Pekerja Perikanan Rentan Terseret Perdagangan Orang

Pekerja Perikanan Rentan Terseret Perdagangan Orang

Nomorsatukaltim.com -  Pekerja sektor perikanan terutama para awak kapal rawan terseret tindak pidana perdagangan orang, khususnya dalam proses perekrutan dan penempatan. Pelbagai aturan melindungi para pekerja dinilai belum berjalan optimal. Alhasil, pekerja perikanan menjadi kelompok rentan kerap ditipu dan dimanipulasi. Laporan Trafficking in Persons (TIPs) 2023 yang dirilis Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukkan, status Indonesia meningkat dari Tier 2 Watchlist menjadi Tier 2. Artinya, AS memandang Indonesia telah berupaya cukup baik mengendalikan tindak pidana perdagangan orang yang marak terjadi. Kendati begitu, standar minimum pengentasan TPPO belum terpenuhi dan terdapat sejumlah catatan. Petugas Ketenagakerjaan Destructive Fishing Watch, Miftahul Choir, mengatakan, awak kapal perikanan direkrut dan ditempatkan dengan iming-iming gaji tinggi, sebagaimana laporan TIPs 2023. Selain itu, AKP juga disalahgunakan kondisinya agar menyepakati kontrak kerja yang tidak layak. “Penyalahgunaan kondisi ini memanfaatkan situasi AKP yang tidak memiliki keahlian lain. Mereka digoda dengan peluang kemudahan mendapatkan pekerjaan, syarat bekerja yang tidak terlalu sulit, dan gaji tetap,” jelasnya, dilansir Kompas.id, Minggu (2/7/2023). Nasib AKP, lanjut Miftahul, kian tak menentu seiring dengan pola perekrutan dan pergantian kapal sesuai keinginan nakhoda. Padahal, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021 tentang Tata Kelola AKP seharusnya dapat mengatur proses rekrutmen yang adil dan transparan. Celah ini kerap menjadi pintu masuk TPPO dalam proses perekrutan dan penempatan AKP. Adapun kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan AKP Migran belum bisa memberikan kejelasan mengenai perlindungan AKP migran mulai dari proses perekrutan, pada saat bekerja di atas kapal, hingga kepulangan. Dalam aturan itu, AKP migran wajib memiliki buku pelaut, paspor, visa kerja, sertifikasi, kompetensi untuk melaut, dan perjanjian kerja laut. Di atas kapal, mereka juga berhak atas jam kerja yang adil serta mendapat hak untuk pulang. Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia perlu mengimplementasikan deklarasi ASEAN ihwal perekrutan dan penempatan pekerja. Implementasi di lapangan, ujar Miftahul, belum terlihat. Merujuk 15 laporan pengaduan AKP migran pada National Fishers Center Indonesia (NFC-I) periode Juli 2022-Juni 2023, mereka kerap mengalami eksploitasi jam kerja dan upah yang tidak sesuai kontrak awal. Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo berpandangan, aturan seperti PP No 22/2022 seharusnya bisa menyelesaikan ego sektoral antarlembaga pemerintah. Namun, hal itu dinilai belum komprehensif apabila tak diikuti ratifikasi konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (K-188). “Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia perlu mengimplementasikan deklarasi ASEAN mengenai perekrutan dan penempatan pekerja,” jelasnya. Menurut Legal of DFW Indonesia, Jeanny Sirait, pemerintah daerah berperan krusial dalam upaya pengentasan TPPO. Meskipun demikian, pelibatan pemerintah daerah belum optimal. Ia mencontohkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara yang telah membentuk forum daerah perlindungan AKP setempat. Forum tersebut melahirkan inisiatif seperti penyusunan ringkasan kebijakan inspeksi bersama di atas kapal perikanan, penyebaran informasi terkait hak dan kewajiban AKP, dan menyelesaikan pengaduan dari para pekerja. ”Upaya pemerintah daerah perlu diapresiasi. Kalau bisa, provinsi lain juga perlu mengikuti inisiatif Sulawesi Utara,” jelasnya. (*) Sumber: Kompas.id

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: