Penantian Caleg

Penantian Caleg

Meski telah memasuki tahun politik, perdebatan ihwal sistem Pemilu pada 2024 mencuat lagi. Seiring jalannya sidang uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ke Mahkamah Konstitusi.

Sampai kini, MK masih belum memutuskan apakah nanti menggunakan sistem pemilihan terbuka atau tertutup. Padahal, bulan Mei ini, sesuai tahapan, sudah memasuki masa pendaftaran calon legislatif. Awal sampai medio Mei 2023, rentang pendaftaran bakal calon sementara atau DCS para caleg. Tapi, keputusan memakai sistem proporsional terbuka atau tertutup, masih menggantung. Sampai sekarang. Sidang uji materi terakhir, dihelat pada 5 April lalu. Sidang pengujian UU Pemilu dengan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022, itu, mengangendakan mendengar keterangan dua ahli yang dihadirkan Pemohon.  Yakni Pengajar Hukum Tata Negara pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Fritz Edward Siregar, dan Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Agus Riewanto. Sebagai pengingat, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. Belum jelasnya putusan MK terhadap sistem Pemilu 2024, membuat gusar para caleg. Di Balikpapan, misalnya. Nyaris seluruh parpol kelimpungan mencari caleg untuk bertarung tahun depan. Bahkan, beberapa caleg dari beberapa parpol, ada yang tetiba mundur mendadak jelang pendaftaran bacaleg. Alasannya, logis: ketidak jelasan sistem Pemilu. Tak heran, sampai 8 Mei 2023, baru PKS yang mendaftarkan bacalegnya ke KPU. Padahal pendaftaran telah dibuka sejak 1 Mei. Kegusaran itu, ternyata bukan hanya dirasakan di Balikpapan. Daerah lain pun mengalaminya. Dari obrolan via seluler dengan sejumlah pengurus parpol dan caleg di Jakarta, Cirebon, Malang, misalnya, mereka merasakan hal sama. Kegusaran atas tidak jelasnya putusan MK. Bagi para caleg, mereka merasa pesimis jika kelak diputuskan menggunakan sistem tertutup. Apa sebabnya? Sebelum menjawabnya, kita segarkan memori sejenak ihwal perbedaan sistem terbuka dan sistem tertutup. Pemilu dengan sistem tertutup dilakukan di masa orde lama dan orde baru. Yakni, sistem yang pernah diterapkan di Pemilu 1955, Pemilu era Orde Baru, dan Pemilu paska Reformasi 1999. Proporsional tertutup cenderung menawarkan kesederhanaan pilihan bagi pemilih dan kemudahan konsolidasi ideologi bagi partai. Tapi, kalau tidak dikelola baik, berpotensi menimbulkan party dictatorship dan party oligarchy, yakni kandidat terpilih sebagian besar adalah elite atau pimpinan partai dan beberapa kandidat yang memiliki modal finansial untuk membayar posisi tertinggi dalam nomor urut daftar caleg (Edward Aspinall, 2020). Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tak langsung memilih caleg atau calon anggota legislatif. Melainkan partai politik peserta pemilu. Surat suara sistem pemilu proporsional tertutup hanya memuat logo partai tanpa rincian nama caleg. Sedangkan, caleg ditentukan partai. Oleh partai, nama-nama caleg disusun berdasarkan nomor urut. Di sistem tertutup ini, dalam pemungutan suara, pemilih hanya memilih parpol. Lantas usai perolehan suara dihitung, maka penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut. Ini yang jadi salah satu alasan para caleg pesimis, jika menggunakan sistem tertutup. Sebab, dinilai cenderung mengandalkan kedekatan ketua atau elite partai dan besarnya kapital alias modal. Aroma like dislike juga sangat kentara. Sebab keputusan mutlak ada di tangan elite partai, bukan rakyat. Siapa yang dekat elit partai, mereka lah yang berpeluang mendapat nomor prioritas. Lebih potensial dipilih. Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, di Indonesia pernah digunakan di Pemilu Legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019. Ini sistem yang biasa kita gunakan belakangan. Rakyat mencoblos partai, nama caleg dan atau nomor urutnya. Dalam sistem ini, pemilih akan memilih satu nama caleg sesuai kehendaknya. Partai memperoleh kursi yang sebanding dengan suara yang diperoleh. Setelah itu, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Sistem ini identik dengan politik uang. Semisal, data Global Corruption Barometer Asia 2020 dari Transparency International yang mencatat, ada sekitar 26% pemilih Indonesia ditawari suap sebagai imbalan atas suara. Angka itu menempatkan Indonesia di peringkat tiga setelah Thailand (28%) dan Filipina (28%). Dalam tiap sistem, ada plus minusnya. Meski dalam sistem proporsional terbuka dianggap rentan politik uang, bukan berarti di sistem tertutup bisa bebas dari politik uang. Siapa yang bisa jamin, saat partai atau elitnya memilih caleg mereka, bisa benar-benar zero cost? Hari gini, mana ada makan siang gratis. Lantaran itu, para caleg lebih senang dengan sistem terbuka. Sebab, kompetisinya nyata. Beradu suara dari konstituennya, bukan dari like dislike elit partainya. Tidaklah mengherankan, jika mendekati pendaftaran para caleg, banyak caleg yang mundur mendadak. Sebab sampai saat ini putusan MK masih menggantung. Pertanyaannya: Jika MK memutuskan menerima permohonan sistem proporsional tertutup, apakah itu sudah final? Jawabnya, belum tentu. Bisa saja, Istana mengeluarkan Perppu baru untuk tetap mempertahankan sistem terbuka. Kuncinya, tetap saja ada di kursi penguasa. Masalahnya, permohonan uji materi UU Pemilu ini, diajukan oleh kader partai penguasa. Meski begitu, di tengah tahapan Pemilu yang telah berjalan, bukan putusan bijak jika MK mengetuk palu untuk menggunakan sistem tertutup. Tentu saja yang sangat dinantikan para caleg: MK menetapkan keputusan sistem terbuka. Peninjauan sistem pemilu adalah keniscayaan, tapi lakukanlah secara terbuka dan akuntabel dengan terlebih dahulu merumuskan jelas tujuan yang hendak dicapai. Yang itu dilakukan bukan di saat tahapan Pemilu sudah berjalan. Lalu pastikan pilihan sistem pemilu koheren dengan sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan agar demokrasi mampu terkonsolidasi kuat. Di era global, sistem geopolitik cenderung bersifat anomali lantaran tidak berdasarkan pada pakem yang ada. Tapi apapun keputusan MK, sebagai pemilih, yang paling utama adalah tidak terpancing hoaks dan narasi-narasi yang memecah persatuan. Jangan karena beda pilihan politik, rakyat mudah diadu domba. Persatuan dan perdamaian adalah hal utama. Pesta demokrasi itu pesta bergembira, bukan petaka. Shalallahu alaa Muhammad. *Rudi Agung, penikmat Geopolitik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: