menyumbang sebesar 25% kemiskinan nasional. Kemiskinan nelayan turut dipengaruhi faktor yang mengancam rentannya hidup di pesisir, salah satunya perubahan iklim. Kerentanan nelayan erat kaitannya dengan kemiskinan dan rendahnya kemampuan adaptasi. Hal itu diutarakan Periset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Gita Mulyasari. Ia mencontohkan Bengkulu yang dinilai memiliki topografi sangat lengkap sehingga potensi pertanian di sana sangat besar.  Tapi justru menjadi kota termiskin nomor 2 di Pulau Sumatera, dan termiskin nomor 7 di Indonesia. "Jadi dari segala potensi yang besar ini, belum mampu meningkatkan ekonomi di Provinsi Bengkulu. Nelayan di Bengkulu sangat identik dengan kemiskinan, karena nelayan sangat dipengaruhi climate change. Bengkulu ini pusat iklim dunia," ujar Gita, dalam siaran pers, Selasa (5/7/2023). Gita memaparkan kemiskinan nelayan perikanan tangkap dipengaruhi tiga dimensi, yaitu kesehatan, edukasi, dan standar hidup. Dari sisi kesehatan ada indikator yang mempengaruhi, yaitu nutrisi dan mortalitas anak. Di sisi edukasi, lanjut Gita, indikator yang mempengaruhinya lama sekolah dan kehadiran di sekolah. Sedangkan dari standar kehidupan, dipengaruhi indikator seperti bahan bakar untuk memasak, sanitasi, air bersih, listrik, dan kepemilikan aset. Gita menekankan salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi, bagaimana menghadapi trade-off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan di sisi lain. Pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri. Sebab, pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. “Pembangunan berkelanjutan sebagai upaya manusia memperbaiki mutu kehidupan dengan tetap berusaha tidak melampaui ekosistem yang mendukung kehidupannya,” paparnya. Gita mengaku telah melakukan penelitian menganalisis status keberlanjutan dan dimensi keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Ia menjelaskan dimensi keberlanjutan perikanan tangkap terdiri dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial. Keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil, terdiri dari dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan. Adapun dimensi keberlanjutan dari perkebunan kelapa sawit rakyat, terdiri dari dimensi lingkungan, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial. Status keberlanjutan perikanan tangkap dimensi ekonominya memiliki nilai paling kecil, yaitu 33,22%. "Social-Life Cycle Assessment perkebunan kelapa sawit rakyat dipengaruhi fluktuasi harga, berbeda dengan nelayan. Nelayan lebih kompleks dan sangat bergantung kondisi iklim dan cuaca, sehingga untuk nelayan belum dikaji dahulu," ujarnya. Status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat hanya dimensi ekonomi yang menunjukkan berkelanjutan, sedangkan dimensi lingkungan dan ekonomi memiliki status cukup berkelanjutan. Semua data tersebut didapatkan dengan metode penelitian multidimensinal scale method. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: