Bubarkan DPD?

Bubarkan DPD?

“Anggota DPD dibubarkan saja, ubah menjadi anggota MPR.” Saran itu dilontarkan Gubernur Kaltim, Isran Noor, saat mengisi sambutan di Hotel Mesra Samarinda, Sabtu (3/6/2023).

Saran Isran itu pernah pula ia sampaikan tahun 2010, saat mengisi materi di Lemhanas di hadapan para ASN. Sayangnya tidak ada yang berani merespon. “Enggak ada yang mau tanggapi, takut. Kalau saya sampaikan seadanya saja,” tegas Isran. Saran Isran bukan tanpa alasan. Sangat rasional dan tentu bisa menghemat anggaran besar. Kenapa? Jawabnya, mari simak oretan ini terlebih dahulu. Gagasan dasar pembentukan DPD RI berangkat dari keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah. Sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Itu gagasan dasarnya, sebagaimana termaktub dalam laman resmi DPD. Sebagai pengingat, DPD dibentuk pada 9 November 2001 melalui perubahan atau amendemen ketiga UUD 1945. Dalam memperbarui konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR membentuk lembaga perwakilan baru, yakni DPD. Sejak adanya perubahan itu, maka sistem perwakilan dan Parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral menjadi sistem bikameral. Sistem unikameral, disebut sebagai sistem pemerintahan yang hanya memiliki satu kamar pada Parlemen atau lembaga legislatif. Adapun bikameral, praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau Parlemen. Mengacu Pasal 22 UUD 1945 dan Tata Tertib DPD RI, sebagai lembaga DPD memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan pertimbangan. Fungsi legislasi DPD: pengajuan usul rancangan undang-undang, pembahasan rancangan undang-undang. Bidang yang terkait ihwal otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah. Fungsi pengawasan DPD: melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti, dan menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK. Adapun fungsi pertimbangannya: Memberikan pertimbangan kepada DPR. Dalam perjalanannya, fungsi ini seakan tidak berjalan. Inidkasinya, nilai kemanfataan seorang Senator atau anggota DPD, tidak dirasakan langsung oleh masyarakat. Jangankan nilai kemanfaatan, masyarakat saja belum tentu mengenal siapa perwakilan daerahnya yang menjadi Senator di Senayan. Padahal tiap provinsi memiliki empat orang Senator. Jumlah kursi DPD RI di Pemilu 2019, sebanyak 136 kursi. Ini sesuai jumlah 34 provinsi. Nah, untuk Pemilu 2024, dengan adanya penambahan empat daerah otonomi baru atau DOB, maka total kursi DPD tahun depan menjadi 152 kursi. KPU telah memastikan adanya empat DOB Papua yang akan mengikuti pemilu 2024. Ini sesuai Perppu Nomor 1 Tahun 2022 Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Produk dan Anggaran DPD Saya pernah mendapat dokumen ihwal: Laporan Singkat RDP Komisi III DPR RI dengan Sekjen MPR dan Sekjen DPD RI, Masa Sidang keempat, Rapat ke-15, tertanggal 4 April 2022. Laporan tersebut ada empat laman, di antaranya, membahas realisasi dan evaluasi anggaran DPD RI tahun 2021. Dokumen itu diteken Wakil Komisi III DPR RI, Pangeran Khairul Shaleh. Antara lain, berisi rencana kerja DPD tahun 2023. Yakni, DPD RI telah mengusulkan pagu indikatif anggaran 2023, sebesar Rp 1.548.670.638.000,-. Dari usulan itu, DPD RI menargetkan 40 materi/ produk legislasi. Rinciannya, RUU Usul Inisiatif (9 RUU), Pandangan/ pendapat atas RUU (8 RUU), Hasil pertimbangan DPD (3 materi), Hasil pengawasan DPD atas RUU Tertentu (19 materi), dan Prolegnas usul DPD (1 RUU). Melihat angka usulan pagu, sepertinya amat mubadzir uang negara dihambur untuk kebutuhan terkait. Apalagi jika membandingkan anggaran tahun 2021. Sampai Desember 2021, realisasi anggaran tahun itu Rp 1.004.813.494.785,-. Dari angka itu, realisasinya sebesar 96,89%. Dengan anggaran tersebut, DPD merealisasikan 42 materi atau produk legislasi. Artinya, usulan pagu 2023, besar sekali. Bagaimana mungkin target 2023 (40 produk legislasi) yang lebih kecil dibanding capaian 2021 (42 produk legislasi) tapi pagu anggarannya mengusulkan lebih besar. Kok bisa? Yang agak mengherankan, fungsi produk legislasinya pun tidak dirasakan langsung oleh rakyat. Bahkan, mungkin, nama produknya saja tidak tahu. Bagaimana mau merasakan manfaatnya, kalau produk kinerjanya saja tidak tahu? Bahkan, dalam Buku III Himpunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga (RKA – K/ L), Tahun Anggaran 2023, laman 231, memaparkan ringkasan capaian dan target prioritas DPD sejak 2018 -2023. Dari lima poin yang dijelaskan, fluktuasinya cenderung menurun. Lemah Peran Mengacu data KPU per April 2023, para pendaftar calon Senator ada 1.100 orang yang telah membuat akun di aplikasi Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Akun itu untuk mengunggah persyaratan sebagai calon peserta Pemilihan DPD. Tapi, dari jumlah sebanyak itu banyak yang tidak memenuhi syarat dan gugur. Sehingga hanya sisa sekitar 622 yang masuk tahap pendaftaran berikutnya, sebagai peserta pemilu. Untuk memenuhi persyaratan maju ke arena konstelasi politik saja, banyak yang gugur. Ini belum bertarung merebut suara rakyat. Kebanyakan, mereka gugur lantaran terbentur putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan No 12/PUU-XXI/2023. Poin putusan itu menyatakan calon DPD tidak boleh menjadi kader partai dan bagi mantan narapidana perlu menunggu lima tahun untuk mencalonkan diri. Di sisi lain, Senator mewakili provinsi. Namun, gaungnya kalah dengan DPR RI, yang hanya mewakili daerah pemilihan. Dari sini saja, peran DPD tampak lemah. Padahal posisinya sangat krusial bagi daerah. Dan seharusnya suara anggota DPD lebih didengar untuk pembuatan kebijakan di level nasional. Sebab, hakikatnya, Senator itu berperan sebagai penyeimbang kepentingan anggota DPR agar kebijakan yang dilahirkan lebih rasional dan dirasakan masyarakat daerah. Faktanya, tidak demikian. Selain itu, mengacu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, MK berpendapat bahwa DPD hanya memiliki kewenangan mengajukan Rancangan Undang-Undang serta membahasnya. Tapi tidak untuk klausul ikut dalam pengesahan Undang-Undang. Bahkan dengan keputusan itu, MK juga menyatakan bahwa UU MD3 bertentangan UUD 1945, terkait hilangnya kewenangan yang dimiliki DPD, padahal sudah termaktub dalam UUD 1945. Ringkasnya, saat ini DPD seakan terjebak dalam ‘permainan’ DPR RI yang berorientas sentralistik, karena representasi perwakilan mereka tidak mencerminkan keterwakilan wilayah. Padahal DPD mengemban amanah untuk mengartikulasikan kepentingan daerah sesuai wilayah yang diwakilinya masing-masing. Tapi hal itu kurang atau belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat daerah. Setidaknya di Kaltim. Alih-alih merasakan manfaat kehadiran mereka, saya pernah iseng bertanya pada beberapa warga dan bahkan rekan jurnalis. Ada berapa anggota DPD dari Kaltim? Siapa saja mereka? Jawabnya, tidak tahu. Alamak. Padahal jumlah Senator lebih sedikit, yakni ada empat orang anggota DPD dari Kaltim. Adapun anggota DPR RI dari Kaltim, ada delapan. Namun, masyarakat lebih mengenal anggota DPR RI ketimbang anggota DPD. Padahal suara para Senator jauh lebih besar. Mari kita bandingkan. Mengacu data KPU 2019, anggota DPR RI dapil Kaltim, ada delapan orang, yakni: Safaruddin – PDIP (86.528 suara sah), Budisatrio – Gerindra (71.207 suara), Hetifah Sjaifudian – Golkar (66.487 suara), Aus Hidayat – PKS (51.409 suara), Ismail Thomas – PDIP (49.174 suara), Rudi Mas’ud – Golkar (46.011 suara), H. Irwan – Demokrat (40.329 suara), dan Awang Faroek – Nasdem (34.054 suara). Suara terbesar sebanyak 86.528, tidak ada yang mencapai 100 ribu suara. Sekarang kita simak DPD, mereka adalah: Awang Ferdian Hidayat (345.682 suara sah), Mahyudin (147.483 suara), Aji Mirni Mawarni (120.388 suara), dan Zainal Arifin (78.725 suara). Rerata di atas 100 ribu. Jelas suara Senator jauh lebih besar karena representasi provinsi. Namun, kenapa popularitas dan peran mereka seolah tidak terasa? Bayangkan kalau anggaran per tahun yang digunakan DPD, dikonversi untuk bangunan sekolah, misalnya. Atau untuk menanggulangi kekurangan gizi, atau program pengentasan kemiskinan. Bukankah manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat? Barangkali, ini pula yang menguatkan gagasan atau saran Gubernur Isran Noor, ada baiknya DPD dibubarkan. Tentu saja, saran itu tak akan terealisasi dalam waktu dekat, sebab Pemilu 2024, sudah depan mata. Bisa saja, di kemudian hari, dibubarkan atau dilebur dengan MPR. Bukan hal yang muskil. Harus diakui, paska Reformasi, tatanan ajeg bernegara justru tidak menjadi lebih baik. Menteri bisa rangkap jabatan, korupsi kian menggurita, KKN dimana-mana, BUMN banyak yang nyungsep, di daerah kian marak raja-raja kecil membentuk dinasti, tapi utang pemerintah jauh lebih tinggi. Sebagai pengingat, saat ini utang Pemerintah telah mencapai Rp 7.879 triliun per akhir Maret 2023. Ini utang tertinggi sejak Indonesia merdeka. Dengan kata lain, kian nyata anggaran yang cenderung terbuang sia-sia.  Padahal gaji para pejabat berasal dari hasil keringat petani, nelayan, tukang ojek, dan pajak seluruh rakyat. Tapi arah pembangunan makin tidak konsisten, tiap ganti rezim, ganti kebijakan. Berbeda dengan masa lalu. Kita punya GBHN, punya Repelita, bahkan Repelita 1-6. Terencana, tersistem, dan berjalan sesuai planning. Tinggal memasuki era lepas landas, tapi malah bablas. Di saat para petani panen raya, justru impor beras. Indonesia yang juga dikenal negara maritim dengan garis pantai termasuk terpanjang di dunia, tapi impor garam. Saat banyak rakyat kesusahan, pejabatnya bergelimang kemewahan. Anggaran negara sepertinya memang kian terhambur sia. Sepatutnya saran Gubernur Isran ihwal pembubaran DPD, menjadi satu opsi yang logis dan lebih bermaslahat. Paling tidak, anggarannya bisa digeser untuk kepentingan masyarakat langsung. DPD lahir dari rahim amandemen UUD 1945 yang ketiga, tahun 2001. Namun seiring berjalannya waktu, peran dan wewenang DPD makin terdegradasi. Ditambah lahirnya UU MD3, makin lemah pula dibanding peran dan wewenang DPR RI. Pertanyaannya saat ini: jika popularitas mereka saja tidak terdengar, kemaslahatan apa yang didapat daerah, khususnya di Kaltim? Apalagi manfaat langsung bagi rakyat. Entahlah… Mungkin, selama ini, yang agak-agak basah, tim suksesnya saja hahaha. Opps, bercanda loh. Biar lebih enjoy, seperti biasa, kita shalawatan dulu: Shalaallahu alaa Muhammad. Asyyik. Alhamdulillah. *Rudi Agung, penikmat Geopolitik, Ghostwriter.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: